Mohon tunggu...
Ners Michael M
Ners Michael M Mohon Tunggu... Perawat

Praktisi dan Edukator Keperawatan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Yang Sering Terlewat Oleh Pemimpin Keperawatan

13 Oktober 2025   04:11 Diperbarui: 13 Oktober 2025   04:11 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di era digitalisasi dan keterbukaan informasi yang ada sekarang, karakteristik pasien menjadi lebih bervariasi. Pasien lebih vokal dan lebih kritis. Akses informasi yang serba mudah dan cepat memungkinkan pasien untuk mengakses informasi mengenai kondisi kesehatan nya dan pilihan terbaik apa yang kiranya bisa dipilih. Dampak baiknya, hubungan paternalistik antara pasien dan tenaga kesehatan seolah menjadi berkurang. 

Di sisi lain, era transformasi digital ini memberikan dampak lain yang tidak kalah signifikan bagi dunia pelayanan kesehatan. Dengan semakin vokal nya pasien ini, seolah-olah kami perawat tidak boleh melakukan kesalahan sedikit pun. Ketika standar pelayanan yang kami berikan dirasa tidak sesuai ekspektasi pasien, maka tinggal menunggu hitungan jam bisa menjadi kasus yang viral. Hal tersebut, secara bersamaan akan menjadi stressor bagi para perawat yang mengisi garda terdepan dalam melakukan asuhan keperawatan.

Adalah betul jika kami perawat tidak boleh melakukan kesalahan ketika memberikan asuhan kepada pasien, karena mungkin akan berdampak serius pada kelangsungan hidup pasien. Tapi, jika kita lihat dari beberapa kasus yang cukup banyak beredar di media sosial, semisal perawat gagal memasang infus -- pasien langsung menuduh malpraktik, dst. Padahal jika ditelusur lebih jauh, perawat tidak melakukan malpraktik, hanya saja tingkat kemudahan memasang infus tidak sama pada setiap pasien, jadi pada beberapa pasien pasti akan mengalami kesulitan. Dan saya berani jamin, tidak ada intensi perawat untuk menggagalkan pemasangan infus pada pasien. Tidak ada untungnya bagi perawat, yang ada hanya rugi waktu dan tenaga jika harus gagal memasang infus.

Pada banyak kesempatan kita melihat banyak pula perawat yang dituntut oleh pasien atau keluarga pasien akibat merasa menjadi korban "malpraktik", padahal kalau ditelusur dan diusut, belum tentu hal tersebut adalah malpraktik. Agar lebih jelas, mari kita sepakati definisi malpraktik terlebih dahulu. Menurut American Medical Association malpraktik didefinisikan sebagai kondisi ketika tenaga kesehatan melakukan tindakan lalai yang kemudian menyebabkan cedera pada pasien akibat menyimpang dari standar praktik atau standar operasional prosedur.

Jika kita melakukan internalisasi definisi tersebut kedalam kasus kegagalan pemasangan infus. Maka alur nya seperti ini. Perawat mendapatkan order pemasangan infus dari dokter, perawat sudah melakukan tindakan aseptik sebelum dan selama pemasangan, sudah memilih vena yang sesuai, sudah memilih ukuran jarum infus yang sesuai, dan sudah disetujui oleh pasien/keluarga pasien, tapi kemudian masih gagal dalam memasang infus karena memang kondisi pasien yang sedang demam, dehidrasi, dan terkait faktor riwayat penyakit. Maka, itu bukan malpraktik, tapi termasuk risiko prosedural. Karena pada hakikatnya semua prosedur atau tindakan masih berpeluang untuk mengalami kegagalan.

Sekarang kita fokus pada aksi dan reaksi kepemimpinan keperawatan yang muncul pada kasus tersebut. Sedikit sumber yang penulis dapat terkait respon pemimpin keperawatan dalam menyikapi kasus tersebut. Mayoritas respon yang diberikan pihak Rumah Sakit yang umumnya diwakili oleh Direktur atau Humas Rumah Sakit adalah melakukan support terhadap perawat yang bersangkutan dan mendampingi proses hukum.

Respon pemimpin Keperawatan seolah masih kurang terlihat dalam kasus-kasus tersebut. Seorang pemimpin keperawatan seharusnya menjadi pelindung moral. Pemimpin tidak hanya mengurusi jadwal dinas atau supervisi klinis, tapi juga menjadi pelindung moral bagi staff nya dari tuntutan pasien dan tekanan sosial. Pemimpin perlu memastikan proses investigasi berjalan dengan adil, lancar, jelas, dan berdampak pada proses belajar bagi kelompok agar kejadian serupa tidak terulang. Jadi jangan hanya fokus menyalahkan tanpa melakukan perbaikan kedepannya.

Jika kita mengaplikasikan teori kepemimpinan etik. Pada kasus ini, pemimpin seharusnya menjadi kompas moral bagi staf serta menunjukan perilaku yang konsisten dengan perilaku moral dalam bentuk kejujuran, keadilan, dan bertanggung jawab -- serta menjadi role model bagi staff nya (Brown & Trevio, 2006).

Selain itu, pemimpin keperawatan seharunya fokus pada mentrasnformasi nilai dan cara pandang staf ketika menerima tekanan. Pemimpin meyakinkan staf untuk tidak melihat tekanan hanya sebatas ancaman, melainkan peluang pembelajaran. Selain itu. Meneguhkan staf agar tetap caring dan profesional serta mendorong sikap empati dan menghindari sikap defensif kepada pasien. Hal lain yang perlu dilakukan adalah mendorong iklim kolektif tim, menjadikan insiden tersebut sebagai ajang refleksi dan internalisasi diri, fokus pada perbaikan dan tidak hanya menyalahkan individu  (Bass & Riggio, 2006).

Budaya fokus pada kesalahan bisa menjadi "racun" pada internal tim keperawatan. Seorang perawat yang terlibat insiden akan mengalami yang namanya second victim syndrome (SVS). SVS adalah sebuah efek negatif yang timbul pada perawat yang terlibat insiden. Efek tersebut dapat berupa kecemasan, depresi, merasa bersalah, merasa tidak kompeten, marah pada diri sendiri, hingga gangguan psikosomatis seperti nyeri kepala dan sulit tidur (Wu et al., 2023).

Dalam systematic review yang dilakukan oleh Wu et al. (2023) pada perawat (Intensive Care Unit) ICU yang terlibat insiden dan mengalami SVS dapat diketahui bahwa variasi waktu perawat dalam pemulihan dari fase SVS ini cukup bervariasi diantaranya 2-4 % pulih kurang dari satu hari, 22-29% pulih dalam waktu satu minggu, 20-40% pulih dalam waktu satu bulan, 10-20% pulih dalam waktu satu tahun, 1-11% butuh waktu lebih dari satu tahun untuk pulih, dan 8-15% tidak pernah pulih sama sekali. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan staf yang mungkin terlibat dalam sebuah insiden tapi tidak mendapatkan dukungan dari pemimpin dan kelompok di internal tim dan justru malah disalahkan. Maka, budaya saling menyalahkan jangan pernah dilestarikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun