Mohon tunggu...
Naya Nazwa Haliza
Naya Nazwa Haliza Mohon Tunggu... Penulis

Ruang ini sebagai perayaan kesadaran, kawah candradimuka yang berorientasi pada hal hal menyenangkan, tidak beraturan dan menuntut isi isu ideal yang dicurahkan melalui pikirian. Dari sebuah resah dan empirisme yang kecil. Namun gemar untuk dibagikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kritis di Permukaan, Mati Di Kedalaman

6 Juli 2025   22:12 Diperbarui: 6 Juli 2025   22:12 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
( Kritis di Permukaan, Mati Di Kedalaman | Foto:  Film Gie  )

Dalam atmosfer gerakan mahasiswa hari ini, kritik seakan menjadi simbol intelektualitas. Makin pedas komentarnya, makin berkelas citranya. Tak jarang, mereka berlindung di balik kata "kritis" untuk melontarkan caci, tanpa merasa perlu memikul konsekuensi logis dari sebuah gagasan solusi.

Siapapun bisa mengkritik, tapi tak semua orang mampu melahirkan solusi yang konkret. Inilah krisis terbesar aktivisme generasi kampus masa kini. Kerap mengutuk tanpa ikut menuntun. Alih-alih menjadi mitra strategis perubahan, mereka justru menjelma sebagai buzzer berkedok aktivis. Lantang bersuara di postingan, tetapi bisu dalam diplomasi kebijakan.

Per hari ini, banyak mahasiswa kehilangan esensinya. Mereka menyatakan lembaga tertinggi gagal dalam kaderisasi, menyebut segala bentuk realisasi sebagai ilusi. Tetapi, di saat yang sama, tak satu pun dari mereka hadir di ruang pembahasan. 

Mereka menuntut perubahan dari luar pagar, sambil mengabaikan bahwa perubahan sejati lahir dari dalam sistem bukan sekadar dari komentar panjang di Instagram. Era digital memang memberi panggung luas bagi kritik, namun terlalu banyak gerakan justru disabotase oleh kebiasaan baru yaitu sebuah eksistensi maya yang tidak dibarengi aksi nyata. 

Mahasiswa kini lebih senang berdiskusi di forum daring daripada berkeringat di ruang rapat. Mereka lebih sibuk menggoreng isu, daripada menyusun draft kebijakan. Lebih lihai dalam narasi, ketimbang negosiasi.

Ironisnya, ketika kebijakan kampus lahir dan tidak sesuai dengan kepentingan mereka, para kritikus ini kembali muncul. Menggonggong paling keras, seolah-olah merekalah nabi kebenaran. 

Padahal sebelumnya, mereka memilih untuk absen ketika suara mereka dibutuhkan dalam forum formal.

Sudah waktunya mahasiswa kembali pada substansi. Menjadi kritikus yang tak hanya tajam dalam menguliti masalah, tapi juga jernih dalam merumuskan jalan keluar. Aktivisme yang progresif bukan hanya soal berani menentang, tetapi juga tentang mampu menawarkan alternatif.

Sebab, idealisme tanpa aksi hanya akan menjadi ilusi. Dan kritik tanpa solusi hanyalah riuh yang menunda perubahan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun