"Jika pendidikan gagal mencetak generasi yang berpikir kritis, maka kita bukan sedang mencetak masa depan, tapi sedang mewariskan kebodohan."
Potret Buram Pendidikan Indonesia
Indonesia memiliki lebih dari 53 juta siswa dan 3,4 juta guru, menjadikannya salah satu sistem pendidikan terbesar di dunia. Namun, dalam laporan Programme for International Student Assessment (PISA), skor Indonesia selalu berada di peringkat bawah. Penelitian dari Harvard bahkan menyebut bahwa Indonesia membutuhkan waktu hingga 128 tahun untuk mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan dengan negara maju (Beatty & Pritchett, 2012).
Pertanyaannya: Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Mengapa kompetensi dasar seperti matematika dan literasi masih menjadi momok bagi sebagian besar siswa Indonesia?
Faktor Penyebab Ketertinggalan
1. Sistem Pendidikan yang Kaku dan Tidak Kontekstual
Kurikulum Indonesia terlalu menekankan pada hafalan, bukan pada keterampilan berpikir kritis dan aplikatif. Negara-negara maju, seperti Finlandia dan Jerman, sudah menerapkan pendidikan berbasis minat dan kompetensi sejak dini. Di Indonesia, penjurusan baru dilakukan saat SMK atau perguruan tinggi.
Data PISA 2018 menunjukkan bahwa 71% siswa Indonesia gagal mencapai kompetensi minimum matematika, bahkan untuk soal aritmetika satu langkah. Ini menandakan minimnya kemampuan dasar yang seharusnya sudah dikuasai sejak SD.
2. Kualitas Guru yang Tidak Merata
Indonesia memiliki sekitar 4 juta guru, tetapi hanya 100.000 guru per tahun yang mendapat pelatihan ulang. Jika berjalan seperti ini, diperlukan 40 tahun untuk melatih semua guru. Ketimpangan kualitas juga sangat terasa antara guru di kota besar dan di pelosok.