“Indonesia Emas 2045” Visi Indonesia untuk menjadi negara maju dan berdaulat saat satu abad.
Namun sudah tujuh dekade Indonesia merdeka kurang dari tiga dekade menuju satu Abad kemerdekaan Indonesia, pemerataan pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai. Kalau kita bicara tentang pendidikan pasti muncul kata sekolah unggulan, pendidikan digital, dan prestasi akademik. Di sisi lain, masih banyak guru honorer yang gajinya di bawah UMR, sekolah yang kekurangan ruang kelas, dan anak-anak yang harus menempuh belasan kilometer untuk belajar.
Lalu muncul wacana baru: pendirian sekolah rakyat berbasis asrama untuk anak-anak miskin dan terlantar. Digagas oleh Kemensos, dan selaras dengan visi Presiden terpilih Prabowo Subianto, sekolah ini menawarkan pendidikan sekaligus tempat tinggal dan bimbingan karakter.
Sekilas, ini terdengar seperti solusi. Tapi benarkah ini arah terbaik pendidikan Indonesia?
Arena pertarungan dalam Pendidikan
Untuk mengakses sekolah negeri unggulan dibutuhkan usaha yang maksimal karena sulit akibat persaingan yang ketat. Usaha maksimal ini dibiasanya dapat dengan mengikuti bimbingan belajar, memiliki lingkungan belajar yang nyaman tanpa memikirkan harus membantu orang tua dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari dan tinggal di zona strategis.
Sementara itu, anak-anak dari lingkungan petani, buruh harian lepas, atau pekerja informal seringkali tersingkir karena ketiadaan akses yang mencukupi. Mereka bersekolah di tempat dengan sarana terbatas tak jarang gedung usang yang menunggu waktu untuk roboh, guru yang tidak berkompetensi, hingga anak-anak kalangan ini merasa jauh dalam mengapai masa depan seakan tertinggal.
Tanpa kita sadari bahwa kita sendirilah yang membentuk area yang berbeda: satu untuk mereka yang siap bertarung dan satu lagi untuk mereka yang tertinggal.
Sekolah Rakyat Berbasis Asrama: Harapan atau kekhawatiran?
Baru-baru ini Prabowo mengagas wacana pendirian sekolah rakyat yang pembelajaranya berbasis asrama. Program ini menjadi salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah untuk anak-anak yang seringkali tidak memiliki rumah tinggal yang layak, tidak memiliki keluarga yang mendukung, atau anak terlantar. Dengan tinggal di asrama anak-anak ini memiliki akses pendidikan, makanan, dan bimbingan karakter dengan lebih baik. Mereka tidak lagi terpingirkan secara fisik. Namun kekhawatiran mendalam akan menghantui.
Apakah anak-anak ini sedang diberdayakan atau akan dikelompokkan dalam sistem berbeda? Apakah kita sedang menciptakan solusi atau membangun sekolah khusus untuk orang yang miskin saja?
Kesejahteraan Guru yang Kemana
Kita tidak bisa berbicara masa depan pendidikan tanpa menyentuh soal guru. Di banyak pelosok negeri, guru honorer masih digaji ratusan ribu perbulan. Mereka tetap mengajar tetap hadir setiap hari, dan tetap jadi pahlawan tanpa jaminan kesejahteraan.
Ironisnya ketika bicara mengenai reformasi pendidikan guru sering jadi objek bukan subjek. Padahal guru adalah penentu kualitas pendidikan. Kita tidak bisa berhadap ada penididikan yang memerdekakan jika hidup gurunya sendiri dalam sengsara.
Pendidikan Harus Memerdekakan
Paulo Freire seorang pendidikan asal Brazil menulis bahwa pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang membebaskan atau merdeka. Pendidikan yang merdeka bukan soal nilai dan ujian tetapi soal kesadari memahami ketimpangan sosial, mempertanyakan ketidakadilan, dan ikut berperan dalam perubahan.
Hal ini selaras dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia yang percaya bahwa anak harus dididik sesuai dengan kodrat alam dan zamannya. Pendidikan bukan soal penyeragaman melainkan soal merdeka dalam berpikir dan bertindak.
Saat ini arah pendidikan kita justru menjauh dari pemikiran itu. Kita terlalu sibuk skor PISA, Prestasi olimpiade, dan target-terget kuantitatif sambil melupakan bahwa pendidikan seharusnya menciptakan manusia utuh yang berpikir kritis, berempati, dan peduli pada sesame.
Ke Mana Arah Kita?
Jika pendidikan terus bergerak kearah kompetisi dan segregasi kita harus berani bertanya mengenai Pendidikan ini sebenarnya untuk siapa? Jika sekolah unggulan hanya bisa diakses oleh yang punya, dan sekolah rakyat hanya untuk yang miskin, maka keadilan pendidikan sedang mengalami krisis.
Pemerintah dan masyarakat perlu berhenti melihat pendidikan sekedar angka. Pemerintah harus melihat pendidikan bukan soal membangun gedung atau angka tetapi soal merekonstruksi manusia dengan potensi yang dimiliki tiap individu. Kita perlu memastikan bahwa anak-anak yang memiliki potensi berbeda mendapat hak belajar sesuai kebutuhan, guru perlu hidup sejahtera, dan sekolah adalah tempat tumbuh kembang bukan hanya arena pertarungan pendidikan.
Penutup
Pendidikan Indonesia hari ini berada di persimpangan. Kita bisa memilih jalan kompetisi yang elitis, atau jalan pembebasan. yang humanis. Kita bisa terus membuat sekolah unggulan dan sekolah khusus rakyat, atau bisa membenahi sistem secara keseluruhan agar semua anak mendapat hak yang sama karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya tentang prestasi tetapi tentang keadilan. Keadilan seperti yang diajarkan Freire dan Ki Hadjar Dewantara yaitu ketika semua anak apapun status sosialnya bisa duduk dikelas yang sama, diajar oleh guru yang dihormati, dan punya hak untuk mimpi masa depan.