Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kala Penonton TV Tak Lagi Setia Setiap Saat

30 Agustus 2020   22:12 Diperbarui: 30 Agustus 2020   22:29 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jangankan untuk mengurus perijinan, membeli banyak mobil mewah pun sanggup. Sudah tidak terhitung. Jadi, untuk sekedar mengurus perijinan ya mungkin hanya dengan sekali kedipan mata. 

Tapi bagaimana dengan mereka yang "jiwa mesquennya meronta"? 

Bagaimana juga mengurus semua orang yang punya akun sosial media agar punya izin penyiaran? Kan tidak mungkin juga. Bagaimana dengan pengawasannya? Apakah diawasi satu demi satu? 

Sepertinya ribet juga. Misalkan saya nih punya 3 akun media sosial yaitu di  Facebook, Instagram, twitter, apakah semua akun itu harus saya ajukan perijinannya juga? Selama saya punya akun media sosial Jelas tidak masuk akal sehat saya dan tidak masuk kantong saya. 

Kalau begitu sih, saya tidak perlu punya akun media sosial. Iya, kalau akun saya isinya berupa penyiaran seperti televisi atau jualan yang memungkinkan saya mendapatkan sejumlah uang, mungkin tidak masalah juga. Lha kalau isi cuma "remeh temeh"? Apa juga perlu harus ijin?

Ketika media sosial wajib menjadi lembaga penyiaran berizin, maka hal serupa harus juga diberlakukan kepada para penggunanya dong? Berarti ketika ada diskusi live di Instagram atau Facebook atau Youtube harus mengantongi ijin terlebih dahulu sebelum menyiarkan, begitu? Apa tidak merepotkan?

Bukankah pengawasannya sudah ada UU ITE? Jadi mengapa juga harus ada ijin dan UU Penyiaran perlu digugat? Kalau untuk media sosial mah yang diatur lebih baik yang terkait konten: tidak berbau SARA, ujaran kebencian, bullying, dan sejenisnya. Dan, ini sudah berlaku bukan? 

Bagaimana juga dengan lembaga pendidikan dan industri kreatif yang menggunakan platform over the top (OTT) dalam menjalankan kegiatannya? Seperti guru yang berkreatif membuat modul pembelajaran melalui kanal Youtube khusus untuk murid-muridnya. Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk urus perijinan?

Di sisi lain, Inews dan RCTI beralasan mengapa layanan OOT harus masuk ke dalam aturan penyiaran karena turut melaksanakan aktivitas penyiaran. Aktivitas yang dimaksud yaitu penyampaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar. Perbedaannya dengan aktivitas penyiaran konvensional hanya terletak pada cara pemancarluasan/penyebarluasan. 

Persoalannya, apakah platform media sosial bisa dimasukkan sebagai lembaga penyiaran seperti stasiun televisi dan stasiun radio? Kalau dilihat dari perbedaan yang diargumentasikan Inews dan RCTI, sudah jelas terlihat berbeda alias tidak sama. Lalu kenapa harus diperdebatkan?

Sesuai UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, disebutkan Lembaga penyiaran adalah penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun