Mohon tunggu...
Neil Semuel Rupidara
Neil Semuel Rupidara Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti

Neil adalah dosen di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia dan Kajian Organisasi di Universitas Kristen Satya Wacana. Saat ini menjabat sebagai Rektor UKSW.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pandemi Covid-19 dan "New Normal" dalam Pedagogi Pendidikan Tinggi

7 Juli 2020   23:07 Diperbarui: 7 Juli 2020   23:07 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Harus juga dipahami bahwa karena sifat keberlakuannya yang ada dalam suatu kontinuum yang terbatas hingga meluas cakupannya, maka suatu realitas kelembagaan itu sifatnya berlapis-lapis (layers of institutions) (Scott, 2008). Lapisan paling bawah adalah tataran aktor-aktor yang perilaku-perilakunya berpola tertentu sebagai gambaran kehidupan kelembagaan. Di tengah ada lapisan yang disebut arena kelembagaan (institutional field). Di level inilah ruang aktor-aktor saling berinteraksi melalui tindakan-tindakan yang memiliki kaitan-kaitan kelembagaan untuk membentuk suatu tata kehidupan bersama (governance structure). Di level paling atas adalah tatanan-tatanan kemasyarakatan secara luas (societal institutions). Di level ini kita masih bisa bedakan luasan cakupan kelembagaan apakah hanya sebuah masyarakat lokal (misalnya, tradisi lokal/nasional) atau merupakan meluas seluruh dunia (misalnya, simbol lalu lintas).

Dari penjelasan di atas, tulisan ini telah mendudukkan beberapa konsep dan isu sentral dalam memahami sebuah institusi sebagai keteraturan sosial, logika dan mekanisme-mekanisme kelembagaan yang mengaturnya, serta aktor-aktor dan tindakan-tindakan kelembagaan di dalamnya. Demikian juga dapat dipahami tentang proses melembaganya suatu gagasan, juga proses memudar, berubah atau terbongkarnya sebuah institusi, apa yang pandemi Covid-19 dapat dilihat telah memiliki dampak sementara untuk mengubah tatanan-tananan kelembagaan. Di bagian berikut, penulis akan menganalisis potensi keterbentukan realitas kelembagaan baru khususnya di sektor pendidikan (tinggi) akibat pandemi Covid-19 ini.

Pandemi Covid-19 dan New Normal Pedagogi di Sektor Pendidikan (Tinggi)

Sebagaimana diketahui kebanyakan orang dan juga sudah sedikit diungkapkan di atas, pandemi Covid-19 ini telah mengubah penampilan kehidupan normal dalam tatanan pendidikan sedunia. Di hampir semua negara yang terkena pandemi ini sekolah-sekolah dan kampus-kampus diliburkan. Swedia adalah salah satu negara pengecualian yang masih menyelenggarakan pendidikan di sekolah-sekolah dasarnya. Memang, sekolah-sekolah tingkat menengah dan kampus-kampusnya juga telah ditutup dan beralih menyelenggarakan model pembelajaran daring, sama seperti di negara-negara lain. Universitas-universitas di Amerika Serikat misalnya telah mulai ditutup sejak awal Maret. Pada posisi 26 Maret, dilaporkan 1102 college dan universitas telah menutup kampusnya (cnbc.com, 26 Maret). Di ujung lain dunia ini, universitas-universitas di Australia mulai ditutup dan beralih ke moda daring seminggu setelah Amerika (smh.com.au, 13 Maret; timeshighereducation.com, 15 Maret).

Di Indonesia, pada umumnya sekolah-sekolah dan kampus-kampus mulai mengalihkan model pembelajaran dari pembelajaran fisik langsung dalam kelas ke platform digital pada 16 Maret, sekalipun beberapa telah mendahului di 13 Maret (medcom.id, 14 Maret). Pengalihan ini adalah suatu bentuk respon cepat atas perubahan situasi, termasuk anjuran dan belakangan menjadi kebijakan formal pemerintah, karena penyebaran Covid-19 mulai menunjukkan potensi pendakian tangga angka infeksi harian dan perluasan wilayah terinfeksi. Pergerakan data di hari-hari selanjutnya memang menunjukkan pertambahan jumlah yang terus saja meningkat drastis dari minggu ke minggu (worldometer.com). Dengan menjadi kebijakan formal pemerintah, maka langkah penutupan kampus bukan lagi menjadi pilihan bagi setiap perguruan tinggi. Dengan demikian, lebih 4600an perguruan tinggi yang melayani lebih dari 8 juta mahasiswa (pddikti.kemdikbud.go.id) dengan jumlah dosen lebih dari 290 ribu orang telah secara mendadak dan tanpa kecuali terpaksa mengadopsi model online teaching and learning.

Saat beralih daring, tingkat kesiapan tiap perguruan tinggi berbeda dalam penyelenggaraan perkuliahan daring. Sejumlah perguruan tinggi telah sebelumnya memiliki sistem dan menjalankan praktik pembelajaran daring sebelum kondisi memaksa semuanya berubah ke arah sana. Jauh lebih banyak perguruan tinggi tidak memiliki kapasitas cukup untuk menjalankan perkuliahan secara daring. Namun, pemerintah melalui Kemdikbud memang telah mengupayakan fasilitas-fasilitas pendukung termasuk bekerjasama dengan sejumlah pelaku usaha milik negara maupun swasta yang bergerak di bidang digital learning management system, penyedia jasa internet, dan sejenisnya untuk membantu operasi pembelajaran atau perkuliahan daring.

Semenjak kuliah daring, aplikasi-aplikasi teknologi yang tadinya tidak dikenal banyak orang dan perguruan tinggi, kini menjadi sesuatu yang lazim. Aplikasi komunikasi video Zoom misalnya kini menjadi paling populer dalam penyelenggaraan perkuliahan, juga untuk meeting. Bukan tidak ada aplikasi lain tetapi karena kemudahan penggunaannya, maka Zoom lebih banyak digunakan orang. Semua orang karenanya belajar dan makin mahir menggunakan Zoom. Sebagai sesuatu yang baru dikenal, bagaimanapun pembelajaran daring menggunakan Zoom dinilai menarik dan disukai (kumparan.com, 30 Maret; telisik.id, 4 April). Kini mungkin karenanya dapat dikatakan, dosen atau guru yang kini tidak kenal Zoom adalah dosen atau guru yang kurang gaul, sekalipun aplikasi ini memiliki masalah jaminan sekuritas dan privasi data penggunanya (cnbcindonesia.com, 3 April). Kuliah atau tepatnya kegiatan pengajaran dengan ceramah melalui Zoom kini seolah menjadi a new normal di kalangan pendidikan tinggi Indonesia. Praktik ini kini seolah mewabah, tampak tidak mau ketinggalan dari wabah Covid-19 itu sendiri.

Jika saja perkuliahan daring ini tidak hanya berlangsung pada semester ke-2 dan/atau ke-3 dari tahun akademik 2019/2020 tetapi juga akan berlanjut pada semester pertama tahun akademik berikut, maka praktik baru ini mungkin saja dapat terbentuk menjadi sebuah kebiasaan baru. Sebagai bandingan tentang semester pertama di tahun akademik 2020/2021, di Amerika Serikat dan Kanada, sejumlah universitas telah mengantisipasi bahwa perkuliahan langsung di kampus kemungkinan baru dapat dimulai pada Januari 2021. Masih ada banyak universitas dan college yang tetap mengantisipasi dan prefer tetap berlangsungnya perkuliahan secara daring di semester pertama (fall semester) (nationalpost.com, 22 April). Bayangan yang demikian berbeda dengan fenomena di universitas-universitas di Australia yang akan segera kembali ke model perkuliahan normal di kampus pada bulan Juli ini (xinhuanet.com, 4 Mei) mengingat Australia telah menuju masa akhir dari pandemi.

Jika penerimaan terhadap model pembelajaran seperti ini menjadi sesuatu yang benar-benar menyenangkan dan dipraktikkan secara meluas, maka dapat dibayangkan bakal terjadinya transformasi pada tatanan pendidikan tinggi ke arah penyelenggaraan pendidikan di ruang digital. Ini karenanya berpeluang untuk membongkar tatanan lama pendidikan yang bagaimanapun masih didominasi oleh interaksi pendidikan secara langsung dan di ruang fisik ke model distanced learning di atas platform teknologi digital. Namun pertanyaannya, akankah benar terjadi demikian?

Akankah bentuk pembelajaran daring yang sementara berlangsung saat ini benar-benar menjadi sebuah new normal atau membentuk  tatanan kelembagaan baru dalam dunia pendidikan tinggi, teristimewa di Indonesia? Pertanyaan ini tentu hanya bisa dijawab oleh realitas yang bakal terbentuk ke depan dan itu perlu ditunggu dan nantinya dianalisis kembali. Trajektori kelembagaan pendidikan tinggi tidak dapat dan tidak cukup diprediksi di atas kondisi kesementaraan. Kita perlu mengingat faktor kekakuan kelembagaan, dengan mekanisme-mekanisme kelembagaan yang bekerja memertahankan kondisi status quo suatu tatanan kelembagaan. Namun, adakah dan apa indikasi terbalik dari meluas diterimanya bentuk pembelajaran online yang mungkin justru dapat menghambat keterbentukan tradisi belajar yang baru itu? Fenomena empiris yang ada perlu dianalisis secara lebih cermat untuk melihat gejala-gejala kelembagaan yang apakah mendukung perubahan menuju tatanan baru atau sebaliknya ada kekuatan resisten yang menghambatnya.

Sebelumnya telah dijelaskan dan harus diingatkan agar selalu dipahami bahwa dalam analisis kelembagaan, tidak dengan sendirinya suatu kebiasaan yang baru terbentuk dapat otomatis memapan menjadi sebuah tatanan sosial baru. Perubahan tiba-tiba atas sebuah keteraturan sosial dapat saja terjadi sebagai akibat dari tekanan tidak terhindarkan dari sebuah krisis seserius pandemi Covid-19 ini. Namun, keterbentukan tradisi atau keteraturan baru pasca pandemi akan membutuhkan waktu untuk menguji pola yang sementara ini berkembang, akankah ia lolos menjadi sebuah tatanan baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun