Pesantren dikenal sebagai lingkungan pendidikan tradisional yang tidak hanya menekankan aspek intelektual, tetapi juga membentuk karakter santri secara holistik. Salah satu pilar utama yang digarisbawahi AbdulMujib dalam Pendidikan Karakter di Pesantren adalah kedisiplinan sebagai fondasi utama pembentukan integritas. Disiplin bukan sekadar ketaatan pada aturan, melainkan proses internalisasi nilai moral yang mengakar melalui kebiasaan sehari-hari dan pengawasan ketat dari kyai dan ustadz. Melalui rutinitas seperti bangun sebelum subuh, salat berjamaah, jadwal belajar kitab, dan kerja bakti, santri dilatih menepati waktu, jujur dalam pelaksanaan tugas, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan serta komunal pesantren.
Budaya pesantren sejak awal dirancang bukan hanya sebagai tempat untuk menuntut ilmu, tetapi sebagai lingkungan tempat adab dan integritas dibentuk secara mendalam. KH. Husein Muhammad dalam Etika Santri menegaskan bahwa pesantren adalah ruang kehidupan penuh makna, di mana nilai kebaikan bukan sekadar diajarkan secara teori, tetapi dihidupkan melalui praktik sehari-hari yang konsisten. Hubungan antara kyai dan santri sering digambarkan seperti antara orang tua dan anak, penuh kehangatan, keakraban, sekaligus didasari penghormatan yang mendalam. Dinamika ini menciptakan fondasi moral yang kokoh dan menjadi landasan pembentukan integritas santri .
Dalam konteks budaya ta'dzim penghormatan kepada guru, keilmuan, dan sesame disiplin menjadi wujud nyata penghormatan tersebut. Santri yang disiplin sebenarnya sedang mengekspresikan ta'dzim terhadap ilmu dan proses pembelajaran yang mereka jalani. Dengan menjaga waktu, mendengarkan dengan khidmat, dan bertanggung jawab pada tugas, santri menunjukkan penghormatan dan syukur terhadap kesempatan belajar di bawah bimbingan kyai dan ustadz. Budaya disiplin ini selaras dengan nilai adab yang membentuk integritas: jujur tidak karena takut dihukum, tetapi karena menghargai ilmu dan penghormatan terhadap proses pendidikan. Disiplin di pesantren juga menjadi ekspresi lanjutan dari ta'dzim. Aktivitas harian seperti bangun pagi, salat berjamaah, pengajian kitab, dan kerja bakti saling menguatkan nilai kedisiplinan sebagai bagian kehidupan. Rutinitas ini bukan sekadar jadwal, melainkan metode pelatihan moral. Para kyai dan ustadz menjalankan peran sebagai teladan nyata---mereka tidak hanya memberi instruksi, tetapi juga menunjukkan konsistensi dalam setiap tindakan. Metode keteladanan (uswah hasanah) dan pembiasaan (mauizah dan latihan) menjadi instrumen utama dalam membangun karakter integritas santri.
Lebih lanjut, kedekatan batiniah antara kyai dan santri menciptakan suasana belajar yang otentik dan transformatif. Santri bukan sekadar murid, tetapi penerus moral yang hidup dalam keseharian pesantren. Mereka mengikuti bukan karena takut dikritik, tetapi karena memahami makna mendalam dari setiap nilai yang ditularkan. KH. Husein menyoroti bahwa otoritas kyai bukan berasal dari struktur birokrasi, tetapi dari wibawa moral dan karisma spiritual yang diwujudkan dalam kesederhanaan dan keteguhan akhlak . Inilah yang membuat ta'dzim dan disiplin menjadi bagian integral dari proses pembentukan integritas.
Gaya ta'dzim ini juga memberikan ruang bagi berpikir kritis---santri bebas bertanya, namun menunggu izin dan menjaga adab bertanya. Ini menunjukkan bahwa ta'dzim bukan membatasi pikiran, tetapi mengarahkan cara berpikir dan berbicara dengan penuh hormat . Dengan demikian, rasa hormat tidak membungkam, melainkan membentuk kualitas interaksi yang beradab dan penuh pertimbangan, menegakkan dialog bukan dominasi. Penanaman nilai ta'dzim dilakukan melalui metode yang sistematis: modeling, nasehat, pembiasaan, dan hukuman lembut. Santri meneladani kyai, mendengarkan nasehat dalam majelis, terbiasa melakukan tindakan penghormatan, dan jika melanggarnya, mendapat teguran untuk kembali ke jalur nilai. Penelitian menunjukkan bahwa kombinasi metode ini sangat efektif dalam menanamkan ikatan emosional dan spiritual antara santri dan guru .
Ketika santri keluar dari pesantren, integritas mereka diuji di tengah masyarakat. Namun, budaya ta'dzim yang sudah tertanam menjadi fondasi kuat. Mereka tidak kehilangan rasa hormat kepada otoritas moral, tetap berbicara dengan adab, dan mampu bersikap reflektif dalam dinamika sosial. Ta'dzim mereka tidak hanya berhenti saat pesantren berakhir, tetapi dibawa sebagai identitas pribadi dalam kehidupan profesional dan sosial. Dalam banyak hal, integritas seorang santri juga diuji dalam hal-hal kecil. Mampukah ia menjaga amanah ketika menjadi ketua kamar? Apakah ia sanggup menjalankan tugas piket dengan jujur meskipun tidak diawasi? Apakah ia bisa menjaga rahasia yang dititipkan teman? Semua hal ini terlihat sederhana, namun menjadi pilar penting yang membentuk watak integritas. Ketika santri dibiasakan untuk berbuat benar dalam hal-hal kecil, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak mudah tergoda oleh keburukan dalam skala yang lebih besar.
Pengaruh integritas santri bahkan terbawa hingga mereka terjun ke masyarakat. Banyak alumni pesantren yang menjadi pemimpin publik, tokoh masyarakat, guru, dan pengusaha yang dihormati bukan hanya karena kepintarannya, tetapi karena integritasnya. Mereka tidak mudah korup, tidak suka memanipulasi keadaan, dan tetap konsisten pada nilai-nilai kejujuran dan kesederhanaan. Ini menjadi bukti nyata bahwa pendidikan integritas di pesantren memiliki relevansi dan kontribusi besar terhadap pembangunan karakter bangsa.
Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang integritas di pesantren, kita sedang membicarakan sistem pendidikan yang tidak hanya mencetak orang yang tahu halal dan haram, tetapi juga mampu mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata. Pesantren telah membuktikan bahwa pendidikan yang menyatu antara ilmu, akhlak, dan keteladanan mampu mencetak generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga benar. Pesantren tidak membentuk santri hanya untuk menjadi orang yang bisa mengaji, tetapi juga menjadi pribadi yang bertanggung jawab dalam mengemban amanah, jujur dalam bertindak, dan tegas dalam mempertahankan nilai. Maka, budaya ta'dzim dan disiplin bukanlah tradisi usang, melainkan pilar kuat dari pendidikan integritas yang relevan hingga hari ini. Di tengah tantangan zaman yang menuntut kecepatan dan kecanggihan, pesantren tetap menjadi penjaga nilai dan pembentuk karakter yang kokoh.
Inilah kekuatan pendidikan pesantren yang tidak memisahkan ilmu dan akhlak, teori dan praktik. Nilai-nilai luhur yang ditanamkan di sana tidak pudar, tetapi mekar dalam pikiran dan tindakan santri di segala fase kehidupan. Sebagai warisan moral, budaya pesantren ini bukan hanya wujud nyata pendidikan integritas, tetapi juga harapan bagi terciptanya masyarakat yang beradab, adil, dan bermoral.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI