Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cinta Laura dan Konstruksi Sosial, Menikah karena Terpaksa atau Tidak Menikah Karena Terpaksa Pula?

8 September 2022   11:31 Diperbarui: 9 September 2022   14:30 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keputusan menikah ataupun tidak harusnya sama-sama didasarkan pada keputusan matang dan bijak, bukannya bentuk dari keterpaksaan dan pembenaran semat (thoughtco.com)

Cinta Laura adalah salah seorang sosok yang sejak lama telah menjadi fenomena. Salah satu cirinya sejak dahulu adalah gambaran fisiknya yang indo karena memiliki orang tua yang merupakan campuran Jerman dan Indonesia. Ia juga dikenal memiliki kecenderungannya tidak bisa berbahasa Indonesia dengan fasih.

Namanya kembali terdengar dan ramai diperbincangkan di beragam media. Kali ini ia mendapatkan banyak sanjungan dan pujian karena mewakili pola pikir perempuan yang cerdas, modern, terbuka dan independen (apalagi ia didapuk menjadi duta perwakilan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk gerakan anti kekerasan terhadap perempuan dan anak).

Dalam salah satu wawancara di podcast milik Deddy Corbuzier, Cinta menjelaskan bahwa ia beranggapan bahwa pernikahan seseorang, terutama perempuan, pada usia di angka tertentu yang ditentukan oleh masyarakat sebenarnya adalah konstruksi sosial. Banyak orang yang memutuskan untuk menikah karena merasa pernikahan adalah sebuah kewajiban, padahal menurutnya, semua itu adalah pilihan yang ditentukan oleh masyarakat belaka, dan ia memutuskan untuk memiliki pilihan yang berbeda.

Konstruksi sosial adalah sebuah konsep yang diciptakan oleh manusia. Manusia yang telah saling berinteraksi dan membentuk peradaban kemudian memutuskan beragam jenis aturan, norma, serta nilai-nilai tertentu yang kelak dianggap terjadi secara alamiah serta menjadi sebuah kewajiban.

Hal-hal tersebut bisa berupa konsep apa saja, dari pekerjaan, pernikahan dan keluarga, budaya dan bangsa atau negara, uang dan ekonomi, bahkan mungkin sampai kepercayaan dan spiritualisme. Sumber

Manusia menciptakan makna berdasarkan kesepakatan. Itu gampangnya.

Maka, yang Cinta Laura sampaikan sebenarnya adalah, bahwa menikah pada usia tertentu, terutama bagi seorang perempuan, bukanlah sesuatu yang wajib apalagi alami. Itu semua sekadar konstruksi sosial yang merupakan pilihan sebuah kelompok masyarakat tertentu. Berdasarkan penjelasan ini, memilih untuk menikah atau tidak menikah juga sebenarnya adalah sebuah pilihan.

Stigma dan konsep masyarakat mengenai perempuan yang tidak atau belum menikah memang cenderung negatif di beragam kelompok masyarakat, budaya bahkan bangsa. Ada istilah perawan tua, perempuan yang tidak laku, atau dituduh sebagai seorang perempuan dengan kecenderungan penyuka sesama jenis.

Cinta Laura menunjukkan bahwa pilihannya untuk menikah di usia berapapun, atau sama sekali tidak menikah, adalah pilihannya sendiri. Sama seperti para perempuan yang menikah karena merupakan pilihan masyarakat (konstruksi sosial). Jadilah Cinta Laura sebagai seorang tokoh yang dipuji karena pernyataan berdasarkan pemikirannya tersebut.

Cinta Laura, sekali lagi, menjadi perwakilan pemikiran para perempuan Indonesia yang selama ini sudah terlalu gerah dengan konstruksi sosial dalam konsep pernikahan dimana mereka selalu saja ditanyai tentang pernikahan di pesta pernikahan saudara atau teman, di acara kekeluargaan atau perkumpulan yang bersidat sosial lainnya. Para perempuan telah jengah dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menuntut, memaksa, dan mencemooh.

Secara pribadi, saya setuju dengan apa yang disampaikan Cinta Laura, bahwa usia pernikahan atau konsep pernikahan apapun ada dasarnya bersifat konstuksi sosial, atau pilihan yang disetujui masyarakat dan bukan bersifat wajib apalagi alami.

Di masa modern ini, konstruksi sosial seperti itu perlahan tetapi pasti sudah mulai dipertanyakan. Tidak hanya melalui gerakan semacam feminisme sampai queer, tetapi terjadi secara masif di beragam wilayah negara bangsa di dunia. Sebut saja di Korea Selatan, dimana beberapa tahun terakhir muncul sebuah tren bernama honjok dan bihon.

Honjok merujuk pada gaya hidup dimana orang-orang melakukan semua kegiatan sendirian, single, tanpa memedulikan pandangan orang lain. Sedangkan bihon adalah sebuah pilihan bagi perempuan Korea untuk tidak menikah dan hidup sendirian.

Begitu pula yang terjadi di Singapura (Sumber). 

Makin banyak perempuan Singapura memutuskan untuk tidak menikah, dan angkanya semakin bertambah tiap tahun. Pada data yang saya ambil dari artikel tahun 2018, perempuan berusia 25 sampai 29 tahun yang menutuskan untuk tidak menikah naik sekitar 60.9 persen di tahun 2007  ke 68.1 persen tahun 2018.

Sedangkan perempuan-perempuan yang berumur lebih tua, 30 sampai 34 tahun, juga juga masih tetap tidak menikah. Angkanya meningkat sampai 3.9 persen dari tahun 2007 ke 2018. Perempuan berumur 40 sampai 44 tahun yang memutuskan tetapi single, angkanya sama meningkatnya sebanyak 3.9 persen.

Fenomena ini juga terjadi di banyak negara-negara besar dan maju, sebagai bentuk dari modernitas itu sendiri. Keputusan tidak menikah dianggap bentuk dari independensi perempuan yang sudah lepas dari kekakuan konstruksi sosial sebelumnya. Perempuan kini berhak bebas memutuskan cara dan jalan kehidupan mereka sendiri tanpa paksaan dari norma dan budaya masyarakat yang diciptakan sebelumnya. Negara-negara kaya dan maju menggambarkan keputusan independesi perempuan ini sebagai bentuk kecerdasan pula.

Di sisi lain, menilik kasus Korea Selatan dan Singapura, para perempuan yang memutuskan untuk tidak menikah memiliki alasan-alasan lain yang menjadi dasar keputusan mereka untuk tidak menikah tersebut.

Di Korea Selatan, ada gender gap inequality dalam bidang pendapatan, bahkan dilansir dari Glass Ceiling Index oleh The Economist, perbedaan gaji berdasarkan gender ini adalah yang terburuk diantara negara-negara OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development).

Para perempuan Korea Selatan memutuskan untuk tidak menikah karena enggan memiliki keluarga dan anak karena biaya yang sangat tinggi. Selain itu, perempuan akan berada di dalam posisi yang tidak menguntungkan ketika menikah kelak, misalnya posisi mereka yang selalu inferior dibandingkan para lelaki hampir di segala bidang.

Uniknya, secara ironis, menurut penelitian dalam bidang psikiatri dan kesehatan mental oleh peneliti-peneliti Korea Selatan, Myung Hun Kim, Ji Hyun An dan rekan-rekan berjudul Social Isolation, Loneliness and Their Relationships with Mental Health Status in South Korea, dari 1.700 sampel yang dipilih dari beberapa kota besar di Korea Selatan, disimpulkan bahwa isolasi sosial dan kesepian yang diakibatkan oleh kehidupan single atau tidak menikah -- yang semakin meningkat di Korea Selatan -- berdampak erat pada depresi, gejala fobia sosial dan angka bunuh diri (yang memang marak pula terjadi di negara tersebut). (sumber)

Tentu saja penelitian ini menjadi berkebalikan dengan konsep 'kebahagiaan' yang diusung para perempuan (atau laki-laki) Korea Selatan yang memutuskan untuk hidup sendiri. Lalu apa yang sebenarnya terjadi?

Bila dilihat lagi, tidak semua keputusan perempuan untuk hidup seorang diri, tanpa menikah, memang sejatinya karena independensi atau demi kebebasan yang merupakan konsep yang semakin populer di masa modern ini. Banyak dari perempuan di Korea Selatan dan Singapura pada dasarnya terpaksa untuk tidak menikah untuk menghindari kesukaran dalam bidang finansial dan tanggung jawab lainnya.

Kembali kepada pernyataan Cinta Laura mengenai keinginannya untuk tidak terikat pada konstruksi sosial dan memutuskan untuk menikah pada usia yang tidak ditentukan oleh masyarakat pada umumnya, atau tidak menikah sama sekali.

Yang ingin saya katakan adalah bahwasanya pernyataan Cinta Laura tersebut mungkin tidak ada salahnya, tetapi sesuai dengan konsep konstruksi sosial yang dipaparkan sebelumnya, timbullah pertanyaan. Apakah Cinta Laura yakin bahwa keputusannya itu adalah murni keinginan diri sendiri, atau pada dasarnya adalah bentuk dari keterpaksaan, atau lebih parah lagi adalah bentuk dari konstruksi sosial lainnya?

Begini. Di berbagai belahan dunia lain, di banyak negara maju dan modern, sudah ada perubahan sosial yang cukup radikal yang dapat dinilai baik secara positif maupun negatif. Sebut saja misalnya gerakan LGBTQ+ yang mulai dapat diterima di banyak negara dengan latar belakang budaya dan sosial yang berbeda. Banyak masyarakat pula yang telah menuntut dan menerima kesetaraan gender, dimana perempuan mendapatkan tempat yang setara dengan laki-laki.

Maka bisa dikatakan dunia juga perlahan membentuk konstruksi sosial yang baru. Nilai-nilai lama dipertanyakan, dipertentangkan dan diperbaharui. Muncul makna-makna baru untuk semua hal, dan itu tentu saja membutuhkan persetujuan dari kelompok masyarakat tertentu.

Cinta Laura saya rasa memang tumbuh di dalam lingkungan berpendidikan dan modern, mengingat latar belakang keluarga yang berbeda bangsa serta ia sendiri menuntut pendidikan Sekolah Menengah Atas di Jakarta International School dan pendidikan tinggi di Columbia University Amerika Serikat. Bisa jadi, latar belakang budayanya itulah yang membentuk Cinta Laura yang sekarang. Pernikahan mungkin tidak menjadi suatu topik atau isu yang penting untuk dibicarakan di lingkungannya.

Lebih jauh, jangan-jangan tidak menikah sebenarnya adalah sebuah tren yang terbentuk di beragam komunitas masyarakat dunia sebagai respons dari perubahan konstruksi sosial tersebut pula. Maka, saya bisa membayangkan apa yang Cinta Laura sebut sebagai konstruksi sosial juga sebenarnya terjadi di lingkungannya.

Tidak heran bila kelak pernikahan menjadi sesuatu yang dianggap kuno dan mewakili nilai-nilai tradisional. Bisa saja seorang perempuan yang memiliki pikiran ingin menikah di usia tertentu malah akan dicemooh oleh teman-teman dan lingkungannya. Tidak menikah, atau paling tidak, menikah tidak di usia yang dituntut masyarakat sebelumnya, akan menjadi sebuah tren dan mungkin keharusan bagi para perempuan bila ingin dinilai sebagai perempuan yang mandiri atau independen, cerdas dan bebas.

Ironis saya pikir.

Keputusan untuk tidak menikah adalah kehendak pribadi yang harus dihargai dan menurut saya prbadi sama sekali tidak bermasalah. Yang menjadi pertanyaan saya adalah, apakah keputusan tidak menikah sejatinya merupakan bentuk keterpaksaan dan pembenaran semata?

Bila iya, tentu saya pribadi juga menjadi prihatin, terutama merujuk kepada penelitian tentang pengaruh kesendirian pada kesehatan mental yang bahkan dapat menuntuk ke arah bunuh diri.

Menikah memang belum tentu membawa kebahagiaan dan ketenangan, serupa dengan memutuskan untuk hidup sendiri yang juga dapat menyebabkan kesendirian dan masalah mental.

Keputusan menikah ataupun tidak harusnya sama-sama didasarkan pada keputusan matang dan bijak, bukannya bentuk dari keterpaksaan dan pembenaran semata. Menikah karena menuruti konstruksi sosial akan membawa biduk rumah tangga ke arah kehancuran.

Sebaliknya, tidak menikah karena menuruti konstruksi sosial lainnya, akan menjerumuskan diri sendiri ke dalam penyangkalan diri selamanya dan masalah mental lainnya yang disebabkan oleh kesendirian serta kesepian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun