Sebagai penyuka sambal, makan tanpa sambal itu rasanya hambar. Bagaikan makan sayur tanpa garam. Bagi orang Sunda, sambal adalah wajib. Jadi, seenak apapun makanan kalau tidak ada sambal, serasa ada yang kurang afdhol begitu.
Kalau tidak ada sambal biasanya saya gigit cabai rawit. Kalau tidak ada cabai rawit ganti cabai merah. Kalau tidak ada cabai merah ya apa boleh buat pakai sambal saos. Kalau tidak ada juga? Ya nasib...! Masa tidak jadi makan?
Saya suka sambal apa saja. Sambal terasi, sambal goang, sambal kacang, sambal pecel, sambal pecak, sambal cabai hijau, sambal matah, dan sambal-sambal lainnya.
Termasuk sambal goreng kentang, hati, teri, pete, dan... taraa... jengkol! Nah, tadi pagi saya bikin sambal goreng jengkol. Tentu saja ala saya, chef bunda tety yang menjabat kepala chef di rumah saya sendiri.
Kebetulan masih ada sebungkus jengkol yang beratnya sekitar 200 gram. Jengkol ini saya bersihkan dari kulit-kulitnya, lalu saya bagi jadi 2 keping, yang tiap kepingnya saya potong-potong agak tipis sesuai selera saya.
Setelah dicuci, jengkol direbus. Agar jengkol tidak memunculkan aroma tidak sedap saat disantap dan bau urin tidak menyengat, masukkan 4 lembar daun salam, 1 ruas jahe, dan 1 lembar daun jeruk.
Rebusnya tidak usah lama, sekitar 10 menit saja, lalu tiriskan. Jengkol kemudian digoreng hingga terlihat agak kecoklatan. Tiriskan.
Â
Lalu bikin sambalnya deh. Level pedasnya tergantung selera ya. Kalau saya sih tadi 7 cabai rawit setan, 5 cabai merah keriting, 5 siung bawang putih, 5 siung bawang merah, 2 buah tomat, saya goreng agak layu. Ulek deh.
Setelah diulek kasih sedikit garam dan sedikit gula pasir, sedikit penyedap rasa. Saya cicipi rasanya pas. Saya masukkan sambal dan jengkol goreng ke penggorengan dengan api sedang. Aduk-aduk sebentar. Sudah. Masukkan deh ke piring.
"Sudah jadi sambal jengkolnya, Bun?" tanya anak kedua saya. Tadi, dia sempat mencicipi jengkol goreng, yang katanya rasanya ternyata enak juga.
Anak saya ini sebelumnya tidak suka jengkol. Â Tapi lama-lama doyan juga. Terlebih jengkol olahan saya tidak bau. Hahaha...tertular oleh saya.
"Bagaimana, enak?" tanya saya yang dijawab enak.
Jadilah, tadi siang kami makan dengan sambal goreng jengkol dan tumis terong goreng. Alhamdulillah...nikmatnya, pakai nambah lagi. Makan dalam keadaan hangat memang enak.
Anak milenial doyan jengkol juga hehehe... Ya, siapa yang tidak tahu jengkol? Jika dulu "dicaci maki", sekarang dipuja puji. Jika dulu dilirik juga tidak, sekarang anak saya menikmatinya.Â
Malah besok-besok dia minta dibikinkan lagi. Tapi bukan disambal. Mintanya digoreng saja. Saya pun mengiyakan karena itu mah simple tanpa ribet apalagi repot.
Menurut saya, anak-anak memang perlu diperkenalkan dengan jengkol, bahwa jengkol enak dimakan, bahkan menyehatkan. Lha saya saja sedari kecil suka makan jengkol.
Dengan catatan, jangan terlalu banyak makannya karena bisa keracunan, juga dapat mengganggu kerja ginjal. Karena itu, setelah makan jengkol jangan lupa minum air putih ya untuk menetralisir efeknya.
Jengkol dikatakan menyehatkan karena kaya karbohidrat, protein, vitamin A, B, dan C, fosfor, kalsium, alkaloid, minyak atsiri, steroid, glikosida, tanin, dan saponin.
Kandungan protein jengkol bahkan masih lebih tinggi daripada tempe yang selama ini disebut-sebut sebagai sumber pangan nabati berprotein tinggi.
Nah, bagaimana berani mencoba sensasi pedasnya?