Hening masih menyelimuti kamar kosnya yang sempit. Dari balik jendela, suara azan subuh berkumandang, membelah dinginnya udara dini hari. Hasan mengangkat telepon, menempelkan ponselnya ke telinga.
"Assalamu'alaikum, Bu."
Suara ibunya terdengar dari seberang. Lembut, tapi terasa jauh. Hasan mencoba menahan kerinduan yang menggelegak dalam dadanya.
"Wa'alaikum salam, Nak. Sudah sahur?"
Hasan tersenyum tipis. Di hadapannya hanya ada sebungkus nasi dan segelas air putih. Bukan opor ayam atau sayur lodeh buatan ibunya.
"Sudah, Bu. Ibu sendiri sahur apa?"
"Oh, biasa, Nak. Sayur bening dan ikan goreng. Kamu ingat, dulu kamu suka rebutan kepala ikannya sama adikmu?"
Hasan tertawa kecil. Kenangan itu kembali menghangatkan hatinya. Ramadan di kampung halaman selalu penuh cerita. Kini, ia hanya bisa mengenangnya di sela-sela kesibukan merantau di kota orang.
Langit Tanpa Pelukan
Ramadan kali ini terasa lebih berat. Tahun lalu, ia masih bisa pulang meski hanya beberapa hari. Tapi tahun ini, jarak dan keadaan tak memberinya pilihan selain bertahan.