Mohon tunggu...
Bbgnn  bnnhghc
Bbgnn bnnhghc Mohon Tunggu... Bngn bbgn jjh

Hgbgnn hhncbvf bgggdb bngnnbv nnvbgj

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ramadan Tanpa Pelukan: Merajut Rindu di Perantauan, Menyentuh Kebersamaan yang Hilang

22 Maret 2025   08:43 Diperbarui: 22 Maret 2025   08:43 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rindu yang tak bertepi, tentang Ramadan yang berjalan dalam keheningan (Pinterest, Sarli Murat) 

Hening masih menyelimuti kamar kosnya yang sempit. Dari balik jendela, suara azan subuh berkumandang, membelah dinginnya udara dini hari. Hasan mengangkat telepon, menempelkan ponselnya ke telinga.

"Assalamu'alaikum, Bu."

Suara ibunya terdengar dari seberang. Lembut, tapi terasa jauh. Hasan mencoba menahan kerinduan yang menggelegak dalam dadanya.

"Wa'alaikum salam, Nak. Sudah sahur?"

Hasan tersenyum tipis. Di hadapannya hanya ada sebungkus nasi dan segelas air putih. Bukan opor ayam atau sayur lodeh buatan ibunya.

"Sudah, Bu. Ibu sendiri sahur apa?"

"Oh, biasa, Nak. Sayur bening dan ikan goreng. Kamu ingat, dulu kamu suka rebutan kepala ikannya sama adikmu?"

Hasan tertawa kecil. Kenangan itu kembali menghangatkan hatinya. Ramadan di kampung halaman selalu penuh cerita. Kini, ia hanya bisa mengenangnya di sela-sela kesibukan merantau di kota orang.

Langit Tanpa Pelukan

Ramadan kali ini terasa lebih berat. Tahun lalu, ia masih bisa pulang meski hanya beberapa hari. Tapi tahun ini, jarak dan keadaan tak memberinya pilihan selain bertahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun