Mohon tunggu...
nigar pandrianto
nigar pandrianto Mohon Tunggu... -

Penulis lepas di berbagai media

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Putri Indonesia

13 Februari 2012   17:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:42 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terinspirasi oleh penampilan finalis Putri indonesia di depan para juri tahun lalu, Nadia memutuskan untuk berusaha menjadi salah satu finalis kompetisi yang sama tahun ini. Meskipun wajahnya tidak secantik bintang-bintang sinetron yang setiap malam membuai penonton, Nadia merasa masih memiliki kelebihan lain.

“Aku pernah menjadi finalis cover girl sebuah majalah beberapa tahun yang lalu. Profesiku sekarang tidak jelek-jelek amat, seorang editor di sebuah penerbitan. Aku juga aktif di organisasi sosial. Aku paham benar kesenian tradisional Indonesia. Bahkan kalau ditantang untuk menari Sunda atau Bali pun bakal aku jabanin!” kata Nadia kepada ibunya, Nyonya Vanya.

“Soal bahasa asing, jangan tanya. Bahasa Inggris cas cis cus. Bahasa Jerman oke punya. Semua isu-isu lokal dan isu-isu global, aku sudah lalap semua dari internet dan CNN. Hayo mau tanya apa? Efek rumah kaca? Protokol Kyoto? Konflik Palestina dan Israel? Terorisme internasional?" tantang Nadia.

“Ya, ya. Tetapi saingan kamu juga berat. Bukan seratus atau dua ratus orang lho yang ingin menjadi Putri Indonesia, tetapi ribuan,”kata Nyonya Vanya.

“Aku tidak peduli. Aku harus punya motivasi. Jangan menjadi melempem jika menghadapi pesaing, Ma! Kita berani melangkah karena mampu. Kalau kita mampu namun tidak melakukan sesuatu, itu naman pengkhianatan sekaligus penghinaan terhadap diri sendiri. Ini saatnya membuat sejarah, bahwa perempuan bisa melakukan sesuatu, tidak hanya ngubek di dapur!”

Nyonya Vanya mengangguk-anggukan kepalanya. Ia kagum dengan besarnya motivasi yang dimiliki putri itu. Tetapi ia terus memburu. “Apa tujuanmu menjadi Putri Indonesia?”

Sesaat Nadia terdiam. Ia memutar otaknya untuk menemukan jawaban. Ia tidak menduga dihantam pertanyaan pendek namun sangat sulit untuk dijawab? Ia harus dapat merumuskan jawabannya jika tidak mau dianggap bodoh oleh mamanya.

"Apa tujuanmu menjadi Putri Indonesia?" kejar Nyonya Vanya.

Nadia kembali memutar otaknya. Ia seperti mencoba membuka laci-laci kepalanya untuk menemukan jawaban. Semakin dicari, jawaban yang ingin ditemukan semakin tersembunyi. Semakin digeledah, jawaban itu semakin tidak terlihat.

"Hmm begini tujuanku, Ma," Nadia berspekulasi untuk menajwab, “Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa meraih prestasi. Selain itu, banyak peluang yang bisa didapat jika aku menjadi pemenang Putri Indonesia.”

“Peluang?”

“Ya, aku bisa menjadi duta ini dan itu dan dikirim ke berbagai tempat di Indonesia, atau bahkan dikirim ke luar negeri. Aku juga punya peluang menjadi bintang iklan, beasiswa melanjutkan studi, dan masih banyak lagi.”

“Hanya itu?”

“Ya, paling tidak aku punya motivasi.Melakukan sesuatu tanpa motivasi membuat apa yang kita lakukan menjadi kering. Seperti manusia tanpa jiwa, hanya kekosongan.”

Nyonya Vanya tersenyum. Nadia tidak bisa mengartikan senyum ibunya itu. Terlalu banyak yang dapat ditafsirkan dari senyuman itu. Namun apa peduli Nadia? Hal yang paling penting baginya adalah bagaimana menjadi Putri Indonesia. Ya, jadi bukan sekadar putri indonesia dengan awalan huruf kecil, tetapi Putri Indonesia dengan awalan huruf besar.

Keinginan Nadia untuk menjadi menjadi Putri Indonesia ternyata tidak hanya di mulut. Dua minggu kemudian ia terlihat lebih sering mengunjungi pusat kebugaran yang berada dekat dengan rumah.

“Putri Indonesia itu harus memiliki tubuh yang bagus, Ma! Kalau lemak berkumpuldi sana-sini, tubuh jadi kelihatan jelek. Mana ada putri bertubuh gemuk. Amit-amit deh! Putri Indonesia harus memiliki tubuh yang proporsional. Kalau perlu bertubuh yang seksi. Apalagi kalau nanti mewakili Indonesia ke pemilihan Miss Universe.”

“Lho, apahubungannya?”

“Jelas ada, Ma. Citra Indonesia bakal jeblok kalau Putri Indonesia tidak kelihatan seksi. Lihat saja, pemenang-pemenang Miss Universe dari Amerika Latin, selalu tampak seksi, kan? Keseksian tubuh mewakili bangsa dan negara, Ma.”

Pada hari-hari berikutnya Nadia lebih sering pergi ke pusat spa. Tabungan yang ia kumpulkan sen demi sen selama bertahun-tahun, ia gunakan untuk biaya perawatan tubuh.

Lho, gimana sih Mama? Putri Indonesia harus kelihatan cantik. Kulitnya harus halus terawat. Kalau kulitnya kasar, apa bedanya dengan pembantu rumah tangga, apa bedanya dengan penjual sayur keliling yang setiap pagi lewat di depan rumah kita. Kita harus menunjukkan bahwa Putri Indonesia bukan hanya membutuhkan otak, Ma, tetapi juga punya kulit yang bagus. Ini juga bentuk kecintaan Putri Indonesia terhadap bangsa sendiri,” ketikaNyonya Vanya melihat anaknya lebih sering pulang terlambat karena mengunjungi spa.

Kok bisa begitu?”

“Bisa saja. Kalau saya melakukan perawatan kulit di spa,dengan luluranmisalnya, saya akan memilih untuk menggunkan bahan-bahan tradisional. Mama sendiri yang mengatakan bahwa Indonesia kaya dengan ramuan perawatan kulit tradisional yang mumpuni. Sekarang saatnya untuk membuktikan hal itu. Kita harus menunjukkan bahwa ramuan tradisional Indonesia tidak kalah dengan produk-produk impor.”

Nyonya Vanya mengangguk-angguk.

”Asal Mama tahu, citra perempuan Indonesia terlanjur menurun, menukik tajam di mata dunia internasional. Tidak heran kalau ini sering diperbincangkan di forum-forum internasional soal perempuan di dunia ketiga. Perempuan Indoneisa dicap hanya bisa menjadi tenaga kasar di negeri orang, kalau tidak menjadi pembantu rumah tangga, ya menjadi buruh kasar. Belum lagi mereka sering diperlakukan kasar seperti bintang. Ini pelecehan terstruktur, Ma. Kita harus membaliknya. Kita tidak boleh kalah dengan perempuan dari negara-negara maju. Kalau bukan kita yang mengubahanya, siapa lagi?Kementrian pemberdayaan perempuan sudah kehilangan gigi, seperti macan ompong, dan tidak dapat diandalkan.”

Nadia semakin rajin mengunjungi spa. Sejumlah spa terkenal di Jakarta dimasukinya,dari yang bertarif ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Ia bertekad, penampilannya harus sempurna. Ia tidak mau menjadi Putri Indonesia yang berpenampilan buruk.

Tidak hanya itu, Nadia pun kini lebih sering keluar-masuk pusat belanja. Mal-mal di pusat kota menjadi tempat yang sering dimasukinya.Ya, Nadia merasa sebagai calon Putri Indonesia ia harus mengetahui perkembangan mode. Mode-mode mutakhir keluaran merek-merek ternama harus diketahuinya. Rancangan-rancangan busana karya perancang lokal maupun internasional harus dipahaminya.

“Bagaimana mungkin pengetahuan Putri Indonesia soal fashion hanya mentok di Tanah Abang. Nggak lucu kalau Putri Indonesia hanya tahu perkembangan fashion sebatas Mangga Dua atau Melawai. Putri Indonesia harus tahu perkembangan fashion internasional. Nah, semua informasi itu hanya didapat dari pengamatan langsung di lapangan. Supermal menjadi referensi kita,” kilah Nadia ketika Nyonya Vanya mengethaui anaknya lebih sering berbelanja di mal.

Usaha Nadia tidak hanya sampai di situ. Ia semakin sering memantau Fashion TV dari teve kabel. Dari situlah perkembangan mode dipelajarinya, mulai dari pakaian musim panas, musim dingin, gaun pengantin kontemporer hingga lingerie. Ayahnya yang sering memantau pergerakan saham dunialeat teve kabel bahkan harus mengalah. Ia membiarkan Nadia yang hampir tidak mau beranjak jika sudah terhipnotis Fashion TV.

Impian Nadia untuk menjadi pemenang dalam pemilihan Putri Indonesia makin tidak terbendung. Untuk menambah wawasan pengetahuan nasional, ia mulai sering keluar-masuk perpustakaan. Berbagai buku kumpulan pengetahuan dilalapnya. Berbagai ensiklopedia pun dihabisinya. Bahkan ensiklopedia wayang yang diterbitkan oleh sebuah penerbit di Yogyakarta menjadi salah satu bacaan yang juga disikatnya.

Sejumlah buku sastra juga menjadi incarannya. Bagia Nadia pengetahuan mengenai sastra wajib mengisi kepalanya. Sebab, seringtidak diduga-duga, pertanyan juri menyerempet sastra. Tidak heran, sejumlah kumpulan puisi dibacanya juga, mulai dari sastrawan angkatan lama hingga sastrawan-sastrawan mutakhir, dari karya sastra dalam negeri hingga karya dari luar negeri. Terakhir Nadia menggerus novel One Hundred Years of Solitude yang ditulis oleh Gabriel Garcia Marquez. Meski sulit dimenegrti toh novel itu tetap dikunyah juga.

Bayangan Nadia untuk menjadi pemenang pemilihan Putri Indonesia kian menghebat. Ia membayangkan dirinya berdiri di hadapan ribuan penonton sambil mengenakan mahkota yang didambakan banyakperempuan Indonesia. ia juga membayangkan dirinya akan diundang ke berbagai acara sebagai tamu kehormatan.

Untuk itu ia perlu menambah wawasan seputar kebudayaan dan kesenian. Ia pun mulai membenamkan dirinya pada sejumlah buku mengenai maestro seni tradisi. Profil mengenai Mimi Rasminah, maestro tari topeng dari Indramayu, hingga Bokir dari Betawi habis disimaknya.

Lebih dari itu, Nadia beberapa kali meminta teman kantornya untuk mensimulasikan penjurian Putri Indonesia. Teman-temannya diminta duduk dan bertanya apa saja kepada Nadia. Nadia mencoba untuk menjawabnya sebaik mungkin. Setelah itu mereka diminta untuk mengevaluasi jawaban dan penampilan Nadia.

Ya, Nadia memang benar-benar berubah. Bukan hanya Nyonya Vanya dan suaminya yang dapat melihat ini, adik-adiknya pun bisa melihatnya dengan jelas. Bahkan Virna, adik perempuan Nadia,diam-diam mencemaskan kakaknya.

“Dia terobsesi, Ma! Ini berbahaya. Bagaimana kalau niatnya tidak kesampaian? Bisa-bisa dia menjadi begini,” kata Virna sembari melintangkan telunjuk di keningnya.

“Hush! Tidak boleh begitu,” kata Nyonya Vanya. “Lihat saja sisi postitifnya. Dia punya keinginan, mempunyai motivasi, dan mencoba untuk mewujudkannya. Tindakan dia lebih konkret. Memang begitulah seharusnya perempuan Indonesia.”

“Tetapi dia berlebihan! Jangan dibiarkan. Dia bisa mengalamai disorientasi terhadapdirinya sendiri. Ia bahkan dapat teralienasi. Kalau sudah begitu, gawat deh!”

Perkataan Virna memangaada benarnya. Nadia lebih sering melamun. Kadang-kadang ia melenggak-lenggokkan tubuhnya di depan cermin. Benar-benar mirip Putri Indonesia yang tengah berjalan anggun di depan para juri.

Tidak hanya itu, Nadia kini lebih sering mangkir dari kantor. Ia lebih sering menghilang. Jika ditanya oleh atasan ia menjawab sekenanya. Atasannya pusing tujuh keliling karena pekerjaan di kantor terbengkalai. Beberapa buah buku terindikasi terancam tidak terbit sesuai jadwal karena proses editing yang dilakukan Nadia mogok.

”Mama harus menyadarkan Nadia. Keinginannnya untuk menjadi Putri Indonesia sudah mengganggu lingkungannya. Ini bisa merugikan orang lain dan dirinya sendiri.”

“Sudahlah, kita lihat saja nanti.”

Nadia semakin giat mempersiapkan dirinya untuk ikut pemilihan Putri Indonesia. Ia mulai mencari kliping mengenai para pemenang Putri Indonesia. Ia ingin mengetahui apa saja kiat mereka bisa mencapai prestasi yang demikian luar biasa.

“Aku tidak harus seperti mereka. Tetapi aku harus tahu apa yang telah mereka lakukan hingga para juri kepincut,” gumam Nadia sembari membolak-balik kliping profil Angelina Sondakh, Artika Sari Devi dan Qory Sandioriva dari beberapa majalah wanita ibukota.

“Kalau mereka bisa, aku juga harus bisa! Kalau dilihat-lihat, prestasi mereka tidak ada bedanya dengan aku. Ah, aku pasti punya peluang untuk menang. Pasti!”

Akhirnya Nadia mengirimkan formulir dan dokumen yang dibutuhkan ke panitia pemilihan Putri Indoneisa. Beberapa buah foto terbaiknya ikut disertakan. Kini ia tinggal menunggu jawaban. Jika ia mendapatjawaban ya, makan itu berati ia akan mengikuti serangkaian seleksi berikutnya. Jika ia berhasil, itu artinya ia akan mewakili Daerah Khusus Ibu Kota ke ajang pemilihan tingkat nasional.

Namun jawaban tidak kunjung tiba. Ia menunggu dengan gelisah. Karena tidak sabar, dicobanya untuk menghubungi kantor panitia, namun telepon selalu sibuk. Baru tiga bulan kemudia ia mendapatkan jawaban. Ia tidak memenuhi syarat sutuk mengikuti proses seleksi berikutnya. Kekecewaan Nadia menggunung. Ia menangis. Gagal harapannya untuk mengenakan mahkota Putri Indonesia, simbol kesempuraan perempuan Indonesia.

Mengetahui hal ini Nyonya Vanya menghampiri Nadia. Tangis Nadia kian menjadi-jadi. Bayangannya untuk menjadi Putri Indonesia pupus. Dunia seakan menjadi gelap hampir-hampir tidak harapan. Mentalnya tercacah-cacah. Daya hidupnya lumpuh.

“Aku gagal, Ma! Usahaku sia-sia. Untuk apa aku menyiapkan semuanya kalau semuanya berujung pada kegagalan. Aku tidak mungkin menjadi Putri Indonesia.”

Nyonya Vanya menghela nafas panjag seakan memahami benar kekecewaan yang dialami oleh putrinya itu.

“Tidak usah kecewa.”

“Aku telah kehilangan kesempatan, Ma.”

“Selalu ada kesempatan untuk siapa saja untuk menjadi Putri Indonesia.”

“Tetapi aku tidak akan menjadi Putri Indonesia, Ma.”

“Putri Indonesia tidak berada di kontes pemilihan seperti itu. Putri Indonesia ada dimana-mana, ada di sawah, di jalanan, di lampu merah, di gubuk-gubuk kardus, di kolong jembatan, di emperan toko, bahkan di tempat pelacuran. Dan yang lebih penting lagi untuk kau ketahui, Putri Indonesia itu ada di sini dan di sini,” Nyonya Vanya mengatakan hal itu sambil menunjuk ke pelipis dan dada Nadia.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun