Mohon tunggu...
Neyla Hamadah
Neyla Hamadah Mohon Tunggu... Relawan - UNU Yogya

Pejalan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Refleksi: Kebingungan di Tengah Pandemi yang Panjang

12 Mei 2020   10:41 Diperbarui: 21 Mei 2020   13:17 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hari ini sebagian besar dari kita kebingungan. Pemerintah bingung, masyarakat bingung. Situasi sekarang ini sungguh membuat kita bingung. Para terdakwa di penjara tanpa pikir panjang dibebaskan, santri-santri di pesantren dengan berat hati dipulangkan. 

Para pekerja di perusahaan-perusahaan dengan terpaksa dirumahkan. Anak-anak sekolah tak lagi bisa bermain di sekolah dengan teman-teman. Sementara kejahatan di tengah rumah-rumah penduduk dan di jalan-jalan kian beringas dan membuat kita semua was-was.

Kita ibarat berjalan tak tentu arah. Amunisi semakin menipis. Sedangkan kebijakan di lapangan hampir tidak menyentuh substansi. Kapal ini mau melaju ke mana? Kita hendak dibawa ke mana oleh orang-orang yang kita percaya menahkoda? 

Negara-negara jiran memperlihatkan kesolidan mereka, dengan bergandengan tangan pemerintah bersama rakyatnya untuk menghadapi situasi ini dengan kekuatan persatuan. 

Sementara itu di negeri ini, ramai perang tagar politik di media sosial dan adu tensi di media televisi terus terjadi. Tak berhenti saling menjatuhkan, terasa kian memanaskan suhu. Sebagian yang lain gaduh mencari perhatian demi sebuah konten dan kata magnetis yang bernama viral terus saja bergulir.

Tidak, mereka seakan tidak peduli situasi. Hiruk pikuk tak bermakna seolah menjadi kesenangan semu semata. Kita kian terpuruk dalam kebingungan yang nyata. 

Siapa yang salah? Siapa yang bertanggung jawab? sepertinya tidak akan ada yang terima menjadi pihak yang disalahkan oleh pihak lain. Barangkali kita hanya perlu menyalahkan diri sendiri. Iya benar, menyalahkan diri sendiri boleh jadi jalan ninja yang mampu ditempuh saat ini. Dimulai dari pejabat hingga masyarakat. Dimulai dari umara hingga ulama. Tidak ada kecuali. Tanggalkan jubah kalian. Saatnya sama-sama bercermin.

Bukankah kita manusia yang derajatnya sama di hadapanNya? Si hamba yang tidak luput dari kesalahan. Entah kesalahan yang nampak di depan publik maupun yang tersembunyi di balik ideologi. Karena sungguh ini menyangkut kemanusiaan. Tidak peduli engkau menjabat posisi setinggi apa atau engkau memakai jubah agama apa. Sekali lagi, sungguh ini perihal kemanusiaan. Satu jiwa manusia sangatlah berharga. 

Bagaimana jika jiwa itu bagian dari keluargamu, apakah engkau akan tetap menganggap tragedi pandemi di negeri ini tidak seberapa? Mungkin ini kesadaran yang sedikit terlambat. Tapi seperti pepatah masyhur yang sering terdengar, tak mengapa terlambat ketimbang tidak sama sekali. Sebab memang kuping kita perlu terus diasah untuk sering mendengar. 

Bukan, bukan mendengar ceramah. Saatnya kita mendengarkan hikmah, yang muncul dari kegelisahan jiwa. Bertanyalah kepada hati nurani kemudian serahkan pada akal budi untuk memahami. Jangan hanya taklid sehingga kita bagai berjalan dalam kegelapan. Bermata tapi tak melihat. Bertelinga tapi tak mendengar. Berhati tapi tak merasa. 

Dalam salah satu mitos penciptaan Yunani, Zeus menjadi murka karena Prometheus telah mencuri api, kemudian memberikan kekuasaan pada manusia untuk hidup mandiri; maka dikirimkan Pandora untuk menikah dengan saudara lelaki Prometheus, Ephemetheus. Pandora membawa sebuah kotak yang tidak boleh dibukanya. 

Akan tetapi, seperti kejadian kisah Hawa yang begitu penasaran dengan buah khuldi, rasa ingin tahunya tak terbendung lagi. Maka dibukanya tutup kotak itu untuk melihat isinya, dan seketika itu juga semua kejahatan di dunia ini terbang keluar dan menyebar ke seluruh penjuru bumi. Tetapi masih ada yang tersisa di dalam kotak itu: harapan. 

Jadi, meski segala sesuatu tampak pesimis, meski kita merasa bingung dalam kebingungan komunal. Meski saat ini saya tidak begitu yakin situasinya akan membaik secepat polisi menangkap maling ayam. Kita tidak boleh kehilangan satu hal yang membuat kehidupan ini terus berdenyut, yaitu harapan --- kata yang konon ujar Paulo Coelho diperlakukan begitu sinis oleh para pseudo-intelektual yang menganggap kata itu sebagai sinonimnya "tipu daya".

Kata yang telah banyak dimanipulasi oleh pemerintah, yang memberi janji-janji yang tidak ingin mereka penuhi. Sehingga menimbulkan luka di banyak hati rakyat jelata. Harapan adalah kata yang menemani mimpi kita, demi menyambut matahari pagi. Mengusap peluh di siang hari. Kemudian layu di malam hari dan kembali tumbuh keesokan hari.

Ada pepatah menyatakan "Kebrutalan tidak bisa dilawan" tetapi pepatah lain menyatakan "Di mana ada kehidupan, di sana masih ada harapan." Kita boleh bersama-sama berpegang padanya, untuk menghadapi kebingungan ini di tengah pandemi yang panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun