Mohon tunggu...
dr. Nicholas Wijayanto SpPD
dr. Nicholas Wijayanto SpPD Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Penyakit Dalam

Medical Doctor Internist

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Lika-liku Pendidikan Dokter Spesialis/PPDS/Residensi

9 September 2023   11:09 Diperbarui: 9 September 2023   11:15 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salam sehat pembaca kompasiana,
Lama tidak menulis, akhirnya saya mulai menulis lagi

Pada kesempatan ini saya akan membahas tentang lika-liku pendidikan spesialis yang saat ini sedang ramai diperbincangkan. Banyak sekali berita tentang perundungan atau bullying pada proses pendidikan dokter spesialis, atau yang disebut juga PPDS/ residensi.

Sebagai awal, saya akan menceritakan bagaimana awal mula saya bisa masuk residensi. Sejak lulus dari pendidikan dokter umum, saya berminat untuk mendalami dan menjadi dokter spesialis ilmu penyakit dalam. Tentu untuk bisa masuk ke pendidikan tersebut tidaklah mudah, karena peminat sangat banyak, sehingga kita harus bisa bersaing dengan peminat lain. 

Pada saat saya melamar untuk masuk residensi, ada 70 dokter yang melamar, sedangkan kuota untuk diterima pada periode saya hanya 11 saja. Maka dari itu, saya melakukan persiapan tes yang cukup panjang, kurang lebih 7 bulan. 7 bulan tersebut saya gunakan untuk kerja magang (supaya dapat surat rekomendasi), belajar (pastinya), mengikuti berbagai seminar tentang penyakit dalam dan menulis berbagai artikel ilmiah yang berhubungan dengan penyakit dalam.

Singkat cerita saya berhasil diterima di residensi dengan satu kali tes(banyak peserta lain yang diterima setelah dua atau tiga kali tes). Saya sangat bersyukur, karena latar belakang saya hanyalah orang biasa yang tidak punya keluarga dokter. Tapi saya percaya bahwa persiapan yang saya lakukan cukup matang, sehingga memberikan hasil yang memuaskan.

Pada tahapan residensi penyakit dalam, akan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu tahap I (junior), tahap II (madya) dan tahap III (chief/senior). Tahap I harus dijalani selama 1 tahun, selama 1 tahun tersebut, para residen akan menangani kasus-kasus penyakit dalam secara menyeluruh dengan bimbingan senior dan supervisor (dokter spesialis staff universitas). 

Memang tahap I ini merupakan tahap residensi yang cukup berat, karena proses adaptasi dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Bayangkan jika sebelum residensi, mungkin kita bekerja dengan sistem kerja 8 jam atau mungkin shift, sedangkan saat residensi, kita harus bekerja secara penuh waktu, yang kadang pekerjaan itu tidak akan pernah selesai. 

Selain menangani pasien, kita juga berkewajiban berpartisipasi dengan seluruh kegiatan yang diadakan, seperti seminar, pengabdian masyarakat, dll. 

Memang sangat melelahkan, kadang terbesit pikiran untuk keluar saja dari residensi ini, apalagi jika kita melakukan kesalahan pada saat menangani pasien, pasti senior dan supervisor akan memarahi kita. Tapi saya anggap bahwa apa yang terjadi merupakan proses pendidikan yang komprehensif (baik dari pengetahuan dan mental). 

Saya percaya bahwa untuk menjadi dokter spesialis, kita harus bisa menangani pasien dengan mental yang kuat, sehingga saya tidak pernah menanggap itu sebagai pembulian. Namun ini yang beberapa oknum anggap sebagai pembulian secara verbal (Kembali ke persepsi masing-masing yaa).

Tahap II merupakan tahapan madya, dimana residen akan masuk ke divisi penyakit dalam secara spesifik selama 8-10 minggu tiap divisinya, contoh divisi ginjal, jantung, paru, alergi, dll. Tahap ini akan dilalui selama 2 tahun. 

Pada tahap ini, tanggung jawab kita langsung pada supervisor konsultan di masing-masing divisi. Pada tahap ini kita akan belajar untuk berkonsultasi langsung dengan konsultan tentang masalah pada pasien yang kita hadapi, dan juga mulai melakukan pelayanan pada poliklinik masing-masing divisi tersebut. 

Semakin naik tahap, tentu tanggung jawab juga semakin besar, karena kita dianggap sudah berkompeten untuk melakukan pelayanan rawat jalan (tentu tetap dengan supervisi), melakukan visitasi pasien yang melakukan hemodialisa, pengawasi langsung pasien yang melakukan kemoterapi, melakukan tes alergi, dll. 

Pada tahap II ini, saya merasa beban pekerjaan sudah mulai berkurang, karena kita betul-betul fokus pada pelayanan pasien, yang artinya tidak terlalu dilibatkan dengan kegiatan-kegiatan lain seperti di tahap I. pada tahap II juga kita akan dipilih untuk menjadi PIC (person in charge) suatu kegiatan seminar. 

Saya yakin bahwa tanggung jawab ini akan membuat kita terbiasa dengan kegiatan berorganisasi dan belajar menjadi leader. Karena nanti saat bekerja sebagai dokter spesialis, kita pasti akan terlibat dengan berbagai kegiatan rumah sakit, seperti akreditasi, pengembangan, dll.

Setelah menjalani tahap I dan II selama total 3 tahun, residen berhak naik ke tahap III atau yang disebut chief residen (paling senior). Pada saat chief, kita dianggap sudah dapat melakukan pelayanan dengan mandiri. 

Chief residen juga akan melakukan ujian nasional kompetensi pada tahap ini. Untuk beban pekerjaan terasa jauh lebih ringan, namun chief memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan junior dan pelayanan pada pasien lebih tinggi. Jadi kalau junior melakukan kesalahan, ujung-ujungnya chief yang akan menanggung kesalahan junior tersebut. 

Momen ujian kompetensi merupakan tembok besar yang akan dilalui pada saat residensi. Saya dan teman-teman melakukan persiapan kurang lebih 6 bulan untuk ujian ini (terdiri dari CBT dan OSCE). 

Persiapan dilakukan sembari tetap melakukan tanggung jawab pada pasien, jadi kadang terpecah konsentrasinya. Selain ujian kompetensi, chief juga harus melakukan ujian tesis. 

Jadi ada 3 tanggung jawab penting pada tahap III ini (pelayanan pasien, ujian nasional dan ujian tesis). Setelah melewati ketiganya, maka akhirnya kita diberikan gelar dokter spesialis penyakit dalam.

Kira-kira seperti itu lika-liku sebagai residen. Memang ini versi singkat saja, tidak bisa menuangkan semua momen pada saat residensi. Nah, berkaitan dengan pembulian, saya rasa itu kembali ke masing-masing ya. 

Kalau saya, selalu merasa bahwa itu adalah tahap pembelajaran dan selalu merasa saya adalah murid yang perlu dibimbing. Kalau memang sering dimarahi, saya rasa kita harus mawas diri, mungkin memang kita perlu banyak perbaikan diri. Secara logika, kalau tidak salah, pasti tidak akan kena marah (ya kan?!). Hanya masalah perspektif saja.

Demikian yang dapat saya ceritakan, nantikan tulisan saya berikutnya.
Salam sehat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun