"Bukber berkualitas  bukan yang paling mewah dan meriah, tetapi silaturahmi yang membawa keberkahan, di mana ibadah tetap utama dan kebersamaan penuh makna."
Ketika Bukber Kehilangan Makna
Ketika Ramadhan tiba, dan notifikasi grup WhatsApp mulai ramai. Undangan buka puasa bersama (bukber) sekaligus reuni berdatangan dari teman lama, rekan kerja, hingga komunitas. Tapi, pernahkah kita merasa bahwa bukber kini lebih sering menjadi ajang pamer daripada momen kebersamaan?
Meja penuh makanan, pakaian terbaik, dan ponsel yang lebih banyak dipegang daripada tangan yang berjabat. Foto-foto diunggah, caption penuh kehangatan ditulis—tapi apakah hati kita benar-benar terhubung? Bukber yang seharusnya menjadi perayaan kebersamaan sering kali berubah menjadi ritual tanpa esensi.
Bukber yang Berubah Arah: Silaturahmi atau Ajang Pamer?Â
Tradisi bukber sebenarnya sederhana: bertemu (reuni), berbagi, dan mempererat silaturahmi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, maknanya mulai bergeser. Beberapa fenomena yang sering terjadi:
Ajang pencitraan sosial – Restoran mewah dan foto Instagram menjadi lebih penting daripada kebersamaan.
Kurangnya interaksi nyata – Lebih banyak sibuk dengan gawai daripada berbicara langsung.
Beban finansial – Tidak semua orang mampu mengikuti bukber yang mahal, tapi merasa sungkan menolak.
Survei kecil di media sosial menunjukkan bahwa banyak orang merasa bukber kini lebih bersifat formalitas dibanding silaturahmi yang tulus. Jika tidak hati-hati, kita bisa kehilangan esensi dari tradisi ini.