Oleh Neni Hendriati
"Nanti jangan lupa oleh-olehnnya, ya!"
Begitu selalu pesan sahabat-sahabat paksu, kalau kami mudik. Mereka sering mampir di rumah kami , sepulang berjamaah magrib di masjid.
Suamiku kebetulan seorang ustaz, mengajar di sekolah madrasah di sana. Sesekali mendapat undangan pengajian, atau mengurusi yang meninggal.
Ada tujuh sampai delapan orang sahabat masjid paksu yang suka mampir, dan rata-rata orang berada, dengan rumah mentereng, dan pekerjaan hebat. Aneh, mereka mau juga berdesak-desakan di rumah kami yang sempit.
Maklum, rumah kami hanyalah rumah bersubsidi type 21, berkamar 1. Masih asli, lagi! Artinya, belum direnovasi sama sekali. Biasanya bila mereka datang, mereka disuguhi teh manis dan cemilan alakadarnya dari kampung.
Kebetulan, tetangga mertuaku di kampung berjualan rengginang, keripik pisang, keripik talas, keripik ubi dan saroja. Cemilan kriuk-kriuk yang sangat digemari mereka. Begitulah, para tetangga dan sahabat paksu, selalu ceria tatkala menerima oleh-oleh seperti itu.
"Nanti kita belanja dari kampung buat kita jual aja, Umi!" paksu dapat ide.
Aku hanya duduk mendengarkan.
"Pasti sahabat Bapak mau membelinya. Soalnya mereka sangat suka!"
"Modalnya dari mana, Pak?" aku menghitung uang di dompet, yang kian menipis. Biaya bulanan dan untuk bekal sekolah ketiga anak, sangat pas-pasan.