Saat ini, peternak Sapi Bali di Timor sedang dilema dan galau. Memelihara kearifan lokal atau meninggalkannya.
Mata pencaharian orang Timor di bagian barat secara khusus Suku Dawan adalah bertani dan beternak. Khususnya untuk ternak sapi, dimulai sejak tahun 1912, ketika Pemerintah Hindia Belanda membawa Sapi Madura ke Pulau Flores dan Sapi Bali ke Pulau Timor.
Peternakan Sapi Bali cocok di daerah ini dengan sistem peternakan lepas (penggembalaan) dan sistem penggemukan (paron) sehingga perkembangannya cukup pesat dan membantu perekonomian masyarakat.
Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) merupakan markas Suku Dawan dengan jumlah sapi potong terbanyak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Jika NTT disebut sebagai provinsi ternak maka ketiga kabupaten ini adalah jantungnya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTT, pada tahun 2018, populasi ternak sapi potong di Kabupaten Kupang mencapai 225.697 ekor, Kabupaten TTS mencapai 194.401 ekor dan Kabupaten TTU mencapai  125.165. Angka tersebut merupakan yang terbanyak sejak tahun 2004.
Pada zaman dahulu hingga kini, Suku Dawan memiliki budaya beternak yang unik khususnya sapi, babi, kerbau, kuda dan kambing. Mereka yang masih beternak dengan sistem lepas, ternak-ternak tersebut tidak melulu digembalakan tetapi dilepas di padang atau hutan dan dibiarkan berhari-hari bahkan berminggu-minggu.
Tentunya, peluang terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang buruk dari budaya beternak semacam ini sangat besar. Misalnya tersesat di gerombolan ternak orang lain bahkan kemungkinan terburuknya adalah dicuri oleh orang lain.
Fenomena ini akhirnya memaksa masyarakat Dawan untuk membuat sebuah kesepakatan sosial yang dipelihara sebagai salah satu budaya dalam beternak yang masih berlaku hingga saat ini yaitu penggunaan Malak dan Hetis pada ternak.
Malak (branding) dan Hetis (ear notching) adalah sebuah tanda pengenalan terhadap ternak dari pemiliknya. Malak dan Hetis bukan hanya unik tetapi memiliki nilai yang sangat penting untuk dibudidayakan. Jika ternak tidak memiliki Malak dan Hetis maka resikonya cukup besar dibandingkan dengan ternak yang memilikinya.
Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, Malak dan Hetis menjadi polemik baru dalam peternakan sapi di Pulau Timor saat ini. Sapi yang memiliki Malak dan Hetis dinilai dengan jumlah uang yang lebih sedikit dibandingkan dengan sapi yang tidak memiliki Malak dan Hetis.
Para peternak dilema dengan harga jual demikian. Jika mereka tidak menggunakan Malak dan Hetis pada ternak sapi maka konsekuensinya adalah rawan dicuri oleh orang lain. Jika mereka menggunakan Malak dan Hetis maka konsekuensinya adalah sapi dihargai dengan nilai uang yang tidak objektif.
Menurut para pedagang, Malak menimbulkan luka bakar permananen yang dapat menyebabakan harga kulit ternak menjadi lebih murah sehingga wajar jika sapi yang memiliki Malak dihargai dengan murah. Sedangkan Hetis tidak memiliki alasan yang jelas.
Rata-rata harga kulit sapi yang baik berkisar dari 450 ribu -- 600 ribu rupiah jika dihargai 11 ribu - 12 ribu per kilogram. Jika harga sapi yang memiliki Malak dan tidak memiliki Malak memiliki perbedaan yang sangat besar maka jelas bahwa alasan tersebut dipolitisasi demi kepentingan pedagang.
Sesuai dengan pengamatan penulis, hanya sebagian masyarakat yang mengetahui alasan sapi yang memiliki Malak dan Hetis dihargai dengan murah sehingga kesadaran untuk mencegah terjadinya politisasi harga sapi di lapangan pun sangat kecil.
Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu mengambil langkah tepat untuk menyelesaikan polemik ini sehingga tidak ada politisasi harga yang merugikan peternak.
Salam!!!