Mohon tunggu...
Nefta Asri
Nefta Asri Mohon Tunggu... -

aku ya Aku titik

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jika Aku Tak Bisa Kesana

20 Juli 2014   17:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:47 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mungkin terlalu cepat menulis perasaanku, di saat sakitnya belum tiris. Tapi katarsisku tersendat entah di mana, aneh sekali aku tak bisa menangis. Tidak sebutir air mata pun, padahal sebelum ini derainya mudah sekali jika kusebut kau lirih atau jika mengingatmu di mana pun aku –namun malah sakitnya tersendat ini milyaran kali lebih hunjam. Ironis dan nyaris –ba’da ashar kemarin aku masih mendoakanmu, masih mengharapkanmu dengan air mata berjatuhan di mukenahku. Satu-satunya, bahkan.

Tapi menjelang maghrib, ada sebuah sentakan keras di hatiku seolah surup bangkit dari pembuluh darahku dan aku tak mampu mengingkari pembalikannya yang dihentakkan seketika itu, jika Yang Maha Membolak-balikkan Hati berkehendak, aku bisa apa? Yang bisa kulakukan adalah merayakan patah hatiku dengan sepotong semangka dingin di waktu ifthar setelah membaca dhahabat dhama’u-ku dan istirja’-ku dengan sepenuh kesakitanku berpisah denganmu. Kukembalikan engkau ke semulamu. Innalillahi wa innaa ilaihi raa’jiuun, Allahuma’jurnii fii mushibatii wahliflii khoiron minhaa, aamiin.

Sungguh, aku ingin mengejarnya dan menyimpan kembali perasaan itu di balik tirus dadaku, tapi berlarinya yang tanpa kaki mana kutahu ke mana tuju. Dan aku hanya berdiri mendekap dadaku yang nyeri tak tertahankan. Seekor gajah di dalam kulkas dua pintu menimpaku, dan beberapa tangga besi menimpa kulkas itu. Ibaratnya begitu. Maha sakit ini, tak ada metafora yang sanggup menggambarkannya. Dan pada akhirnya aku mengerti; sakit ini adalah milikku dan akan kuhadapi dengan cara-caraku sendiri.

Aku menyerah.

Perasaanku yang mulai terjatuh padamu namun kutahan sedapatnya, sampai tak dapat lagi, dan dalam kemampatannya justru pecah terburai sampai-sampai aku terus mengatakannya hingga mengganggumu. Aku merasa lelah, tapi jika perasaan lelah ini dikesampingkan aku berpikir aku hanya bersikap tahu diri saja. Barangkali yang terjadi adalah; aku terlalu membesar-besarkan harapan dan mengobar-ngobarkan mimpi, sedangkan kau tak memiliki setengah saja dari keyakinanku. Bukannya aku sedang bertanding agar perasaan kita setara, sebanding atau setimpal, bukan kok. Aku bukan orang seperti itu, kau pasti tahu. Sebagai teman, sebagai sesama manusia dan sebagai kekasih, jika boleh kuanggap begitu, aku tak ingin mengubahmu atau mengambilmu dari diri sejatimu. Semua kualitasmu adalah baik, dan semua yang ada padamu kucintai tanpa tersisa dan tanpa alasan-alasan duniawi, sebab Tuhan telah menciptakanmu dalam tubuh dan jiwa itu, dan kau sempurna dan mulya berada di sana. Jadi untuk apa aku meminta dirimu “yang lain” jika seluruh bagianmu adalah indah.

Tapi aku mencintai ayahku dan setiap mengingat tangannya yang menggenggam tanganku terakhir kali itu, dadaku dipenuhi haru. Mungkin ini sangat naif dan berlebihan, tapi aku tak mau anakku memiliki ayah yang tak yakin pada ibunya. Jika kau tak mau mengajakku dalam rencana masa depanmu, jika aku tak ada di doamu, aku pikir ini sia-sia belaka. Aku bukan bagian eksiklopediamu, bukan bagian tujuh langitmu, bukan bagian dari waktu dan tunggumu –aku pikir aku hanya orang luar. Dan sudah saatnya aku tahu diri.

Sebagaimana kau datang dengan lembut, pergilah dengan tenang. Sekarang aku sudah bisa mengatakan; kejarlah apa yang ingin kau kejar dan semoga kau menemukan orang yang baik dan tepat untukmu. Mari bersikap selayaknya dua orang teman yang berbagi dunia yang sama, jangan menganggapku tak ada atau asing; aku harap kita tetap bisa bicara dan tersenyum dengan hangat.

Aku menyerah.

Tapi bukan berarti aku berhenti menulis; cinta, rindu, kesedihan, patah hati, dst, kau mungkin masih akan menemukanku menulis tentang semua itu. Tulisan-tulisan ketika aku masih mengejar dan menyukaimu, misalnya, atau tulisan-tulisan baru yang memuat sekisar perasaan, di masa depan semoga kau tak salah mengartikan bahwa aku masih mengharapkanmu. Insya Allah kau bisa memahami ini.

Sedetik setelah aku menyerah; aku akan mulai memutihkan hatiku dari merah jambunya, aku akan berhenti memintamu pada Allah dan melucuti bunga-bunga kagumku, aku juga sudah menghapusmu dari daftar bintang kuningku bersama beberapa orang lainnya. Aku takkan mencoba melupakanmu, sebab “mencoba” berarti kau masih penting untukku. Tentu saja kau masih penting untukku, tapi tidak seperti sebelumnya. Biarlah berjalan apa adanya. Mungkin butuh setahun agar bisa bersih darimu, mungkin butuh seumur hidup atau hanya tiga hari, entahlah.

Semoga Allah menolongku agar aku bisa ridha dan mengimani takdirku. Sebab ini berat…”Aku mencintaimu”, rasanya aku ingin mengatakan itu sebelum pergi, tapi apa gunanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun