Pernah nggak sih kamu merasa heran, kenapa kasus korupsi di negeri ini seolah nggak pernah habis?
Tiap tahun selalu saja ada berita baru, dari yang kecil sampai yang besar. Kadang rasanya sedih seolah kejujuran sudah jadi barang langka. Padahal kalau dipikir, perilaku korupsi itu nggak muncul tiba-tiba. Ia tumbuh pelan-pelan, dari kebiasaan kecil yang dianggap sepele. Karena itu, aku percaya bahwa melawan korupsi nggak cukup hanya dengan hukum. Kita harus mulai dari akar dari pendidikan karakter, terutama menanamkan kejujuran sejak usia dini.
Kita sering berharap sekolah bisa membentuk anak jadi pribadi yang baik, tapi lupa bahwa "sekolah pertama" sebenarnya adalah rumah. Dari orang tualah anak pertama kali belajar apa itu benar dan salah. Kalau di rumah anak sering melihat orang tua berbohong kecil misalnya bilang, "Bilang aja Ayah nggak ada," padahal cuma malas menerima tamu tanpa sadar anak belajar bahwa berbohong itu boleh, asal ada alasan. Dari situ, nilai kejujuran mulai kabur.
Sebaliknya, kalau orang tua bisa terbuka dan jujur, bahkan saat melakukan kesalahan, anak akan belajar bahwa mengakui kesalahan bukanlah kelemahan, tapi keberanian. Nilai-nilai seperti ini jauh lebih kuat daripada sekadar ceramah di kelas.
Sekolah tetap punya peran besar. Di sinilah anak bertemu banyak nilai dan perbedaan. Guru bisa jadi panutan luar biasa kalau mau menanamkan kejujuran lewat contoh, bukan hanya kata-kata. Bayangkan kalau setiap guru mau menekankan bahwa nilai bagus bukan segalanya. Lebih penting jujur saat ujian daripada dapat nilai tinggi dengan mencontek. Atau ketika siswa berani mengaku salah dan justru diberi apresiasi --- pesan moralnya akan jauh lebih dalam. Pendidikan karakter bukan cuma mata pelajaran tambahan, tapi bagian dari kehidupan sekolah sehari-hari. Nilai kejujuran, tanggung jawab, dan disiplin bisa dimasukkan ke kegiatan sederhana seperti piket kelas, diskusi kelompok, atau bahkan permainan edukatif.
Jujur saja, anak bisa belajar sebaik apa pun di rumah dan di sekolah, tapi kalau lingkungan sosialnya permisif terhadap kecurangan, semua bisa runtuh. Kadang kita sendiri ikut melanggengkan budaya "asal untung" atau "yang penting cepat selesai". Hal-hal kecil seperti "titip absen", "nebeng nilai", atau "uang pelicin" sering dianggap lumrah. Padahal dari situlah bibit korupsi tumbuh. Kalau kita ingin punya generasi yang jujur, maka masyarakat juga harus ikut jadi teladan. Mulai dari hal sederhana: jujur dalam pekerjaan, tidak mengambil hak orang lain, dan tidak menutup mata terhadap kesalahan. Kalau anak-anak melihat orang dewasa berani jujur meski sulit, mereka akan meniru itu.
Membangun budaya kejujuran bukan perkara instan. Butuh waktu, konsistensi, dan banyak kesabaran. Tapi lebih baik kita mulai sekarang daripada terus mengeluh soal korupsi tanpa berbuat apa-apa. Kita bisa mulai dari hal kecil: tidak menyontek, tidak mengambil barang tanpa izin, tidak menipu harga, dan selalu mengakui kesalahan. Karena jujur itu bukan soal besar kecilnya tindakan, tapi soal kebiasaan.
Korupsi memang masalah besar, tapi solusinya bisa dimulai dari langkah kecil. Â Dari rumah, dari sekolah, dari lingkungan kita sendiri. Kalau setiap orang berani jujur dalam kesehariannya, bangsa ini pelan-pelan akan berubah. Seperti kata pepatah, "Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di mana saja." Yuk, kita mulai jadi bagian dari perubahan itu --- bukan dengan marah atau menyalahkan, tapi dengan menanamkan kejujuran dalam diri dan anak-anak kita sejak sekarang. Karena bangsa yang besar lahir dari rakyat yang berintegritas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI