Obat herbal seperti jamu, rebusan, maupun ekstrak tanaman tradisional hingga modern telah lama digunakan masyarakat Indonesia karena dianggap alami dan minim efek samping. Namun dengan meningkatnya penggunaan obat herbal pada masyarakrat, menimbulkan masalah serius yaitu maraknya produk palsu atau yang dicampur bahan kimia berbahaya, misalnya kortikosteroid atau paracetamol dengan dosis tinggi yang seharusnya hanya digunakan dengan pengawasan medis. Kondisi ini menimbulkan keresahan dan mengakibatkan konsumen lebih waspada dalam memilih obat herbal di pasaran. Menurut WHO (2019), tantangan terbesar dalam penggunaan obat herbal adalah memastikan kualitas, keamanan, dan kemurniannya. Permasalahan tersebut dapat di minimalisir dengan penggunaan metode analisis kimia yang mampu membuktikan keaslian produk, salah satunya fingerprinting kimia dengan teknik sederhana kromatografi lapis tipis (KLT).
Apa itu Fingerprinting Kimia?
Fingerprinting kimia atau yang biasa disebut “sidik jari kimia” merupakan metode analisis yang digunakan untuk memetakan profil kimia suatu bahan berdasarkan pola senyawa yang terkandung di dalamnya. Setiap tanaman memiliki komposisi metabolit sekunder khas, seperti alkaloid, flavonoid, saponin, dan terpenoid, sehingga menghasilkan pola unik yang dapat dijadikan identitas kimiawi (Sudrajat et al. 2020). Menurut Li et al. (2015) fingerprinting kimia dinilai sebagai pendekatan yang efektif dalam pengendalian kualitas obat herbal karena mampu menampilkan keseluruhan profil senyawa, bukan hanya menitikberatkan pada satu zat aktif tertentu. Penggunaan metode ini dapat membedakan produk herbal yang asli, yang tercampur bahan lain, maupun yang dipalsukan. Secara umum, fingerprinting kimia berfungsi sebagai metode komprehensif untuk mengidentifikasi dan menjamin mutu obat berbasis tumbuhan melalui sidik jari kimiawi yang merepresentasikan campuran kompleks komponen dalam sampel.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Pentingnya Fingerprinting pada Obat Hebal
Fingerprinting kimia berperan penting dalam memastikan mutu, keamanan, dan keaslian obat herbal yang beredar di pasaran. Metode ini menghasilkan pola kimia unik dari metabolit sekunder dalam tanaman, sehingga dapat digunakan sebagai identitas khas setiap produk.
- Menjaga Keaslian Produk: Obat herbal asli akan menunjukkan pola sidik jari kimia yang konsisten, sedangkan produk palsu atau yang dicampur zat lain akan menghasilkan pola berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Laksono dan Hayati (2021) menyatakan bahwa KLT adalah metode yang cepat, sensitif, dan selektif untuk kontrol kualitas tanaman obat dengan sidik jari kimia khas yang bisa digunakan untuk deteksi pemalsuan
- Menjamin Keamanan Konsumen: Kasus pencampuran obat herbal dengan bahan kimia sintetis seperti prednison dan deksametason yang dicampur dalam produk herbal sering dilaporkan, campuran ini sengaja dilakukan untuk memperkuat efek terapi. Efek dari bahan kimia tersebut tanpa pengawasan medis dapat berbahaya bagi kesehatan konsumen (Safrina et al. 2024)
- Meningkatkan Kepercayaan Pasar: Untuk menembus pasar global, obat herbal harus memenuhi standar mutu internasional. Penelitian yang dilakukan oleh Cai et al. (2015) secara resmi memasukkan sistem evaluasi kesamaan kromatografi fingerprint sebagai metode standar untuk memastikan standar mutu tanaman obat. Penggunaan fingerprint ini memungkinkan produsen untuk mengontrol kualitas secara konsisten dan meningkatkan daya saing produk herbal di pasar global
- Mendukung Penelitian dan Pengembangan: Selain untuk autentikasi dan kontrol kualitas, fingerprinting juga membantu peneliti dalam mengidentifikasi senyawa bioaktif yang berpotensi dikembangkan sebagai obat baru.
Penerapan KLT pada Obat
Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Mulkin et al. (2020) mengaplikasikan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) untuk mengidentifikasi adanya bahan kimia obat (BKO) glibenklamid pada jamu antidiabetes dengan tiga sampel jamu. Hasil KLT memperlihatkan bahwa jamu Wei Yi Wang (0003.K) positif mengandung glibenklamid, ditandai dengan nilai Rf bercak yang sesuai dengan standar pembanding, sedangkan dua sampel lainnya negatif. Temuan ini kemudian diperkuat melalui uji spektrofotodensitometri yang menunjukkan puncak gelombang sama dengan standar glibenklamid. Penelitian ini menunjukkan bahwa KLT merupakan metode sederhana, cepat, dan efektif untuk mendeteksi adanya pencampuran zat kimia sintetis berbahaya dalam produk jamu antidiabetes.
Meskipun fingerprinting kimia memiliki banyak manfaat, penerapannya memiliki banyak tantangan. Industri herbal skala kecil sering terkendala keterbatasan fasilitas laboratorium yang memadai, sementara tenaga ahli yang mampu melakukan analisis kimia juga masih terbatas. Di sisi lain, kesadaran konsumen relatif rendah karena lebih banyak yang mempercayai testimoni dibandingkan bukti ilmiah. Dengan adanya dukungan dari pemerintah, kalangan akademisi, dan pelaku industri, fingerprinting kimia berpotensi dikembangkan sebagai standar wajib untuk menjamin mutu dan keamanan produk herbal di Indonesia.
Referensi
Cai Y, Li X, Li M, Chen X, Hu H, Ini J, Wang Y. 2015. Traceability and Quality Control in Traditional Chinese Medicine: From Chemical Fingerprint to Two Dimensional Barcode. Hindawi. 5: 1-6.
Hafizah DA dan Sunardi. 2024. Pemisahan Kromatografi Lapis Tipis pada Asam Amino dengan Menentukan Nilai Faktor Retensi. Jurnal Kimia dan Rekayasa. 5(1): 2-3. Laksono MT dan Hayati EK. 2021. Analisis Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis Anting-Anting (Acalypha indica L.). Alchemy. 9(2): 54-62.
Li J, He X, Li M, Zhao W, Liu L, Kong X. 2015. Chemical fingerprint and quantitative analysis for quality control of polyphenols extracted from pomegranate peel by HPLC. Food Chemistry. 176: 7-11.