Mohon tunggu...
Nazhwa Destra
Nazhwa Destra Mohon Tunggu... Mahasiswa Hubungan Internasional

Seorang mahasiswa Hubungan Internasional yang aktif terlibat dalam inisiatif Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mentalitas Maritim Nusantara dari Jejak Sriwijaya sampai Natuna

12 Oktober 2025   13:56 Diperbarui: 12 Oktober 2025   14:31 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi Armada Laut Kerajaan Sriwijaya
Ilustrasi Armada Laut Kerajaan Sriwijaya
Sejarah bangsa ini ditulis bukan dengan tinta di kertas, melainkan dengan jejak layar di samudra. Dari Sriwijaya hingga Majapahit, identitas maritim Nusantara pernah menjadikan kita pusat peradaban dan jalur perdagangan dunia. Laut bukan sekadar pemisah pulau, melainkan ruang hidup yang menyatukan. Kini, ketika Natuna menjadi sorotan geopolitik modern, pertanyaannya: apakah kita masih membawa warisan visi maritim itu, atau justru melupakannya?. 

Kerajaan kerajaan maritim di Nusantara memahami laut dengan cara yang berbeda dari kita hari ini. Bagi mereka, laut adalah ruang strategis sekaligus sumber legitimasi kekuasaan. Sriwijaya, misalnya, menjadikan Selat Malaka sebagai nadi perdagangan internasional. Mereka tidak hanya menjaga perairan, tetapi juga memastikan jalur laut itu aman bagi pedagang dari India, Tiongkok, dan dunia Arab. Keamanan maritim adalah sumber kekuatan ekonomi sekaligus diplomasi. Begitu pula Majapahit: sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada tidak hanya berbicara soal ekspansi politik, tetapi juga tentang kontrol atas lautan sebagai perekat Nusantara. Dari dua kerajaan besar itu kita bisa membaca prinsip dasar yang sederhana: maritim adalah identitas dan modal kekuasaan. Laut bukanlah ruang kosong, melainkan jalan raya yang menghubungkan kekuatan politik, ekonomi, dan budaya. Kesadaran inilah yang sebenarnya ingin dihidupkan kembali dalam strategi Indonesia di Laut Natuna Utara.

Dua dekade terakhir, Natuna menjadi episentrum perhatian. Tidak hanya karena kaya sumber daya minyak, gas, dan ikan, tetapi juga karena posisinya yang rawan klaim. Tiongkok, dengan “nine dash line”-nya, mencoba merangsek masuk ke wilayah yang secara hukum internasional jelas milik Indonesia. Situasi ini memaksa pemerintah untuk menghidupkan kembali visi maritim: meningkatkan patroli TNI AL dan Bakamla, membangun pangkalan terpadu, hingga mengedepankan diplomasi pertahanan di kawasan ASEAN. Kalau kita cermati, strategi ini sejatinya bukan hal baru. Ia adalah bentuk modernisasi dari nilai lama yang pernah dipegang Sriwijaya dan Majapahit. Sriwijaya mengamankan Selat Malaka, Indonesia mengamankan Natuna. Majapahit menjadikan laut sebagai simbol kedaulatan, Indonesia menegaskan hal yang sama melalui diplomasi maritim dan ekonomi biru. Bedanya, kini ancaman bukan lagi bajak laut atau kerajaan tetangga, melainkan kompleksitas geopolitik global, perubahan iklim, dan modernisasi kekuatan laut negara besar.

Lalu nilai apa yang masih relevan? Pertama, laut sebagai perekat dan ruang hidup. Sriwijaya tidak mungkin berjaya tanpa memandang laut sebagai jalur dagang; Indonesia pun tidak bisa mengabaikan laut jika ingin menjaga ketahanan pangan dan energi. Kedua, laut sebagai simbol kedaulatan. Gajah Mada menegaskan kedaulatan Nusantara melalui sumpahnya, hari ini Indonesia menegaskannya lewat diplomasi pertahanan dan kehadiran militer di Natuna. Ketiga, laut sebagai instrumen ekonomi dan diplomasi. Dulu jalur laut adalah sarana negosiasi antarperadaban, kini konsep “ekonomi biru” menjadi cara Indonesia menyeimbangkan keamanan, pembangunan, dan keberlanjutan.

Namun ada satu hal yang sering terlewat: mentalitas maritim. Sriwijaya dan Majapahit tidak hanya kuat karena armada lautnya, tetapi juga karena mereka berani mengidentifikasi diri sebagai bangsa maritim. Sementara kita, di era modern, kadang masih canggung. Narasi poros maritim dunia yang pernah digaungkan terasa gagah di atas kertas, tetapi implementasinya sering terjebak birokrasi lintas sektor. Padahal, menghadapi klaim Tiongkok atau tantangan global lain, yang kita butuhkan bukan hanya kapal perang, melainkan keberanian untuk kembali berpikir sebagai bangsa pelaut.

Natuna adalah ujian. Jika kita gagal, bukan hanya kedaulatan yang dipertaruhkan, melainkan juga warisan peradaban maritim kita sendiri. Sebaliknya, jika kita berhasil meneguhkan Natuna sebagai simbol kedaulatan modern, maka kita sejatinya sedang melanjutkan tradisi panjang yang dimulai sejak layar layar Sriwijaya berlayar di Selat Malaka. Laut tidak pernah sekadar membatasi daratan. Laut adalah ruang perekat, sumber kekuatan, dan arena diplomasi. Sriwijaya dan Majapahit sudah membuktikan itu berabad-abad lalu. Kini, giliran Indonesia menunjukkan bahwa warisan itu tidak pernah hilang. Sebab kedaulatan bukan sekadar soal peta dan garis batas, melainkan soal mentalitas: berani atau tidak kembali menjadi bangsa maritim.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun