Mohon tunggu...
Ni Camperenique
Ni Camperenique Mohon Tunggu... -

http://nicamperenique.me

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menghitung Hari

4 Mei 2014   12:08 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:53 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kawan, mari menghitung hari. Kira-kira berapa lama lagi kita bisa menikmati keriuhan hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini? Sadarkah kita, jika setiap kalimat yang kita ucapkan atau ketikkan seringkali justru menjurus pada kehancuran negeri ini? Penyesalan itu selalu datang kemudian, di saat mana tak lagi ada gunanya sekalipun kita menggerung-gerung menangis menyatakan penyesalan dan berkata : aku ingin negeri ini seperti dulu lagi! Ingat, kita tidak punya mesin waktu. Sekalipun punya uang, belum ada juga yang menjual mesin waktu.

Sungguh-sungguh miris membaca dimana-mana bertebaran kalimat-kalimat penuh kebencian dan hasutan. Yang lebih miris lagi, yang seiman pun tidak lagi merasa perlu menjaga ketentraman saudara seiman lainnya, demi mencapai apa yang menjadi tujuan pribadi dan golongannya.

Bukan sekali dua saya membaca status tentang penolakan terhadap salah seorang pemimpin karena sukunya atau agamanya. Kenapa sih 2 hal ini saja yang menjadi sorotan? Kenapa sih kita tidak kompak menolak pemimpin yang korup dan bejat perilakunya? Apakah hanya suku dan agama tertentu yang boleh menjadi pemimpin?

Jika setengah hati memberantas korupsi ya sudah, kompak saja kita membakar negeri ini. Sekalian saja kita bakar dengan kesadaran penuh. Masalah muncul di sana sini, tapi kenapa kita tidak pernah sadar sepenuhnya bahwa penyebab utamanya adalah dana-dana yang dikorupsi gila-gilaan oleh orang-orang yang tidak lagi punya nurani? Kenapa kita malah terkadang terlena dalam buaian goyangan dangdut dalam sebuah pesta yang diselenggarakan oleh seseorang yang terpilih menjadi wakil rakyat, padahal jelas pula kita tahu, bagaimana perilakunya dalam keseharian? Bagaimana kita bisa mengangguk takzim pada orang-orang yang kita tahu tak sekalipun ucapannya seirama dengan perbuatannya?

Kawan, kita sungguh sedang menghitung hari. Saya katanya ini dengan kesungguhn yang memilukan. Pedih melihat anak-anak yang tidak berdosa, tapi kelak merekalah yang paling merasakan sakitnya bila negeri ini tak lagi berdaulat.

Tidakkah lagi ada rasa saudara sebangsa setanah air di dalam hati kita semua? Sudah tak ada lagi 'kah secuil pun bekasnya? Semua seperti berjalan sendiri, untuk kepentingan sendiri. Menyedihkan!

Tak usah dulu bicara hubungan dengan lain agama. Antar Islam saja, ada yang merasa Islamnya lebih baik dari Islam yang dianut saudaranya yang lain. Sampai kapan kita akan menuhankan agama, bukannya mengenali Tuhan melalui agama yang kita anut. Masak iya, mau menunggu perang saudara dulu sih?! Tak usah bantah tentang hal ini, mari kita akui saja, di antara kita sesama pemeluk agama Islam pun kita tidak seia-sekata. Bagaimana bisa begitu? Tidak bisakah kita mengedepankan rasa kemanusiaan di atas segala-galanya? Menyayangi saudara sebangsa setanah air tanpa peduli suku dan agamanya? Jika kita yang sesama Islam saja gontok-gontokan, bagaimana mungkin bisa menunjukkan pada dunia, bahwa Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi seluruh umat manusia. Catat : seluruh umat manusia, tanpa kecuali, tanpa peduli bila bukan Islam sekalipun.

Beberapa hari yang lalu saya terkesima membaca status seorang kawan yang bukan beragama Islam, bukan saya tidak mau menyebutkan agamanya, tapi karena saya memang tidak mengetahui agamanya. Kami berkawan di komunitas yang kami tidak pernah menganggap penting untuk menanyakan : apa agamamu. Dia mengatakan begini : "Walaupun saya non-muslim, tapi saya mendukung sepenuhnya pemberlakuan hukum syariat Islam di Brunei, agar para pelaku kejahatan mendapat hukuman yang setimpal. Seharusnya Indonesia yang mayoritas Islam memberlakukan hukum yang sama agar semakin takut orang melakukan kejahatan. Bla bla bla ... " Sementara kita yang Islam ini, yang selalu ribut mau mengusung pemberlakuan hukum Islam, apakah keseharian kita sudah betul-betul Islami? Sudahkah kehadiran kita membawa rahmat bagi orang-orang di sekitar kita?

Tambah lagi, ketakutan yang menunjukkan kedangkalan berpikir kita, tentang Kristenisasi. Kenapa sih begitu takut? Jika umat Islam tidak bisa membentengi keimanannya, kenapa menyalahkan orang lain? Kenapa kita tidak introspeksi diri?

Saya masih ingat, ketika beberapa tahun lalu, di lingkungan saya ada sekelompok suster yang setiap minggu mengadakan pembagian makanan bergizi. Banyak yang hadir dan rata-rata ya beragama Islam. Ada saja suara miring yang sliweran. Dengan gusar saya berkata, kenapa kita cuma protes? Kenapa tidak melakukan hal yang sama? Padahal berapa sih harga sekilo kacang hijau plus tetek bengek lainnya? Apakah tak ada yang mampu? Ada!!! Cuma masalahnya TIDAK MAU. Merasa takut hartanya berkurang. Merasa curiga jika dana yang dikeluarkan disalah-gunakan orang yang mengerjakan. Ini baru contoh kecil. Tentu masih banyak kasus yang lebih kompleks di luar sana. Tapi sekali lagi, sampai kapan kita mau menyalahkan orang lain? Tidakkah kita bisa berhenti melakukannya dan memilih melakukan aksi nyata menolong saudara-saudara seiman sebangsa setanah air dengan memaksimalkan apa yang ada pada diri kita? Setidaknya memulai dari lingkungan terdekat kita?

Bagi saya, berpindahnya keyakinan seseorang dari agama A ke agama B, bukanlah semata-mata karena bujuk rayu orang lain, melainkan kita yang seiman yang tidak mampu merengkuh saudara-saudara seiman untuk tetap dalam keimanannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun