Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengkritik Kesadaran Masyarakat Kulit Putih tentang Rasisme di Amerika Serikat

3 Juni 2020   01:18 Diperbarui: 3 Juni 2020   07:23 1142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang bocah lelaki kulit hitam memegang kertas bertuliskan Am I Next? saat protes di pusat kota Los Angeles, (AP/Christian Monter via kompas.com)

Menurut saya, lembaga-lembaga yang berfungsi di negara ini jelas rasis, dan mereka dibangun di atas rasisme. -Stokely Carmichael, Aktivis Amerika keturunan Afrika

Kematian George Floyd yang membangkitkan amarah sebagian besar masyarakat Amerika Serikat mengubur berita-berita terkait pandemi Coovid-19 yang sedang menyelimuti seluruh dunia. 

Pasalnya, dua hasil autopsi terakhir yang diinisiasi oleh keluarga George Floyd membungkam hasil autopsi pertama yang mengatakan bahwa tidak ada bukti fisik bahwa Floyd meninggal karena pembunuhan.

Dilansir dari berbagai sumber, awalnya, Floyd yang merupakan seorang pria kulit hitam keturunan Amerika-Afrika berusia 46 tahun ditangkap karena diduga melakukan transaksi menggunakan uang palsu senilai 20 dolar Amerika Serikat atau setara dengan 292 ribu rupiah pada Senin, 25 Mei 2020.

Floyd ditangkap dan diborgol oleh empat polisi dari Minneapolis. Penangkapan Floyd berhasil direkam oleh beberapa orang sehingga kematian Floyd tidak diterima oleh keluarga dan beberapa orang karena terdapat adegan tak biasa yang dilakukan oleh polisi sehingga perlu dilakukan autopsi.

Autopsi pertama dilakukan oleh Kantor Uji Medis Kabupaten Hennepin. Selain mengatakan bahwa tidak ada bukti pembunuhan, Floyd diklaim sedang menderita penyakit jantung arteriosclerotic dan hipertensi. 

Floyd juga disebut mengonsumsi fentanil, metamfetamin dan minuman keras yang disebut sebagai sebuah kombinasi ampuh untuk menghabisi nyawa seseorang yang sedang menderita penyakit-penyakit tersebut.

Sementara, dua hasil autopsi terakhir tersebut menunjukkan bahwa Floyd murni meninggal dunia akibat pembunuhan atau dicekik. Hasil ini diperkuat dengan bukti video yang merekam kronologi penangkapan George Floyd oleh empat orang polisi. 

Dalam video tersebut, seorang perwira polisi kulit putih Amerika Minneapolis bernama Derek Chauvin menekan leher Floyd menggunakan lututnya pada saat Floyd dalam keadaan sedang diborgol dan menelungkup di pinggir jalan selama 8 menit dan 46 detik.

Lagipula, suara minta tolong Floyd masih terekam jelas oleh kamera yang terus berseru agar lehernya dilepas. Bahkan, yang membuat banyak orang menjatuhkan air mata adalah Floyd sempat memanggil ibunya sebagai bentuk teriakan minta tolong sebelum tewas.

"Lututmu di leherku. Aku tidak bisa bernapas... Mama. Mama," ujar George diiringi dengan rintihan sebelum tewas.

Lebih ironisnya, masyarakat yang menyaksikan kejadian tersebut berteriak meminta kepada Chauvin untuk mengangkat lututnya dari leher Floyd pun tak dihiraukan. Akibatnya, Floyd mati lemas setelah dilarikan ke rumah sakit Hennepin County Medical Center.

Hasil autopsi yang berbeda juga berindikasi mempertegas rasisme yang sedang dialami oleh orang kulit hitam di Amerika. Bagaimana hasil autopsi bisa berbeda? Sedangkan bukti video dan saksi mata sangat mendukung bahwa Floyd mati dicekik meskipun tidak dilakukan autopsi?

Demonstrasi

Demonstrasi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Amerika Serikat bukan semata-mata menuntut profesionalisme kerja kepolisian untuk melindungi masyarakat tetapi tuntutan atas unsur-unsur rasisme yang masih mewarnai tindakan aparat kepolisian di Amerika Serikat.

Demonstrasi ini membuktikan bahwa masyarakat kulit hitam tidak lagi sabar dengan perlakuan aparat hukum Amerika Serikat yang menganaktirikan bahkan bertindak semena-mena terhadap masyarakat keturunan Amerika-Afrika. 

Khususnya untuk tahun ini, tiga orang warga Amerika Serikat berketurunan Afrika tewas karena rasisme. Selain Floyd, ada Ahmaud Marquez Arbery dan Breonna Taylor yang merupakan korban terdahulu.

Pada 23 Februari 2020, Ahmaud Marquez Arbery, seorang pria Afrika-Amerika berusia 25 tahun ditembak mati dua warga kulit putih atas nama Travis McMichael dan ayahnya Gregory di dekat Brunswick di Glynn County, Georgia.

Arbery ditembak pada saat sedang jogging di Holmes Road sebelum memasuki persimpangan dengan Satilla Drive di Satilla Shores tetapi masalah tersebut ditarik ulur hingga saat ini tidak memiliki kejelasan penanganan.

Sedangkan Pada 13 Maret 2020, Breonna Taylor yang juga seorang wanita keturunan Afrika-Amerika berusia 26 tahun, ditembak mati oleh petugas Departemen Kepolisian Metro Louisville (LMPD) pun masih kontroversial hingga saat ini karena pengusutan kasus yang terkesan melindungi aparat dibandingkan dengan mengupayakan penegakan Hak Asasi Manusia.

Rasa kepercayaan masyarakat Amerika kulit hitam terhadap pemerintah Amerika dan instansi terkait seakan hilang. Pasalnya, upaya pemerintah rasanya tidak menunjukkan keadilan terhadap masyarakat kulit hitam berdasarkan tiga kejadian tersebut.

Mengenang Pidato Gettysburg-nya Abraham Lincoln dan I Have A Dream-nya Martin Luther King

Pada saat saya membaca berita tentang rasisme yang sedang dihadapi oleh masyarakat kulit hitam di Amerika Serikat pada saat ini, saya teringat dengan pidato tokoh idola saya Abraham Lincoln yang dikenal dengan Pidato Gettysburg.

Jika Abraham Lincoln disebut sebagai salah satu presiden terbaik sepanjang sejarah Amerika Serikat maka salah satu pidatonya yang disebut sebagai Pidato Gettysburg itu juga disebut sebagai salah satu pidato terkenal dalam sejarah Amerika Serikat.

Seratus lima puluh tujuh (157) tahun yang lalu, lebih tepatnya pada tanggal 19 November 1863, atau empat setengah bulan setelah tentara Union mengalahkan pihak Konfederasi di Pertempuran Gettysburg (Perang Saudara Amerika masih berkecamuk), Abraham Lincoln yang menjabat sebagai Presiden Amerika pada waktu itu menyampaikan pidato tersebut sebagai bentuk apresiasi terhadap perjuangan para pahlawan.

Pidato tersebut disebut oleh kebanyakan orang sebagai pidato yang bukan hanya fenomenal tetapi unik karena meskipun hanya berdurasi dua menit tetapi memiliki makna yang sangat mendalam. 

Pidato yang disampaikan pada saat penyakit vesicular rash dan cacar ringan menyerang dirinya berisi tentang prinsip-prinsip kesetaraan sejati yang harus ditegakkan untuk semua warga Amerika Serikat karena ada pertumpahan darah dan korban nyawa yang dibayar hanya untuk kesetaraan manusia.

Dilansir dari Buku Abraham Lincoln yang ditulis oleh A. Faidi, S.Hum., akhir dari Pidato Gettysburg sebagai berikut: "Kita di sini harus memastikan bahwa mereka yang gugur tidak mati sia-sia bahwa bangsa ini, di bawah kekuasaan Allah, akan melahirkan kebebasan baru dan pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat tidak akan binasa dari bumi ini."

Pidato tersebut juga menandai akhir dari perbudakan terhadap warga kulit hitam untuk mesin pertanian yang sudah dimulai sejak kolonisasi Britania di Virginia tahun 1607 sehingga Abraham Lincoln disebut sebagai satu-satunya presiden dalam sejarah Amerika yang berhasil menghapus perbudakan pada saat itu.

Namun, rasanya kesetaraan sejati itu tidak sempurna dalam kehidupan masyarakat Amerika Serikat. Praktek perlakuan rasisme terhadap orang kulit hitam masih saja terjadi. 

Masyarakat kulit hitam masih menjadi warga kelas dua. Khususnya di bagian selatan, prakteknya masih sangat kentara, warga kulit hitam tidak boleh naik bus yang dinaiki oleh kulit putih, tidak boleh mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah kulit putih dan tidak boleh masuk restoran khusus untuk kulit putih.

Seratus tahun kemudian, pada tanggal 28 Agustus 1963, seorang pendeta Gereja Baptis, Marthin Luther King yang juga salah satu aktivitas Hak Asasi Manusia Amerika berpidato tentang rasisme di depan 250 ribu warga kulit hitam yang berkumpul di depan monumen peringatan Abraham Lincoln di Kota Washington DC, Amerika Serikat.

Meskipun tanggal pidato Marthin Luther King berbeda dengan pidato Abraham Lincoln, bagi saya pidato tersebut menandai 100 tahun pidato fenomenal Abraham Lincoln di Gettysburg sehingga Pidato Marthin Luther King yang terkenal dengan nama "I Have a Dream" itupun tidak kalah fenomenal bahkan disebut sebagai salah satu pidato yang mampu mengubah dunia.

Saya sepakat dengan pendapat Luhut Panjaitan dalam artikelnya di Kompasiana yang berjudul Setengah Abad Pidato I Have a Dream bahwa dua kalimat yang paling berpengaruh dalam Pidato tersebut adalah "Saya mempunyai mimpi, bahwa suatu hari di bukit yang memerah di Georgia, anak-anak dari bekas budak dan anak-anak dari bekas pemilik budak akan duduk bersama di meja persaudaraan" dan "Saya mempunyai mimpi bahwa keempat anak saya yang kecil suatu hari akan hidup di sebuah negara di mana mereka tidak dinilai dari warna kulitnya, melainkan oleh isi karakter mereka"

***
Hari ini, kematian George Floyd dkk akibat rasisme menunjukkan kepada dunia bahwa Amerika Serikat melupakan dan tak mengenal sejarah. Ada pertumpahan darah, ribuan nyawa melayang dalam perang saudara demi penghapusan rasisme, Abraham Lincoln ditembak mati oleh John Booth, Marthin Luther King pun demikian, ditembak mati karena memperjuangkan kesetaraan.

Ketika Lincoln memastikan bahwa perjuangannya tidak sia-sia, saat ini masih ada oknum aparat dan pemerintah yang memastikan bahwa mereka yang gugur pun mati sia-sia dan menegaskan bahwa Amerika masih di bawah kekuasaan orang kulit putih.

Oleh karena itu, saya memilih percaya dengan apa yang dikatakan oleh Stokely Carmichael, seorang aktivis Hak Asasi Manusia di Amerika bahwa lembaga-lembaga yang berfungsi di negara Amerika Serikat jelas rasis, dan mereka dibangun di atas rasisme itu sendiri.

Bagaimana negara memelihara demokrasi agar tidak binasa dari bumi ini? Titisan Demokrasi-nya Abraham Lincoln yang mempengaruhi seluruh dunia dipermainkan oleh warisan pemerintahan Amerika Serikat sendiri.

Saya berpikir bahwa mimpi Marthin Luther King itu nyata tapi kematian Floyd menegaskan bahwa semuanya masih mimpi. 

Apakah kita harus menunggu 2063 untuk mendengar pidato bermerek Gettysburg dan I Have a Dream untuk sebuah revolusi baru rasisme di Amerika? Ataukah perlu civil var lagi untuk menyempurnakan kesetaraan manusia yang diimpikan oleh Marthin Luther King?

Berharap kekuatan Blackout Tuesday yang dilakukan pada 02 Juni 2020 menyaingi pidato Gettysburg dan I Have a Dream yang menyadarkan semua orang Amerika termasuk seluruh dunia bahwa semua orang diciptakan sama, rasisme itu tidak manusiawi, berbahaya dan memuakan serta menjijikkan manusia.

Salam!!!
Referensi: Satu; Dua; Tiga; Empat.

Buku Abraham Lincoln (A. Faidi, S.Hum)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun