Kaitan Pancasila dengan SosialismeÂ
Hubungan Pancasila dengan ideologi sosialisme merupakan hubungan yang kompleks serta bervariasi. Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia berbasis lima sila, yang mendasar pada prinsip demokrasi, kebebasan, sosialisme, persatuan, dan keadilan sosial-ekonomi. Ideologi sosialisme mengakui kepentingan umum lebih dari kepentingan individu dan mendorong pembagian sumber daya secara ekuitas. Presiden Soekarno yang sebagian besar pemikiran dan pandangannya dipengaruhi oleh seperti Karl Marx dan Mahatma Gandhi menuturkan kekagumannya pada Sosialisme di dalam artikel yang berjudul 'Pikiran Rakyat'. Menurutnya salah satu wujud dari Sosialisme di Indonesia adalah terwujudnya kemerdekaan seluruh bangsa yang mampu dipadukan pada aspek kebudayaan (Wiratama et al., 2021). Indonesia tidak dapat dikatakan sebagai penganut sosialisme seutuhnya meskipun memang ideologi Sosialisme diterapkan dalam beberapa aspek kehidupan bernegara. Hadirnya koperasi merupakan salah satu wujud nyata dari ideologi Sosialisme di Indonesia. Koperasi didirikan berdasarkan asas kekeluargaan serta mengutamakan kepemilikan bersama dan bertujuan mensejahterakan rakyat.Â
Selain itu ideologi Sosialisme juga membawa pengaruh pada serikat-serikat buruh di Indonesia dengan penyebarluasan konsep kaum buruh sebagai sebuah kelas yang teraniaya, serta mengajarkan perlawanan-perlawanan berdasarkan teori perjuangan kelas. Sosialisme Pancasila dalam aspek ekonomi tercantum pada UUD 1945 pasal 33. Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa kemakmuran masyarakat merupakan hal yang utama. Hal ini menghasilkan sistem perekonomian yang disusun dengan dasar kekeluargaan (Susanto, 2020). Ideologi Sosialisme sebenarnya merupakan suatu ideologi yang baik karena menjunjung kepemilikan bersama, namun karena Indonesia masih merupakan negara berkembang menjadikan ideologi ini kurang efektif untuk diterapkan karena adanya hal seperti pemerintahan yang otoriter oleh kekuatan imperialisme luar atau oleh penguasa suatu negara.
Kaitan Pancasila dengan Liberalis
Pancasila dan liberalisme memiliki beberapa kesamaan nilai, terutama dalam hal penghargaan terhadap kebebasan individu dan hak asasi manusia (HAM). Sila kedua Pancasila, "Kemanusiaan yang adil dan beradab," mengandung nilai-nilai kemanusiaan seperti kebebasan, keadilan, dan penghargaan terhadap martabat manusia (Kaelan, 2013). Prinsip ini sejalan dengan nilai-nilai liberalisme yang menekankan kebebasan individu dan perlindungan terhadap HAM.
Namun, terdapat perbedaan mendasar antara Pancasila dan liberalisme dalam hal konsep kebebasan serta batasan-batasannya. Pancasila mengakui kebebasan individu, tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tanggung jawab sosial dan keseimbangan dengan kepentingan masyarakat (Kaelan, 2013). Sebaliknya, liberalisme cenderung menekankan kebebasan individu yang lebih mutlak, dengan minimal pembatasan dari negara atau otoritas lainnya (Locke, 1689/1988).
Selain itu, Pancasila juga memiliki sila-sila lain yang menekankan prinsip-prinsip seperti persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial, yang mungkin tidak sepenuhnya sejalan dengan paham liberalisme yang cenderung individualistis (Latif, 2018). Misalnya, sila ketiga "Persatuan Indonesia" menekankan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa, sedangkan sila keempat "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan" menekankan prinsip demokrasi yang berlandaskan musyawarah dan perwakilan.
Meskipun terdapat kesamaan nilai antara Pancasila dan liberalisme, prospek Pancasila berubah menjadi liberalisme di masa depan tampaknya cukup kecil. Pancasila telah menjadi ideologi negara Indonesia sejak kemerdekaan dan telah menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Kaelan, 2013). Perubahan mendasar dalam ideologi negara akan membutuhkan perubahan besar dalam konstitusi dan sistem politik Indonesia, yang tidak mudah untuk dilakukan.
Namun, perlu dicatat bahwa kondisi masyarakat saat ini, dengan meningkatnya individualisme dan pengaruh globalisasi, dapat memicu tuntutan untuk lebih banyak kebebasan individu (Sastrapratedja, 2013). Hal ini dapat menyebabkan tekanan untuk menafsirkan Pancasila dengan cara yang lebih liberal, terutama dalam hal kebebasan individu.
Selain itu melihat fenomena masyarakat sekarang dimana setiap individu dapat menjadi bagian pemilik modal dengan bebas lewat bursa saham indonesia atau lebih dikenal sebagai IHSG, berdasarkan data dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) pada akhir 2023 terdapat sekitar 12,16 Juta masyarakat yang menjadi investor individu, dengan kapitalisasi pasar sebanyak Rp11,708 Triliun. Melihat nilai liberalisme yang memandang bahwa setiap individu memiliki kebebasan dalam hal pasar maka ada indikasi makin condongnya masyarakat menjadi masyarakat liberalis seperti pada negara-negara penganut liberalisme lainnya, serta hal ini akan terus tumbuh mengingat makin gencarnya "campaign" mengajak masyarakat menjadi investor saham.
Selain itu kita melihat banyaknya penguasaan aktivitas perekonomian dikuasai oleh swasta dan menurunnya kinerja perusahaan pemerintah dalam mengelola komoditas maupun pasar karena kalah bersaing dengan swasta, hal ini menjadi perbedaan antara sosialisme dan liberalisme, dimana sosialisme memandang bahwa segala sesuatu harus dikelola oleh pemerintah, sedangkan pada kenyataannya sekarang banyak sektor yang diambil alih oleh swasta seperti kalah bersaingnya bank-bank milik negara dibanding dengan PT. Bank central Asia (BBCA), ruginya perusahaan-perusahaan negara seperti PT. Waskita Karya (WIKA), PT. Waskita Karya (WIKA), bahkan PT. Garuda Indonesia (GIAA) yang harus merger dengan citilink untuk menutupi kerugiannya, kemudian PT. Barito Renewables Energy (BREN) yang merajai sektor "geothermal energy" mengalahkan PT. Pertamina Geothermal Energy (PGE). Hal ini merupakan manifestasi nilai-nilai liberalisme dalam bidang perekonomian, karena liberalisme dalam bidang ekonomi menekankan pada kebebasan pasar dan kompetisi dengan minimalisasi campur tangan pemerintahÂ
Meskipun demikian, perlu diingat bahwa Pancasila memiliki sila-sila lain yang menekankan keseimbangan antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial, seperti sila keempat "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan" dan sila kelima "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" (Kaelan, 2013). Oleh karena itu, perubahan mendasar menuju liberalisme yang ekstrem tampaknya tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila secara keseluruhan. Selain itu, Pancasila juga memiliki nilai-nilai yang berakar pada budaya dan identitas bangsa Indonesia, seperti nilai-nilai keagamaan, kemanusiaan, dan persatuan (Latif, 2018). Nilai-nilai ini mungkin sulit untuk dilepaskan sepenuhnya dalam mengadopsi paham liberalisme yang cenderung lebih individualistis dan sekuler.
Dalam konteks ini, lebih mungkin terjadi suatu adaptasi atau reinterpretasi Pancasila yang tetap mempertahankan nilai-nilai dasarnya, namun dengan penekanan yang lebih besar pada kebebasan individu dan HAM, sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini dapat diwujudkan melalui penafsiran dan implementasi yang lebih progresif terhadap prinsip-prinsip Pancasila, tanpa mengorbankan esensi dan jiwa dari ideologi tersebut (Sastrapratedja, 2013).
Kesimpulan
Liberalisme dan Sosialisme merupakan dua ideologi yang memiliki kesamaan dengan Pancasila namun tetap tidak dapat menggantikan Pancasila sebagai ideologi bangsa dikarenakan banyaknya faktor-faktor dari kedua ideologi yang tak terpenuhi. Dari hal tersebut dapat kita lihat bahwa arah Pancasila masih tetap condong kepada cita-cita negara walau memang pada pengimplementasiannya kedua ideologi tersebut terkadang ada. Seperti ideologi yang pernah diterapkan pada masa Orde Baru dan juga ideologi Sosialisme yang begitu diperjuangkan oleh Ir. Soekarno.Â
Terlepas dari itu kedua ideologi tersebut tetap saja menimbulkan ketidakserasian oleh karena itu kami menawarkan beberapa solusi guna menghadapi tantangan-tantangan kedua ideologi tersebut, yaitu dengan menyaring efek globalisasi dengan paham Pancasila serta menyediakan pemahaman terkait ideologi Pancasila pada khalayak umum, meningkatkan kualitas perusahaan dalam berbagai sektor, serta pembentukan kurikulum yang dapat membuat ideologi Pancasila ini terimplementasikan dalam lingkup sosial maupun dunia maya.
Daftar Referensi
Muttaqin, A. (2011, Desember). IDEOLOGI DAN KEBERPIHAKKAN MEDIA MASSA. KOMUNIKA: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 5(2), 185-198. https://doi.org/10.24090/komunika.v5i2.168
Nugroho, H. (2000). Jurnal Ilmiah Bestari. Tinjauan Kritis Liberalisme dan Sosialisme, 13(30), 1-5. https://www.neliti.com/publications/241650/tinjauan-kritis-liberalisme-dan-sosialisme
Setiawan, J., Permatasari, W. I., & Kumalasari, D. (2018). SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL TAHUN 1950-1959. Jurnal HISTORIA, 6(2), 365-378. http://dx.doi.org/10.24127/hj.v6i2.1250
Susanto, H. (2020, April 13). WAJAH SOSIALISME DALAM PERKEMBANGAN KOPERASI. ResearchGate. Retrieved April 21, 2024, from https://www.researchgate.net/publication/340607783_WAJAH_SOSIALISME_DALAM_PERKEMBANGAN_KOPERASI
Wiratama, N. S., Budianto, A., & Afandi, Z. (2021). PERKEMBANGAN SOSIALISME DI DUNIA ABAD KE-19 SERTA PENGARUHNYA DI INDONESIA. Danadyaksa Historica, 1(2), 128-140. DOI: https://doi.org/10.32502/jdh.v1i2.4247
Kaelan. (2013). Negara kebangsaan Pancasila: Kultural, historis, filosofis, yuridis, dan aktualisasinya. Yogyakarta: Paradigma.
Latif, Y. (2018). Negara paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press. (Karya asli diterbitkan pada 1689).
Sastrapratedja, M. (2013). Pancasila dan tantangan globalisasi. Dalam M. Sastrapratedja (Ed.), Pancasila dalam terang pancaran globalisasi. Jakarta: Pusat Studi Pancasila UGM.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI