Mohon tunggu...
Grace Lamris Elysia
Grace Lamris Elysia Mohon Tunggu... Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

IKN: Menjawab Ketimpangan Pembangunan dan Dampaknya bagi Masyarakat dan Lingkungan di Kalimantan

11 Oktober 2025   17:24 Diperbarui: 11 Oktober 2025   16:26 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

“Pembangunan bukan hanya tentang membangun kota, melainkan perjalanan bersama yang membutuhkan kolaborasi dan komitmen untuk menjaga alam dan manusia yang tinggal di dalamnya.” Pernyataan ini sejalan dengan prinsip-prinsip good governance seperti akuntabilitas, transparansi, partisipasi, efektivitas, efisiensi, dan kepastian hukum, semua menjadi fondasi utama dalam pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Pembangunan IKN sebagai pusat pemerintahan baru yang berkelanjutan di Kalimantan Timur bukan hanya sebagai proyek pembangunan saja, tetapi juga bagian dari kolaborasi yang melibatkan berbagai pihak dengan peran dan dampak yang saling berkaitan bagi masyarakat serta kelestarian lingkungan (Dewi et al., 2025). Kolaborasi yang terbentuk merupakan jejaring organisasi lintas sektor. Jejaring organisasi merupakan kerja sama untuk meningkatkan efektivitas komunikasi antar aktor yang terlibat serta mempercepat pertukaran informasi (Fahmi et al., 2025). IKN diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Walaupun IKN menjadi bagian dari kebijakan pemerintah, pada implementasinya juga termasuk dalam pelayanan publik berbasis inovasi teknologi. Sejalan dengan konsep pelayanan publik yakni upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak sipil setiap warga negara atas barang, jasa, dan pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Di Indonesia, layanan publik telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa negara sebagai penyedia layanan harus memenuhi kebutuhan dasar setiap masyarakat demi kesejahteraan bersama, sehingga efektivitas suatu sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan pelayanan publik. IKN menjadi respons atas masalah kesenjangan pembangunan yang belum merata antar daerah (Engkus et al., 2021)

 Proyek pembangunan yang terletak di wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur ini dimulai sejak tahun 2022 dan terus berlanjut di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, menggunakan investasi sebesar Rp75,8 triliun dari APBN hingga tahun 2024 (CNBC Indonesia, 2025). Dalam prosesnya memerlukan perjalanan yang panjang hingga melewati berbagai tahapan pembangunan. Pembangunan tahap I telah selesai dilakukan, yang terdiri atas delapan sektor utama, yakni hotel, hunian, ritel dan logistik, perkantoran, pendidikan, kesehatan, energi dan transportasi, serta area hijau. Kemajuan tahap II pembangunan, yakni percepatan pembangunan jalan dan infrastruktur utama, telah mencapai sekitar 40–50% di berbagai sektor dengan target menjadikan IKN sebagai ibu kota mulai tahun 2028 sesuai dengan Perpres Nomor 79 Tahun 2025 (IKN.go.id, 2025).

Tahukah Anda bahwa pembangunan IKN akan membawa sekitar 9.500 Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk menetap di wilayah tersebut? Berdasarkan berita CNBC Indonesia, secara bertahap sebanyak 4.100 ASN akan mulai bertugas di Nusantara, dan jumlahnya akan meningkat hingga mencapai 9.500 ASN pada tahun 2029 (CNBC Indonesia, 2025). Angka tersebut bukan hanya statistik, tetapi juga menjadi sebuah gambaran perubahan besar yang akan terjadi di Kalimantan Timur, baik dari sisi sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Masalah terbesarnya adalah ketidakseimbangan antara kemajuan ekonomi dengan perlindungan hak masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan. Tanpa kolaborasi yang kuat, proyek tersebut berisiko memperparah ketimpangan sosial ekonomi dan merusak ekosistem alam Kalimantan. Sebagai seseorang yang tinggal di Kalimantan Timur, turut merasakan bagaimana kesenjangan pembangunan antara Pulau Jawa dan Kalimantan telah berlangsung lama. Kini, kehadiran IKN menjadi titik balik, dari wilayah yang dulu dianggap pinggiran, bertransformasi menjadi pusat baru pembangunan nasional, simbol pemerataan dan identitas bangsa yang berlandaskan semangat Nusantara. Namun, setiap kemajuan, akan selalu ada konsekuensi yang harus diperhatikan dengan bijak. Begitu juga dengan pembangunan IKN, pembangunan proyek ini memberikan tantangan baru. Di satu sisi dapat memberikan peluang investasi, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan infrastruktur, namun di sisi lain menimbulkan kekhawatiran tentang masa depan lingkungan dan keberlanjutan hidup masyarakat lokal (Mualim & Meiyenti, 2025).

Kesenjangan pembangunan yang dirasakan di tingkat lokal sebenarnya mencerminkan masalah yang lebih besar pada skala nasional. Pembangunan di Indonesia selama ini masih terpusat di Pulau Jawa, sementara pulau-pulau lain, termasuk Kalimantan, masih tertinggal dari segi infrastruktur dan pelayanan publik (Rinardi et al., 2023). Ketimpangan ini tampak jelas pada aspek transportasi publik dan konektivitas antarwilayah. Hingga kini, jaringan transportasi umum di Kalimantan masih sangat terbatas dibandingkan dengan Pulau Jawa yang telah memiliki sistem transportasi modern seperti kereta cepat, MRT, dan jaringan bus antarkota yang terhubung. Ketimpangan ini semakin terlihat dari kondisi infrastruktur dasar, seperti jalan antarprovinsi di Pulau Jawa umumnya mulus dan terawat dengan baik, sehingga perjalanan antarkota dapat ditempuh hanya dalam hitungan jam. Sebaliknya, di Kalimantan banyak jalan yang rusak, sempit, dan belum terhubung secara optimal antarwilayah, sehingga perjalanan antarprovinsi yang seharusnya bisa ditempuh dalam beberapa jam, sering kali memakan waktu seharian penuh (Mulyana et al., 2023). Kondisi ini menyebabkan mobilitas masyarakat dan distribusi logistik di Kalimantan berjalan lambat, meningkatkan biaya transportasi, dan memperlebar kesenjangan ekonomi antarwilayah. Perbedaan tersebut menunjukkan ketimpangan nyata dalam pemerataan pembangunan infrastruktur dan aksesibilitas antarwilayah di Indonesia. Perbedaan kualitas infrastruktur dan akses mobilisasi tersebut menunjukkan betapa timpangnya perhatian pembangunan antara Jawa dan Kalimantan, terutama dalam hal aksesibilitas dan mobilitas masyarakat (Fahma & Mulyo Hendarto, 2022). Pada proyek pembangunan IKN, masalah konektivitas ini menjadi tantangan strategis yang harus diatasi melalui kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan sektor swasta. Tanpa pemerataan infrastruktur transportasi, pembangunan IKN berisiko menjadi pusat pertumbuhan yang eksklusif dan maju di tengah pulau yang masih terisolasi. Di balik ketimpangan infrastruktur tersebut, terdapat harapan dan tuntutan dari masyarakat yang mengharapkan komitmen nyata pemerintah.

Masyarakat berharap pemerintah menunjukkan komitmen nyata dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berlandaskan pada prinsip keadilan sosial, kelestarian lingkungan, dan peningkatan kesejahteraan. Harapannya, pembangunan IKN dapat menjadi langkah untuk meminimalisir ketimpangan pembangunan yang ada di Indonesia khususnya bagi daerah di luar pulau Jawa dan memastikan bahwa masyarakat lokal tidak hanya menjadi penonton di tanah kelahirannya sendiri, tetapi juga berperan sebagai penerima manfaat utama untuk memiliki ruang berpartisipasi, bekerja, dan memperoleh manfaat ekonomi tanpa kehilangan identitas budaya dari proses pembangunan ini.

Kalimantan merupakan wilayah yang masih kental akan budaya dan adat istiadatnya. Hadirnya IKN juga memberikan kekhawatiran baru bagi masyarakat lokal akan keberadaan lahan adat (Faturahman et al., 2024). Wilayah adat semakin mengecil dan lahan masyarakat secara perlahan digusur tergantikan pembangunan baru. Hal tersebut terjadi karena pemerintah ingin mempercepat pembangunan IKN sehingga mengizinkan pengelolaan lahan jangka panjang bagi investor sesuai Undang-Undang IKN tahun 2023. Padahal, masyarakat adatlah yang secara turun-temurun memiliki keterikatan budaya dan historis dengan wilayah tersebut, namun justru terabaikan sebab tidak memiliki bukti kepemilikan tanah yang diakui secara hukum. Masyarakat lokal terancam digusur di wilayah sendiri dan menghilangkan tradisi adat setempat. Sehingga pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur beserta pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada investor telah memunculkan ketegangan antara pemerintah dan komunitas adat sebagai masyarakat lokal (Zaini et al., 2025).

Pembangunan yang dilakukan seharusnya memberikan kesejahteraan bagi semua pihak, bukan hanya sebagian pihak kecil yang diuntungkan. Jika terus membiarkan kekayaan alam negeri ini hancur atas nama kemajuan, maka itu hanya akan menciptakan kerusakan bagi generasi mendatang. Pembangunan yang bertanggung jawab harus dilakukan dengan seimbang, manfaatnya dirasakan oleh seluruh rakyat, tanpa mengorbankan alam dan masyarakat adat yang telah lama menjadi pemilik tanah tersebut. Hal tersebut selaras dengan konsep governance yang melibatkan tiga besar pihak untuk mewujudkan tata kelola yang baik (Ramadhan, 2020). Pemerintah, sebagai pembuat kebijakan, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil hari ini tidak berujung pada bencana yang tidak dapat diperbaiki di masa depan. Pihak swasta yang berperan sebagai investor dan penyokong dana, hingga masyarakat sebagai pengguna layanan dan kontrol atas kebijakan.

Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur telah dirancang sebagai lambang kemajuan Indonesia dan wujud pemerataan pembangunan. Tujuan pembangunan IKN adalah untuk mewujudkan kota yang inovatif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan, sebagai perwujudan atas pemerataan pembangunan yang belum merata di Indonesia. Proyek besar ini melibatkan banyak pihak, seperti pemerintah pusat, Otorita IKN, pemerintah daerah, masyarakat adat, investor swasta, LSM lingkungan dan NGO, akademik, hingga media (Vernando, 2024). Secara kelembagaan juga, kerja sama lintas sektor pembangunan IKN menjadi bentuk perjanjian kerja sama Public-Private Partnership (PPP) yang bernilai ratusan triliun rupiah, karena melibatkan perjanjian kontrak kerja sama antara pemerintah dengan investor swasta dalam jangka waktu yang lama. Kolaborasi antar pihak menjadi bagian penting agar pembangunan IKN tidak hanya menghasilkan infrastruktur megah, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi masyarakat sekitar dan tetap menjaga keseimbangan alam Kalimantan. Untuk memastikan pemerataan pembangunan melalui pembangunan IKN tidak berdampak buruk bagi masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan setempat, maka kolaborasi antar stakeholders harus terus diperkuat dengan komunikasi terbuka, membangun rasa saling percaya, dan komitmen yang tinggi dari semua pihak. Sebagai solusi konkret terhadap tantangan yang ada, strategi pengawasan partisipatif perlu diperkuat untuk memastikan keterlibatan masyarakat dalam setiap tahap pembangunan. Pengawasan yang melibatkan masyarakat dapat mengurangi potensi konflik dan memastikan bahwa proyek infrastruktur memenuhi standar yang telah ditetapkan. Selain itu, pembangunan jalan dan infrastruktur transportasi lainnya perlu dipertimbangkan untuk menghubungkan antarprovinsi Kalimantan. Selanjutnya, strategi pengelolaan lingkungan harus diutamakan untuk meminimalisir dampak negatif terhadap ekosistem dan lingkungan sekitar. Konsep pembangunan "Kota Hutan" dan "Kota Spons" yang mengintegrasikan ruang hijau serta pengelolaan air yang berkelanjutan, menjadi solusi penting untuk mengurangi jejak ekologis IKN. Pembukaan ruang terbuka hijau, peningkatan kualitas drainase, dan penerapan teknologi ramah lingkungan akan menjaga kualitas lingkungan sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca. Kebijakan penataan infrastruktur harus berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti pembangunan jalan dan pembebasan lahan yang tepat guna. Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat setempat harus difokuskan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) lokal agar masyarakat tidak hanya menjadi penonton dalam pembangunan kota mereka. Hal ini mencakup pelatihan keterampilan yang relevan, baik formal maupun non-formal, untuk memastikan bahwa warga lokal dapat berpartisipasi aktif dalam perekonomian yang dibangun.

Kolaborasi pembangunan IKN sejauh ini menunjukkan kemajuan nyata, tetapi juga meninggalkan masalah penting. Dari sisi ekonomi, pemindahan ibu kota bertujuan untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa, dengan memindahkan pusat-pusat pemerintahan dan menciptakan peluang ekonomi baru di Kalimantan Timur. Hal ini berpotensi memperbaiki distribusi PDB dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan di luar Jawa. Namun, dampak positif tersebut belum dirasakan secara merata. Masyarakat lokal di wilayah IKN baru, seperti di Kalimantan Timur, harus bersiap menghadapi tekanan dari gelombang urbanisasi yang dibawa oleh pendatang, termasuk ASN dan pelaku ekonomi lainnya (Mazda, 2022). Akibatnya, meski ada harapan peningkatan kesempatan ekonomi, ketimpangan sosial dan potensi konflik antar kelompok etnis masih menjadi tantangan besar. Akibatnya, ketimpangan sosial justru semakin meningkat dan menimbulkan konflik antara masyarakat pendatang dan penduduk asli. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan masih terbatas.

Dari sisi lingkungan, IKN juga memberikan dampak pada perubahan lingkungan. Banyak lahan hutan yang telah dibuka untuk pembangunan infrastruktur, termasuk untuk jalan-jalan utama dan fasilitas lainnya. Adanya alih fungsi lahan dapat memicu kekhawatiran terkait penebangan hutan di Kalimantan Timur, yang dapat merusak keanekaragaman hayati, khususnya flora dan fauna. Jika dibiarkan maka dapat memperparah banjir di Kalimantan Timur. Untuk mendukung kelestarian lingkungan, maka kolaborasi dilakukan dengan melibatkan pemerintah dan lembaga konservasi seperti WWF, misalnya melalui reboisasi 8.420 hektar hingga pembangunan green infrastructure berbasis energi terbarukan (WALHI, 2024). Namun, dalam realitanya berdasarkan data pemantauan menunjukkan bahwa masih terjadi deforestasi hingga 20.000 hektar, peningkatan logam berat di air tanah sebesar 40%, serta penurunan populasi satwa endemik seperti orangutan hingga 25% (Kompas.com, 2022; WWF Indonesia, 2023). Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara laju pembangunan fisik dan kemampuan ekosistem untuk pulih.

Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) menjadi harapan baru dalam pemerataan pembangunan Indonesia. Namun, keberhasilannya tidak hanya ditentukan oleh seberapa cepat gedung berdiri atau infrastruktur selesai dibangun, melainkan sejauh mana kolaborasi antarpihak mampu menghadirkan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, masyarakat adat, akademisi, media, dan lembaga lingkungan menjadi fondasi utama agar IKN tumbuh sebagai kota yang inklusif dan berorientasi pada kesejahteraan bersama. Pembangunan IKN menjadi kekuatan untuk memperbaiki ketimpangan pembangunan nasional yang selama ini terpusat di Pulau Jawa. Ketimpangan akses terhadap transportasi publik, infrastruktur dasar, dan layanan publik di Kalimantan menunjukkan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak akan pernah tercapai tanpa pemerataan yang nyata antarwilayah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun