Saat berbuka puasa, Hasan duduk sendiri di depan meja kayu yang berderit pelan. Ia menatap takjil yang ia beli di warung depan kos. Es buah yang mulai mencair dan sepotong gorengan yang dingin.
Dulu, di rumah, ayahnya selalu memastikan semua anaknya mendapatkan porsi yang sama. Ibunya sibuk di dapur, menyiapkan hidangan terbaik. Hasan hanya perlu duduk dan menikmati semua kehangatan itu. Sekarang, semuanya terasa berbeda.
Hasan kembali menelepon ibunya. Di seberang sana, suara gelak tawa adiknya terdengar. Mereka berkumpul di ruang makan, berbuka dengan nasi hangat dan lauk kesukaan mereka.
"Sehat, kan, Bu?" Hasan berusaha terdengar ceria.
"Alhamdulillah, Nak. Kamu kapan pulang?"
Pertanyaan itu menampar hatinya. Hasan ingin menjawab "segera", tapi ia tahu jawabannya tidak semudah itu.
Kursi Kosong di Meja Makan
Di tempat berbeda, bagi Fatimah, Ramadan tahun ini lebih sunyi dari biasanya. Setiap kali ia duduk di meja makan, ada satu kursi yang tak lagi terisi. Kursi tempat ayahnya biasa duduk, tersenyum, dan memimpin doa sebelum berbuka.
Setiap kali ia melihat hidangan kesukaan ayahnya, air mata hampir jatuh. Tapi ia tahu, Ramadan bukan hanya tentang kesedihan. Ia harus kuat, sebagaimana ayahnya selalu mengajarkannya untuk tetap tegar dalam keadaan apa pun.
Saat sahur, ibunya mencoba bersikap biasa. Tapi Fatimah tahu, ibunya menyimpan rindu yang sama. Mereka berdua kini berbuka dengan kenangan, bukan lagi dengan kehadiran.
"Dulu, ayahmu selalu memastikan semua makanan cukup untuk kita," kata ibunya sambil menatap piring yang masih penuh.