Kesibukan bersekolah dalam balutan covid 19 membuat lupa hari dan tanggal. Bernaung di bawah sekolah yang menerapkan pembelajaran dari rumah berbasis online terasa sekali sibuknya. Selama ini pekerjaan terselesaikan hari itu. Kini di rumah masih harus membuka laptop si teman setia untuk membuka tagihan dari para murid.
Sesuatu yang tetap harus disyukuri. Sehingga ketika tiba-tiba ada kabar libur dan tanggal merah di akhir minggu, aku segera mengambil kalender. Tertulis disitu 31 Juli 2020 Idul Adha. Tiba-tiba rindu kampung halaman. Wabah ini membuat jadwal berkunjung ke kampung menjadi tertuda. Himbauan mudik, himbauan menjadi PENYELAMAT KELUARGA, himbauan menjaga jarak berhasil mendelete seluruh jadwal berkunjung ke kampung halaman.
Libur Idul Adha membuatku berdiskusi dengan orang-orang tercinta. Pulang atau tetap di rumah saja? Demi menjawab segala keraguan, informasi transportasi segera dicari. PT KAI sudah mengoperasikan beberapa kereta api jalur ke Banyuwangi atau sebaliknya. Syarat surat sehat dari dokter pun segera diurus. Tiket sudah ditangan. Aminisi protokol kesehatan sudah siap. Namun ketakutan keluarga besar menjadi penghalang berikutnya.
Kami mengunjungi orang tua. Ibu dengan diabetis adalah orang dalam resiko. Bapak dan Ibu juga sudah 73 tahun artinya mereka semua ODR. Menggunakan moda trasportasi kereta api tentu tidak cukup aman bagi kami. Kekuatiran itu membuat kami mencari alternatif lain. Jadilah dikirimkan seorang teman yang bersedia mengantar dengan biaya minim. Puji Tuhan.
Kami berangkat ketika matahari mulai redup. Sepanjang jalan dipenuhi dengan berjejer pedagang hewan qurban. Aroma menyengat bulu kambing menebar memasuki ruangan mobil yang memang sengaja dibuka. Suasana khas Idul Adha. Kambing-kambing itu ada yang mulai diambil pembelinya, ada yang tubuhnya ditulisi nama pembeli atau kode yang menandakan sudah terjual. Terus ke timur mulai berbeda suasana. Petasan-petasan besar mulai terdengar ketika memasuki kota suwar-suwir. Dar der dor, rame, riuh dan damai. Ah, kata terakhir yang tetap terjaga di bumi pertiwi ini. Meskipun di beberapa tempat banyak yang berusaha membuatnya rapuh dan hancur.
Meninggalkan Jember sudah lepas magrib. Kembang api meledak disana-sini menghias langit malam. Diiringi suara takbir dari bibir-bibir mungil menghadirkan diskusi pendek dengan si kecil.
"Koq anak kecil itu boleh ke masjid." Katanya, mungkin dia berpikir dia boleh kok aku gak boleh. Memang sejak covid menggila, kami dilarang melaksanakan misa di gereja. Ketika new normalpun si kecil masih belum diijinkan untuk mengikuti misa di gereja. Dia masuk kategori ODR bersama para lansia.
"Dia kan tidak rame-rame." Jawabku.
"Nanti tidur masjid anak itu, Bu."
"Ya tidak, ndhuk. Ya pulang."
Lantas dia bercerita ingatan masa lalu ketika pulang kampung dan melihat keramaian takbir di sana. Biasanya memang ada pawai mobil dan pejalan kaki, pada malam menjelang idul fitri dan idul adha. Umat muslim berkeliling sambil menggemakan takbir.