Masih mengingat jelas siang itu, beberapa bulan silam di depan sebuah waralaba terkenal dekat penginapan di bilangan kota semarang. Di depan toko itu, seorang lelaki, seorang ayah sedang terduduk dilantai mengenakan kostum badut. Wajah aslinya tertutup topeng plastik senyum lebar, tapi yang saya lihat bukan keriangan. Saat saya keluar, lelaki itu sudah tertidur. Topengnya tergeletak di pangkuan, sementara ia terlelap di bawah terik matahari yang begitu menyengat. Lalu lintas ramai dengan suara kendaraan yang berdesakan, tapi tidur bapak itu tampak sangat tenang.
Pemandangan itu membuat hati saya berdesir. Ada perasaan nelangsa yang sulit dijelaskan. Saya tidak tega membangunkannya. Mungkin karena sadar betapa lelahnya ia, bukan hanya secara fisik, tapi mungkin juga batin. Saya kembali ke hotel yang jaraknya hanya selemparan batu. Namun pikiran saya tetap tertinggal bersama bapak badut itu. Tak lama, saya kembali lagi, ingin sekadar memastikan, tapi ia sudah tidak ada. Yang tersisa hanyalah ingatan dan doa, semoga ia sehat, rezekinya lapang, dan bahagia.
Di jalanan kota besar seperti Semarang, Surabaya, Jakarta, atau Medan, kita sering melihat wajah-wajah yang bersembunyi di balik peran. Ada yang berjualan tisu di lampu merah, ada yang mengamen, ada pula yang memakai kostum superhero atau badut demi menarik perhatian. Bagi banyak orang, pekerjaan itu mungkin sekadar hiburan di pinggir jalan. Tapi di balik kostum yang warna-warni, ada kenyataan getir mereka bertarung dengan kerasnya hidup.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2025 mencatat jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai lebih dari 78 juta orang atau sekitar 57% dari total tenaga kerja. Sebagian besar tanpa jaminan sosial, tanpa kepastian upah, bahkan tanpa rasa aman. Pekerja kostum badut jalanan masuk ke kategori itu: sektor yang nyaris tak terlihat dalam statistik resmi. Mereka hadir sebagai penanda kontras kita tertawa melihat atraksi mereka, tapi tidak tahu bagaimana mereka bertahan setelah melepas kostum.
Saya lalu berpikir, mengapa bapak itu mengenakan topeng senyum? Apakah hanya untuk peran? Atau ada makna yang lebih dalam? Apakah ia sengaja menggunakan topeng untuk menutupi dukanya, kehancurannya, atau sekadar rasa lelah yang tak ingin ditunjukkan ke dunia? Pertanyaan itu menggelayuti saya, dan perlahan saya menyadari: mungkin bapak itu adalah saya. Bisa juga kamu. Bisa juga kita semua.
Bukankah sering sekali kita hidup dengan kalimat klise: "Aku baik-baik saja. Aku enggak apa-apa." Kalimat yang kita ucapkan bahkan ketika hati remuk. Kalimat yang jadi jembatan untuk menolak membuka diri. Ada istilah psikologi modern yang populer belakangan ini: smiling depression. Orang dengan kondisi ini tampak bahagia dari luar, tersenyum, berfungsi normal dalam pekerjaan maupun hubungan sosial. Namun di dalam dirinya, ada rasa sedih yang dalam, depresi yang terbungkus rapat.
WHO dalam laporannya tahun 2023 menyebutkan lebih dari 280 juta orang di dunia mengalami depresi. Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018 mencatat prevalensi depresi sebesar 6,1% pada penduduk usia di atas 15 tahun angka yang tampaknya kecil, tapi jika dihitung, setara dengan 15,6 juta orang. Angka itu belum termasuk mereka yang tidak terdiagnosis karena stigma. Banyak dari mereka yang terus menjalani hidup seolah tak terjadi apa-apa. Mereka bekerja, bercanda, hadir di media sosial dengan unggahan penuh tawa, padahal di dalamnya ada luka yang tak terlihat.
Kita hidup di masyarakat yang seringkali menuntut senyum. Kita diminta kuat, diminta bersabar, diminta "jangan cengeng". Padahal, siapa sih yang tak pernah merasa lelah? Namun alih-alih jujur pada diri sendiri, kita justru terbiasa memakai topeng. Topeng profesionalisme di kantor, topeng keramahan di lingkungan sosial, topeng bahagia di media sosial.
Kisah bapak badut tadi menjadi semacam cermin. Bahwa boleh kok kita melepaskan topeng yang menempel sehari-hari. Boleh kok menangis tersedu-sedu. Boleh kok marah. Boleh kok merasa lelah. Boleh kok merajuk. Boleh ketakutan, boleh merasa sepi. Semua itu manusiawi. Kita bukan robot yang bisa terus berjalan tanpa jeda.
Masalahnya, kultur kita sering tidak memberi ruang untuk itu. Di media sosial, kita mudah dihakimi kalau mengeluh. Di kantor, dianggap tak profesional jika jujur merasa burnout. Di keluarga, sering dianggap tak bersyukur bila menyatakan kecewa atau sedih. Maka topeng menjadi solusi instan. Kita belajar menyembunyikan luka. Kita membungkus hancurnya hati dengan senyum palsu.