Ukun sangat menyukai nasi padang. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, ia selalu menyempatkan diri untuk mampir ke warung langganannya dan membeli sebungkus nasi padang favoritnya—rendang, sambal ijo, dan sayur daun singkong. Baginya, tidak ada yang lebih nikmat daripada menyantap nasi padang itu setelah pulang sekolah.
Namun, tiga hari terakhir, ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Nasi padangnya selalu hilang secara misterius.
Setiap hari, rutinitasnya selalu sama. Begitu sampai di sekolah, ia memasukkan nasi padang ke dalam laci mejanya. Lalu, setelah pelajaran selesai, ia selalu pergi sebentar ke kamar mandi sebelum akhirnya menikmati makan siangnya. Tetapi hari ini, saat ia kembali, laci itu selalu kosong. Tidak ada bungkusan nasi padang yang seharusnya ada di sana.
Pada awlnya, Ukun mengira mungkin ia lupa membawanya dari rumah. Hari berikutnya, ia mulai curiga, ia tidak mungkin lupa membawanya dan yakin sudah meletakkannya di dalam laci. Hari ketiga, kesabarannya habis. Ia tahu, seseorang telah mencuri makan siangnya.
Pikirannya langsung tertuju pada satu orang—Ilan, sahabatnya sejak kecil, yang kebetulan satu kelas dengannya.
Kenapa Ilan? Pertama, Ilan juga suka nasi padang. Kedua, hanya sedikit orang yang tahu kalau Ukun menyimpan nasi padangnya di laci. Dan ketiga, saat Ukun pergi ke kamar mandi, Ilan selalu ada di kelas.
Saat jam istirahat, Ukun menatap Ilan dengan curiga sebelum akhirnya menghampirinya.
"Ilan, jujur aja deh," kata Ukun, mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kamu yang ambil nasi padangku, kan?"
Ilan yang sedang asyik menggambar di bukunya, mendongak dengan dahi berkerut. "Hah? Aku? Nggak mungkin lah! Ngapain aku mencuri, Ukun? Itu dilarang di sekolah kita! Kamu lupa, ya?"
"Tapi cuma kamu yang ada di kelas saat aku ke kamar mandi!" sergah Ukun.
Ilan menghela napas dan menutup bukunya. "Dengar, aku tahu aku suka nasi padang. Tapi aku nggak akan mungkin mencuri punyamu. Kalau aku lapar, aku tinggal beli sendiri."