Mohon tunggu...
nigar pandrianto
nigar pandrianto Mohon Tunggu... -

Penulis lepas di berbagai media

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Lantai Sebelas

13 Februari 2012   18:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:42 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore itu, usai mandi aku langsung menghampiri kamera yang sudah terpasang di tripodnya sejak dua minggu lalu. Kamera itu mengarah keluar jendela. Dengan lensa jarak jauh, pandanganku dapat menjelajah ruang-ruang apartemen blok seberang. Jika tirai kamar di blok seberang kebetulan terbuka, dari apartemenku yang berada di lantai sebelas ini, Aku akan semakin bebas melihat apa saja yang terjadi di dalamn sana.

“Hati-hati, kau bisa dituntut oleh mereka jika kepergok mengintip seperti itu,” ujar Denis memperingatkanku sambil mengunyah martabak manis yang masih panas.

“Mereka tidak bakal tahu. Pada siang hari sulit bagi mereka melihat apa yang kulakukan di dalam sini. Sedangkan pada malam hari, lampu ruanganku selalu kumatikan, tidak mungkin mereka dapat mellihatku,” kataku.

Aku kembali membidik, mengarahkanya ke segala temat hingga menangkanp objek yang menarik. Kulihat sebuah apartemen yang terbuka. Itu salah satu ruang apartemen favoritku dalam beberapa hari ini. Di situitu kulihat seorang lelaki yang tengan berdiri.

“Lihat laki-laki itu. Kujamin tidak lama lagi dia akan menyalakan televisinya!” kataku kepada Denis. Denis ikut-ikutan mengintip dari balik kamera. Ia penasaran juga. Dugaanku tidak meleset. Lelaki bertubuh atletis itu mulai menyalakan televisinya.

“Kutebak, tidak lama lagi dia akanminum sesuatu dari langsung dari botolnya.”

Tebakanku lagi-lagi mengena. Tidak lama kemudian lelaki itu memang menenggak sesuatu langsung dari mulut botol.

“Hmm, kau sudah memperhatikan gerak-gerik lelaki itu sejak lama, ya?” kata Denis menebak. Aku tertawa saja.

“itu melanggar privasi, Sinda!”

“Ah, batas-batas privasi kini hampir pudar. Iya, orang sering berkata dirinya membutuhkan privasi, tetapi di sisi lain ia ingin privasinya diketahui orang lain!”

“Maksudmu?”

“Lihat saja di situs Facebook, orang begitu senangnya menceritakan privasinya lewat status Facebook. Tanpa tedeng aling-aling mereka memberi tahu seluruh dunia apa yang sedang dilakukannya. Tanpa segan mereka juga mebeberkan pikirkannya, hayalannya, bahkan imajinasinya.”

“Iya, iya.”

“Bayangkan, ruang yang paling privat pun diumbar di dunia virtual! Batas-batas privasi menemukan ajalnya. Dunia virtual telah membawa berbagai paradoks!”

“Ah,kamu berfilsafat lagi! Bosan, ah!”

Aku tertawa saja seraya mengambil sebuah lagi maratabak manis.

“Coba kau lihat kamar di lantai lima belas, agak bergeser ke sebelah kiri. Tepat pukul delapan, kamar itu akan menyala. Kau akan melihat seorang perempuan muncul di situ. Setelah itu, ia pasti akan membuka jendela kamarnya,” kata Sinda.

Benar saja, tepat pukul delapan, jendela kamar itu terbuka. Seorang perempuan tampak di situ. Tidak lama kemudian ia sudah asyik mengetikkan sesuatu di laptop-nya.

“Kau gila, Sinda! Aku yakin kerjamu hanya mengintai mereka sepanjang hari.”

Aku tersenyum.

“Sudah, aku mau pulang. Lama-lama aku bisa ikut-ikutan gila juga kalau berlama-lama di sini. Besok kujemput kau, ya!”

“Sip!”

Aku tertawa saja. Sepeninggal Denis, Aku kembali asyik dengan kameraku. Di sebuah beranda ruang apartemen aku melihat seorang lelaki keluar. Wajahnya tampak kesal.

Tidak lama kemudian seorang perempuan menyusul dan berdiri di hadapannya. Mereka tampak berbicara serius. Si perempuan berbicara sambil mengangkat-angkat tangannya. Sesekali telunjuknya diarahkan kepada si lelaki. Sepertinya mereka sedang bertengkar.

Tiba-tiba si lelaki berdiri dan menggebrak meja yang ada di situ. Ia berbalik menunjuk-nunjuk si perempuan. Dari gerakan mulutnya Sinda tahu lelaki itu tengah membentak si perempuan. Si perempuan menangis.

Ah, Kenapa harus bertengkar? Tidak ada gunanya. Kalau mereka sepasang suami istri, lebih baik hindari pertengkaran yang tidak perlu.

Sepanjang pengetahuanku, pertengkaran dalam rumah tangga sering terjadi karena masing-masing memiliki “wilayah kehormatan”. Sehingga ketika salah satu dari mereka dianggap memasuki wilayah itu, mereka akan merasa ada penyusup yang harus diusir.

Tidak terasa mataku berair. Ada bayangan dari masa laluku yang tiba-tiba hadir kembali. Aku mencoba menahan agar air yang sudah mengambang di mata tidak jatuh. Tetapi aku gagal.Air mata itu meluncur ke bawah. Brengsek! Aku tidak mau menangis lagi!

Si lelaki kemjudian masuk ke dalam. Si perempuan mengejar. Tidak lama kemudian lelaki itu muncul kembali diikuti oleh si perempuan. Pertengkaran terjadi lagi. Si lelaki menendang pot bunga yang berada di dekatnya.Si perempuan mencoba menarik baju si lelaki. Tapi gerakan itu segera tertepis.

Aku tidak tahan melihat pertengkaran mereka. Kutinggalkan kameranya. Kuambil segelas orange jus untuk melegakan tenggorokan. Setelah itu kulemparkan tubuh ke sofa. Aku tahu pasangan pasangan tadi pasti masih beradu mulut.

***

Esoknya aku sengaja pulang lebih cepat dari kantor. Sejumlah bahan presentasi untuk esok hari kubawa ke rumah. Keberharap semua itu dapat aku selesaikan di rumah.

Begitu sampai di rumah, rasa penasaran kembali menghampiriku. Aku ingin mengetahui apakah kedua pasangan yang bertengkar semalam sudah berbaikan kembali.

Sebenarnya terselip ketidakenakan dalam hatiku. Kenapa aku harus memerhatikanpertengkaran mereka. Pertengkaran mereka bukanlah sebuah sinetron bersambung.Rasanya tidak etis menyaksikan pertengkaran itu sebagai tontonan. Sebab mungkin saja pertengkaran itu bermuka dari sebuah persoalan hebat dan berat yang dialami oleh mereka.

Tetapi aku benar-benar tidak dapat mencegah keingintahuanku.Lalu, seperti hari-hari kemarin, aku kembali mengarahkan lensa kamera itu apartemen di blok seberang. Secara spesifik kuarahkan kamera ke ruang apartemen tempat terjadinya pertengkaran semalam.

Di beranda apartemen itu tampak lelaki yang kemarin malam kulihat bersitegang dengan pasangannya. Lelaki itu tampaktengah berbicara di telepon genggamnya.

Wajah lelaki itu tampak gusar. Sesekali ia menggigit ujung bibirnya. Ia berbicara lagi. Aku mencoba menangkap gerak bibirnya. Namun sulit untuk menangkap apa yang kira-kira dikatakan olehnya.

Ah, apa yang sedang dikatakannya? Apakah ia tengah berbicara dengan pasangannya? Apakah ia tengah mengadukan permasalahan yang sedang dihadapinya kepada seseorang? Tetapi, siapakah orang itu? Sahabatnya? Kawan lamanya? Atau mungkin kekasih gelapnya?

Aku perhatikan lelaki itu dengan seksama. Dari penampilannya kutaksir usianya belum lebih dari empat puluh tahun. Ia cukup memerhatikan penampilan. Buktinya, meskipun sedang berada di dalam rumah, ia tetap memilih pakaian yang masih pantas dikenakan untuk sekadar berjalan-jalan di pusat perbelanjaan mewah di Jakarta.

Hmm, Mmungkin ia bukan pengusaha, tetapi ia pasti bekerja dengan gaji yang lumayan. Apalagi telepon genggamnya adalah tipe premium yang paling akhir dikeluarkan oleh produsen telepon genggam yang cukup getol mengeluarkan tipe baru nyaris saban bulannya.

Kufokuskan kamera ke dalam ruangan di belakang lelaki itu. Kuharap saat itu dapat melihat pasangan lelaki itu. Namun sosok itu tidak juga muncul.

Malam terus berjalan. Bulan muncul dari sela puncak-puncak pencakar langit. Suasana memang hening di atas sini, namun di bawah sana kemacetan tengah berpesta. Orang saling memaki dan melemparkan pekikan klakson Ah, apayang dicari orang-orang itu?

Tidak lama kemudian lelaki itu masukke dalam. Kutunggu hampir satu jam, namun lelaki itu tidak muncul juga. Kulirik jam tangan. Sudah mendekati pukul dua belas. Ah,aku teringat dengan teringat pekerjaanku yang belum rampung. Buru-buru kunyalakan laptop. Aku pun mulai mencoba menyelesaikan bahan presentasi untuk besok siang.

Mendekati pukul satu kuhentiklana pekerjaanku. Rasa letih menyerang. Tiba-tibaaku tergelitik untuk mengintip lagi. Tetapi hal itu segera kubuag Aku ingin berkonsentrasi dengan pekerjaan. Namun dorongan itu kembali menggoda. Kali ini aku tidak dapat menahannya.

Aku beranjak dari kursi. Kuhampiri kamera. Kuintip lagi apartemen yang berada di seberang. Aku ingin memastikan apakah lelaki yang sore tadi dilihatnya masih berada di situ.

Dari view finder kamera kini aku dapat melihat bahwa lelaki itu sudah kembali berada di beranda. Kali ini ia tidak sendirian. Perempuan pasangannya berada di dekatnya. Mereka tampak saling berbicara.

Lama mereka berbicara. Tiba-tiba lelaki itu seperti hendak merangkul si permpuan. Namun dengan kasar ditepisnya lengan lelaki itu.Perempuan itu menatap si lelaki. Ia seperti hendak menangis.

Sekali lagi si lelaki mencoba meraih si perempuan.Namun lagi-lagi si perempuan menepisnya. Ia melangkah mundur. Si lelaki menyerah. Ia diam saja.

Tiba-tiba perempuan itu menangis. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Perempuan itu duduk di kursi. Si lelaki tidak bereaksi. Ditatapnya perempuan itu.

Si perempuan kemudian berdiri seraya mendekati si lelaki. Mereka tampak berbicara sesuatu. Setelah itu si perempuan masuk ke dalam. Namun si lelaki diam tidak bergerak. Pikirannya seperti melayang. Ia menatap langit.

Menurutku lelaki itu tengah memikirkan sesuatu yang sangat rumit. Kucoba untuk menerka-nerka. Mungkinkah lelaki itu tengah memikirkan kesalahan yang diperbuat kepada perempuan tadi.Mungkinkah ia tengah mencari cara agar kesalahannya dapat ditebus?

Jika jawabannya “ya”, pertanyaan berikutnya adalah, apakah mungkin kesalahan si lelaki dapat ditebus begitu saja? Bagaimana jika kesalahan itu sangat fatal, sebutlah lelaki itu telah jatuh cinta kepada perempuan lain? Apakah kesalahan semacam ini dapat ditebus atau dimaafkan begitu saja?

Tidak lama kemudian si lelaki masuk. Lampu ruang tengah mati. Aku seperti melihat selesainya satu babak drama. Tetapi, kehidupan ini bukanlah sebuah drama, bukan? Aku yakin masih akan ada babak berikutnya dari apa yang kulihat malam ini. Apakah keduanya akan kembali berbaikan dan hidup rukun? Jika demikian, aku yakin, pada babak berikutnya akan kulihat mereka berpelukan di beranda rumah sambil menikmati langit Jakarta di malam hari.

Ah, indah rasanya jika mellihat pasangan yang berbahagia, saling mencintai, saling menghormati, dan saling memberi.Jika memang ada kemungkinan untuk meghadirkan kedamaian, toh tidak ada salahnya dicoba.

Esok harinya aku kembai mengintip dengan kameraku. Kuharap aku akan dapat menyaksikan babak akhir dari drama ini. Hmm, mungkin aku harus mempersiapkan sapu tangan agar air mata dapat kuseka jika nanti kulihat ending paling indah.

Namun hingga tengah malam, tidak ada satu pun yang keluar dari apartemen mereka. Bahkan tidak ada satu pun lampu yang menyala di dalamnya. Apartemen itu tampak sepi.

Keesokan harinya tidak ada perubahan. Suasana dingin tetap terasa. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam ruang apartemen itu.

Hingga satu bulan kemudian, suasana tidak juga berubah. Aku semakin dikejar rasa ingin tahu, kemana kedua orang di dalam apartemen itu? Apakah mereka sudah pindah ke tempat lain? Apakah mereka berpisah? Atau keduanya memang memutuskan untuk meninggalkan tempat itu dan mengubur kenangan buruk yang pernah ada di apartemen itu. Tetapi, kemana mereka pergi?

Ya, sampai hari ini mereka memang tidak pernah muncul. Apartemen itu pun tidak pernah terisi kembali. Kukira perjalanan cinta mereka sudah berakhir. Jika benar demikian--dan aku tidak berharap begitu—sangat disayangkan. Sebenarnya selalu ada jalan jika saja mereka mau membuka“batas kehormatan”masing-masing untuk dimasuki oleh orang lain.

Pelan kulepas kamera dari tripodnya. Lensanya kupisahkan dan kumasukkan ke dalam tempatnya. Begitu juga dengan kameraku.Sementara itu pikiranku melayang kepada pasangan yang entah dimana kini mereka berada. Seandainya aku punya kesempatan untuk berbicara kepada mereka, akan kukatakan bahwa persoalan-persoalan yang ada sebaiknya dibicarakan dengan baik. Pasti ada jalan keluar yang baik pula, dan itu bukanlah perpisahan. Tidak ada duka yang lebih menyakitkan dari perpisahan.

Begitu semua selesai kubereskan, kurebahan badan di atas sofa. Mataku terpejam. Tiba-tiba saja ingatanku melayang kepada Wisang. Entah dimana dia berada kini. Kehilangannya sangat menyakitkan.

Ya, kami memutuskan untuk berpisah sebagai suami-istri beberapa tahun lalu. Keputusan itu kami ambil setelah kami menganggap tidak ada jalan keluar yang lebih baik kecuali perpisahan. Kini aku menyadari, keputusan itu merupakan kesalahan yang paling tidak bisa kumaafkan. Mungkin juga bagi Wisang. Ah, seandainya waktu bisa kuulang kembali.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun