Mohon tunggu...
Naya_PWK_Universitas Jember
Naya_PWK_Universitas Jember Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Jember

Bloom, be kind, be a flower not a weed 🌸

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

RTH Salah Konsep ala Kabupaten Jember

7 September 2022   21:25 Diperbarui: 7 September 2022   21:41 999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Daerah perkotaan di Indonesia identik dengan permasalahan yang tipikal. Tingkat kepadatan dan pertumbuhan penduduk yang tinggi tanpa diimbangi dengan ketersediaan lahan yang memadai, membuat pengelolaan tata ruang kota menjadi semakin berat. Ujung-ujungnya, kebisingan kota menjadi buntut dari permasalahan tersebut. Masalah-masalah lainnya seperti kurangnya resapan air, krisis oksigen, serta tingkat stress masyarakat yang tinggi merupakan 'santapan' sehari-hari yang tak lagi asing di telinga. Walau tergolong permasalahan yang wajar terjadi di daerah perkotaan, tentu saja hal tersebut tetap menjadi catatan penting bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan wilayahnya menjadi lebih baik. Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut adalah dengan membangun rahan terbuka hijau atau yang dikenal luas dengan istilah RTH.

Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Ruang terbuka hijau dapat diibaratkan sebagai 'paru-paru' dari suatu wilayah. Hal ini karena ruang terbuka hijau memiliki fungsi ekologi, yaitu memanfaatkan tanaman-tanaman hijau yang tumbuh di area tersebut untuk menyerap karbondioksida dan menghasilkan lebih banyak oksigen, serta berfungsi sebagai area resapan air dan pemberi hawa sejuk di tengah hiruk-pikuk kota.

Selain fungsi ekologi yang berperan sebagai fungsi primer (utama), ruang terbuka hijau juga memiliki fungsi sekunder (sampingan), yaitu fungsi estetis, fungsi ekonomis, fungsi pendidikan, fungsi sosial budaya, dan fungsi planologi. Fungsi estetis, artinya ruang terbuka hijau menambah kesan estetika karena menghadirkan kesan teduh yang membuat suatu wilayah tampak lebih segar dan asri. Fungsi ekonomis, artinya penataan ruang terbuka hijau yang baik dan nyaman tentu akan menarik minat masyarakat untuk datang. Saat masyarakat ramai berkunjung itulah, para pedagang kaki lima dapat menjajakan jualannya di sana dan menghasilkan pundi-pundi rupiah. Fungsi pendidikan, artinya ruang terbuka hijau dapat menjadi lokasi tumbuhnya tanaman maupun satwa yang bisa dijadikan sarana belajar sekaligus mengajarkan kepada para siswa untuk merawat dan menjaga kelestarian lingkungan. Fungsi sosial budaya, artinya ruang terbuka hijau dapat dimanfaatkan untuk berkegiatan dan menjadi area berkumpul komunal yang baik. Fungsi planologi, artinya ruang terbuka hijau difungsikan sebagai pembatas atau sekat antar ruang yang memiliki fungsi berbeda.

Sebuah wilayah akan terasa lebih sehat apabila terdapat ruang terbuka hijau yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan kota. Maka dari itu, menurut Pasal 29 Ayat 2, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kabupaten atau kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayahnya. Hal ini karena ruang terbuka hijau sebagai energi kota memiliki manfaat yang besar sebagai retensi air, tempat interaksi, ataupun pembentuk estetika kota. Apabila hal-hal tersebut terpenuhi, harapannya akan terwujud wilayah yang aman, nyaman, produktif, serta berkelanjutan. Sebagai contoh, Kabupaten Jember memiliki luas sekitar 3.293 km, itu berarti dibutuhkan sekitar 987.9 km yang diperuntukkan khusus bagi kawasan ruang terbuka hijau.

Di Kabupaten Jember, ruang terbuka hijau bukan lagi hal yang asing bagi masyarakat karena hampir dapat dijumpai di setiap kecamatan. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kabupaten Jember sebenarnya sadar akan pentingnya keberadaan ruang terbuka hijau sebagai salah satu faktor kelayakan suatu wilayah. Namun, apakah pembangunan ruang terbuka hijau yang digalakkan oleh Pemerintah Kabupaten Jember sudah sesuai dengan konsep dan fungsi yang semestinya? Atau justru terjadi malfungsi dan keabu-abuan dalam konsep pembangunannya?

Ruang terbuka hijau atau green open space tentu identik dengan banyaknya tanaman yang tumbuh di area tersebut, baik pepohonan ataupun tumbuhan-tumbuhan kecil yang sedari awal diperuntukkan untuk fungsi ekologi. Akan tetapi, saya tak melihat hal tersebut pada sejumlah ruang terbuka hijau yang ada di Kabupaten Jember. Upaya Pemerintah Kabupaten Jember untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup masyarakat memang patut diapresiasi, akan tetapi, menurut saya ruang terbuka hijau di Jember sama sekali tak 'hijau'. Tidak perlu muluk-muluk untuk menyebutnya sebagai ruang terbuka hijau, bahkan untuk disebut sebagai sebuah taman saja, tempat-tempat tersebut masih belum pantas. Jumlah pepohonan yang bisa dihitung jari, tumbuhan-tumbuhan kecil yang tidak terawat, serta adanya infrastruktur yang justru menjadi point of interest dari ruang terbuka hijau tersebut, membuat RTH yang berada di Kabupaten Jember seakan-akan krisis identitas dan salah konsep. Ujungnya-ujungnya, fungsi sekunder dari ruang terbuka hijau justru menjadi hal yang paling menonjol. Padahal, fungsi primernya saja masih belum tercapai sedari awal.

Sebagai contoh, ruang terbuka hijau yang berlokasi di Jalan Gajah Mada, Kecamatan Kaliwates, Kabupaten Jember. Kondisi ruang terbuka hijau tersebut sangat berbanding terbalik dengan standar ruang terbuka hijau yang seharusnya dibangun demi kepentingan ekologi wilayah. Sedari awal pembangunannya, RTH Gajah Mada terkenal minim manfaat dan terkesan dibangun sembarangan tanpa menghiraukan konsep ruang terbuka hijau yang sebenarnya. Jika kita mengunjunginya, pasti tak ada sedikitpun terbesit kata 'hijau' di benak kita karena saking sedikitnya tanaman yang ada, nyaris tidak ditemukan pohon, dan tempat tersebut justru dikelilingi beton semen yang seharusnya menjadi tempat rerumputan untuk tumbuh. Walau beberapa kali telah dilakukan renovasi, tetapi RTH Gajah Mada tetap tak dibangun sebagaimana mestinya. Ruang-ruang yang kosong dialih fungsikan sebagai tempat perekaman e-KTP dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil), dan bangunan-bangunan yang berdiri di ruang terbuka hijau tersebut semakin diperkokoh, padahal yang harusnya menjadi fokus Pemerintah Kabupaten Jember adalah bagaimana cara untuk menjadikan RTH Gajah Mada sebagai ruang terbuka hijau yang memiliki fungsi ekologi optimal. Terlebih, RTH Gajah Mada berlokasi di Kecamatan Kaliwates yang merupakan salah satu kecamatan paling ramai dan menjadi sorotan di Kabupaten Jember, bukankah terasa kurang pantas jika ditemukan fasilitas yang fungsinya abu-abu seperti itu di tengah kota?

Selain RTH Gajah Mada, yang akan saya soroti selanjutnya adalah ruang terbuka hijau yang berlokasi di Kecamatan Balung. Pada awal pembangunannya, RTH Balung terlihat sangat rimbun serta tedapat banyak pohon yang bisa menahan teriknya matahari di waktu siang. Pada saat itu, orang-orang datang silih berganti untuk mengunjungi ruang terbuka hijau tersebut. Bahkan, di akhir pekan tak sedikit masyarakat yang memilih untuk menghabiskan waktu di sana, entah hanya sekadar berkumpul bersama keluarga, berfoto, ataupun duduk-duduk sembari menikmati segarnya udara. Pada malam hari, RTH Balung tak kalah ramai dengan situasi saat siang. Banyak pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan dan ditambah dengan aktifitas nongkrong anak muda, membuat ruang terbuka hijau tersebut seakan tak ada sepinya. Dulu, RTH Balung sempat menjadi primadona. Fungsi ekologi yang menjadi sorotan utama juga dapat berjalan sebagaimana semestinya. Tapi, hal tersebut sangat berbanding terbalik dengan kondisi RTH Balung yang sekarang. Lapangannya sudah tidak serimbun dulu dan disertai tanah gersang yang dapat ditemukan di mana-mana. Hal itu membuat terik matahari terasa sangat menyengat di wilayah ruang terbuka hijau tersebut. Tak hanya itu, bangku dan meja yang rusak, toilet yang tidak dapat berfungsi, dan minimnya penerangan di malam hari membuat warga tak lagi seantusias dulu untuk datang. Tentu saja, lagi-lagi fungsi ekologi dari ruang terbuka hijau tak dapat berjalan dengan baik.

Tak berbeda jauh dari kondisi ruang terbuka hijau Balung, RTH yang berlokasi di Kelurahan Mangli juga memiliki kondisi yang sama buruknya. Walau banyak ditumbuhi rerumputan dan tak segersang RTH Balung, tetapi jumlah pohon yang berada di RTH Mangli sangatlah sedikit. Pohon-pohon yang ditanam juga merupakan pepohonan kecil, yang tentu saja membuat RTH Mangli tak sanggup menjalankan fungsi ekologinya dengan baik. Menurut saya, lokasi tersebut belum pantas untuk disebut ruang terbuka hijau. Dibandingkan ruang terbuka hijau, lokasi tersebut lebih layak disebut lapangan. Sedari awal pembangunannya, RTH Mangli memang tak pernah mendapat perhatian lebih dari Pemerintah Kabupaten Jember, hal ini berbanding terbalik dengan RTH Balung yang sempat menjadi primadona di masyarakat dan ramai dikunjungi pada masa awal RTH tersebut berdiri. Saat ini, RTH Mangli tak lebih dari tempat pedagang kaki lima untuk berjualan di malam hari, tak ada fungsi ekologi yang seharusnya menjadi fokus utama dibangunnya infrastruktur tersebut.

Ketiga lokasi tersebut hanyalah segelintir dari contoh kesalahan konsep ruang terbuka hijau yang berada di Kabupaten Jember. Selain itu, terdapat RTH Sumbersari, RTH Arjasa, RTH Rambipuji, dan RTH lainnya di Kabupaten Jember yang terkesan hanya sekadar dibangun tanpa memikirkan fungsi ekologi bagi wilayah di sekitarnya. Memang tak bisa dipungkiri, ruang terbuka hijau di Kabupaten Jember sedikit banyak berfungsi sebagai penggerak ekonomi dan dapat dijadikan destinasi masyarakat untuk duduk dan bersantai melepas penat. Hal tersebut tentu sah-sah saja. Tapi, apa artinya kedua hal tersebut jika fungsi utama dari ruang terbuka hijau tidak didapatkan? Jika hanya difungsikan sebagai tempat pedagang kaki lima dan tempat duduk biasa, seharusnya lokasi-lokasi tersebut tidak menyandang nama ruang terbuka hijau, melainkan pusat kuliner. Jangan sampai muncul pradigma bahwa ruang terbuka hijau lebih baik dimanfaatkan untuk mendukung sisi ekonomis masyarakat saja. Perlu kita ingat, kualitas lingkungan dan ekologi juga sama pentingnya dengan sektor ekonomi suatu wilayah. Masyarakat umum mungkin tidak menaruh atensi lebih terkait hal ini karena dianggap bukan permasalahan yang serius. Akan tetapi, Kabupaten Jember pasti akan berkembang menjadi wilayah yang lebih pesat dan padat penduduk, untuk menjaga keseimbangan suatu wilayah, kebutuhan akan ruang terbuka hijau tak bisa disepelekan begitu saja.

Keberadaan ruang terbuka hijau sangat penting untuk suatu wilayah. Terlebih, di era globalisasi seperti saat ini sedang marak-maraknya terjadi isu terkait ekologi dan permasalahan lingkungan lainnya. Keberadaan ruang terbuka hijau dapat menjadi solusi terbaik untuk menciptakan lingkungan yang berkualitas, baik dari segi spasial maupun visual. Maka dari itu, tentu sangat disayangkan bila ruang terbuka hijau yang berada di Kabupaten Jember tidak dimaksimalkan fungsinya. Terlebih, dana yang dikeluarkan untuk membangun ruang terbuka hijau tentu tidak sedikit, daripada dibangun kemudia disia-siakan, akan lebih baik jika dioptimalkan demi kepentingan bersama, 'kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun