Jangankan untuk mengurus perijinan, membeli banyak mobil mewah pun sanggup. Sudah tidak terhitung. Jadi, untuk sekedar mengurus perijinan ya mungkin hanya dengan sekali kedipan mata.Â
Tapi bagaimana dengan mereka yang "jiwa mesquennya meronta"?Â
Bagaimana juga mengurus semua orang yang punya akun sosial media agar punya izin penyiaran? Kan tidak mungkin juga. Bagaimana dengan pengawasannya? Apakah diawasi satu demi satu?Â
Sepertinya ribet juga. Misalkan saya nih punya 3 akun media sosial yaitu di  Facebook, Instagram, twitter, apakah semua akun itu harus saya ajukan perijinannya juga? Selama saya punya akun media sosial Jelas tidak masuk akal sehat saya dan tidak masuk kantong saya.Â
Kalau begitu sih, saya tidak perlu punya akun media sosial. Iya, kalau akun saya isinya berupa penyiaran seperti televisi atau jualan yang memungkinkan saya mendapatkan sejumlah uang, mungkin tidak masalah juga. Lha kalau isi cuma "remeh temeh"? Apa juga perlu harus ijin?
Ketika media sosial wajib menjadi lembaga penyiaran berizin, maka hal serupa harus juga diberlakukan kepada para penggunanya dong? Berarti ketika ada diskusi live di Instagram atau Facebook atau Youtube harus mengantongi ijin terlebih dahulu sebelum menyiarkan, begitu? Apa tidak merepotkan?
Bukankah pengawasannya sudah ada UU ITE? Jadi mengapa juga harus ada ijin dan UU Penyiaran perlu digugat? Kalau untuk media sosial mah yang diatur lebih baik yang terkait konten: tidak berbau SARA, ujaran kebencian, bullying, dan sejenisnya. Dan, ini sudah berlaku bukan?Â
Bagaimana juga dengan lembaga pendidikan dan industri kreatif yang menggunakan platform over the top (OTT) dalam menjalankan kegiatannya? Seperti guru yang berkreatif membuat modul pembelajaran melalui kanal Youtube khusus untuk murid-muridnya. Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk urus perijinan?
Di sisi lain, Inews dan RCTI beralasan mengapa layanan OOT harus masuk ke dalam aturan penyiaran karena turut melaksanakan aktivitas penyiaran. Aktivitas yang dimaksud yaitu penyampaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar. Perbedaannya dengan aktivitas penyiaran konvensional hanya terletak pada cara pemancarluasan/penyebarluasan.Â
Persoalannya, apakah platform media sosial bisa dimasukkan sebagai lembaga penyiaran seperti stasiun televisi dan stasiun radio? Kalau dilihat dari perbedaan yang diargumentasikan Inews dan RCTI, sudah jelas terlihat berbeda alias tidak sama. Lalu kenapa harus diperdebatkan?
Sesuai UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, disebutkan Lembaga penyiaran adalah penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.