Di negeri ini, seni adalah suara. Seni adalah perlawanan. Namun, bagi mereka yang takut pada perubahan, seni hanyalah ancaman yang harus dibungkam. Indonesia hari ini bukan hanya menekan kaum intelektual, tetapi juga mencengkeram erat para seniman yang berani bicara tentang kebebasan. Mereka yang masih berani berkarya dengan idealisme, menyuarakan keresahan sosial, dan menolak tunduk pada tirani, kini harus menghadapi tiga musuh besar: suapan, intimidasi, dan ancaman.
Mereka yang tadinya vokal menentang ketidakadilan, tiba-tiba diam setelah mendapat fasilitas, proyek besar, atau posisi strategis. Uang dan kenyamanan menjadi alat untuk menjinakkan mereka yang awalnya berteriak lantang. Perlahan, kritik mereka berubah menjadi dukungan samar, atau lebih parah, menjadi propaganda bagi kekuasaan.Â
Namun, bagi mereka yang menolak tunduk, ada cara lain yang lebih kejam: intimidasi dan ancaman. Pameran seni dilarang, mural dihapus, pertunjukan dibatalkan, dan seniman dipanggil hanya karena karya mereka menyentil kebijakan yang bobrok.Â
Tidak sedikit yang akhirnya memilih bungkam karena tekanan yang begitu nyata: diancam secara akademik, profesional, bahkan secara fisik. Di negeri yang konon demokratis ini, suara seniman yang jujur justru dianggap sebagai gangguan yang harus disingkirkan.
Lebih ironis lagi, kampus---yang seharusnya menjadi benteng kebebasan berpikir, justru menjadi institusi apolitis yang memandang seni sebagai ancaman. Seni yang berani mengkritik dianggap subversif, pameran yang menyinggung realitas sosial diberangus, dan mahasiswa seni yang kritis ditekan agar tetap dalam jalur yang "aman".Â
Akademisi yang seharusnya mendukung kebebasan berekspresi justru menjadi bagian dari mesin pembungkaman. Kampus berubah menjadi pabrik pencetak pekerja yang patuh, bukan ruang bagi lahirnya pemikir dan seniman revolusioner.
Lalu, bagaimana nasib para tukang seni yang masih lantang berbicara soal kebebasan? Mereka terus terpojok di sudut-sudut yang semakin sempit.Â
Mereka dipaksa memilih antara melawan dan kehilangan segalanya, atau tunduk dan menjadi bagian dari sistem yang mereka benci. Ini bukan hanya soal seni, tetapi soal keberanian mempertahankan kebenaran di tengah kebohongan yang diinstitusikan.
Jika seni terus dibungkam, lalu siapa yang akan berani berbicara? Jika seniman dipaksa diam, lalu bagaimana kita bisa menggambarkan realitas yang sebenarnya?Â
Kita sedang hidup dalam era di mana kebebasan dieksploitasi sebagai jargon, tetapi dihancurkan dalam praktiknya. Si tukang seni yang masih berani bersuara bukan sekadar seniman, mereka adalah sisa-sisa keberanian di tengah ketakutan yang dipelihara.
Maka, bagi mereka yang masih berani berkarya dengan jujur: jangan berhenti. Jangan tunduk. Jangan diam. Karena ketika seni kehilangan suaranya, maka kita semua kehilangan Identitasnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI