Mohon tunggu...
Nawa Sri
Nawa Sri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Be Grateful to be ME...

Pembelajar, suka membaca dan sangat berminat untuk terus menulis. Tertarik dalam pengembangan diri, parenting, perencanaan keuangan serta gaya hidup sehat nan ramah lingkungan. https://nawasri.wordpress.com Email: ms.nawa@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Citra Cantik dari Perempuan dengan Thalassaemia Mayor

16 Mei 2015   08:58 Diperbarui: 1 Oktober 2015   06:39 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika mendapati pertanyaan, apa Citra Cantik itu? Jawaban yang tergolong mainstream, biasanya adalah perempuan yang berkulit putih, bertubuh ideal serta berambut indah tergerai persis layaknya sosok yang sering ditampilkan dalam iklan produk-produk kecantikan. Ya, perempuan mana yang tidak suka dibilang cantik? Hampir semua perempuan mendambakan kecantikan, hal ini terbukti dengan laris manisnya produk-produk kecantikan itu.

Namun apa yang ditawarkan oleh produk-produk kecantikan itu sebenarnya hanyalah menawarkan kecantikan dari luar. Benar saja, kecantikan dari luar bisa dipoles dengan make up atau bisa menggunakan produk-produk pemutih kulit, pelangsing tubuh bahkan kosmetik rambut.

Akan tetapi, Citra Cantik tak sebatas kecantikan luar saja. Diperlukan kecantikan dari dalam untuk menunjangnya agar tercipta kecantikan yang sempurna. Bahkan tak jarang, aura kecantikan dari dalam akan selalu memancar keluar sehingga perempuan dengan kecantikan luar yang secara umum dikatakan biasa saja menjadi terkesan sangat cantik.

[caption caption="Citra Cantik"][/caption]

Perempuan memang harus menjaga kecantikan luar agar tidak cepat pudar, namun kecantikan dari dalam juga tak boleh luput dari perhatian kita. Bagi saya, Citra Cantik juga bisa terlihat dari ketegaran seorang perempuan dalam menjalani hidup apapun kondisinya, terus bergerak untuk maju menjadi lebih baik, berusaha menghalau segala rintangan yang dihadapi serta selalu berusaha memberdayakan diri agar bisa bermanfaat baik bagi diri sendiri, keluarga, bahkan masyarakat luas.

Citra Cantik seperti inilah yang saya lihat dari sosok perempuan bernama Meila Maya Sari. Ya, perempuan kelahiran 20 Maret, 30 tahun yang lalu ini sekilas tampak seperti perempuan kebanyakan. Yang menjalani hidup seperti biasa dan apa adanya sebagai seorang pekerja keras, seorang istri serta ibu dari satu orang putri. Namun jika kita tengok lebih dalam, kita akan melihat ketegarannya dalam menjalani hidup dengan Thalassaemia Mayor.

Lahir dari keluarga yang sederhana, tentu tak mudah menerima kenyataan bahwa dirinya menderita Thalassaemia Mayor. Penyakit ini diketahuinya ketika duduk di bangku kelas empat SD. Perasaan shock, takut serta berbagai perasaan lainnya tentu berkecamuk dalam dirinya, apalagi sang ibu terlihat sangat terpukul dan sulit untuk menerimanya.

Namun, dia selalu mengingat pesan sang ibu untuk tidak menyusahkan orang lain walaupun dalam keadaan sakit. Untuk itu, dia selalu berusaha meyakinkan diri bahwa dia selalu sehat dan tidak sakit. Dia pun berusaha hidup secara positif agar bisa bermanfaat bagi diri, keluarga serta orang lain.

Penyakit Thalassaemia memang bukan penyakit yang populer di kalangan masyarakat. Banyak diantara kita, bahkan termasuk saya, yang awalnya tidak mengetahui apa itu penyakit Thalassaemia.

Berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari Yayasan Thalassaemia Indonesia, Thalassaemia adalah kelainan sel darah merah yang disebabkan berkurang atau tidak terbentuknya hemoglobin, yang mengakibatkan sel darah merah mudah pecah. Memang, penyakit ini diturunkan dari kedua orang tua namun bukan penyakit yang menular.

Anak dengan Thalassaemia Mayor akan nampak pucat, lesu, kuning dan terkadang disertai perut membesar. Ini terjadi karena kebutuhan akan sel darah merah tidak tercukupi, organ-organ tubuh harus bekerja lebih keras sehingga seringkali terjadi pembengkakan hati dan limpa.

Thalassaemia Mayor bisa menjadi Thalassaemia Minor hanya apabila mendapatkan transplantasi sumsum tulang dari donor, yang sebaiknya saudara sekandung. Transplantasi ini hanya bisa dilakukan jika Thalassaemia diketahui sedini mungkin untuk kemudian dilakukan tindakan. Karena apabila seorang anak telah sering mendapatkan transfusi darah, maka kemungkinan penolakan terhadap jaringan sumsum tulang donor menjadi semakin besar.

Selain transplantasi sumsum, hingga saat ini Thalassaemia Mayor belum dapat disembuhkan. Pengobatan satu-satunya adalah dengan melakukan transfusi secara rutin, rata-rata sebulan sekali untuk seumur hidupnya disertai konsumsi obat-obatan tertentu. Beruntung, pemerintah telah memberikan fasilitas kepada para penderita Thalassaemia agar bisa mendapatkan transfusi tanpa harus mengeluarkan banyak biaya.

Namun, dengan mendapatkan transfusi darah secara berulang, maka zat besi (Fe) beresiko tertimbun di seluruh organ terutama jantung, hati, kelenjar endokrin pembuat hormon di otak, dan tulang. Sehingga menimbulkan gangguan fungsi pada organ-organ tersebut. Bahkan banyak yang terpaksa harus melakukan pengangkatan limpa.

Hal seperti inilah yang terjadi pada Meila. Dia harus mendapatkan transfusi darah secara rutin, sebulan sekali agar bisa menjalani hidup dengan baik. Meski memiliki keterbatasan semacam ini, namun Meila tidak patah semangat untuk meneruskan hidup secara positif serta memberdayakan diri untuk menjadi lebih baik lagi.

Meila pun merasa beruntung mendapatkan dukungan penuh dari sang suami yang menikahinya sejak tahun 2008. Sang suami juga bersedia menerima bagaimana pun kondisi Meila saat itu, bahkan harus ekstra waspada ketika Meila mengandung putrinya. Bagi penderita Thalassaemia Mayor, kehamilan tentu beresiko karena harus memerlukan darah ekstra dalam pembentukan janin. Namun, Meila tetap bertekad untuk melahirkan sang putri, apa pun yang terjadi.

Hingga memasuki usia kehamilan delapan bulan, putri mereka lahir secara prematur. Meski telah sepakat untuk dilakukan tindakan operasi dan sang suami telah menandatangani surat persetujuan operasi, namun tak disangka bayi mereka sudah terlebih dulu lahir secara normal. Dan walaupun sempat dirawat di incubator karena lahir prematur, beruntung putri yang mereka namai Devi Kusuma Meldi bisa tumbuh dengan sehat hingga sekarang berusia 5 tahun.

Bersama suami dan putri mereka, Meila bahkan pernah mengadu nasib ke luar pulau dan mengelola sebuah warung makan di sana. Namun pada pertengahan tahun 2014 yang lalu, Meila harus kembali ke kota asal untuk melakukan pengangkatan limpa karena sudah terjadi pembengkakan dan tidak bisa berfungsi. Meila pun harus dirawat selama tiga bulan penuh di rumah sakit karena selepas operasi pengangkatan limpa, terjadi komplikasi pendarahan di kepala yang berhubungan dengan saraf.

Dan akhir tahun 2014 lalu, Meila pun kembali aktif bekerja di bagian penjualan minuman pada suatu supermarket. Di sana dia harus bekerja penuh waktu selama 10 jam setiap harinya. Empat hari waktu liburnya dalam satu bulan, dia manfaatkan untuk melakukan transfusi darah serta mengunjungi putrinya yang kini diasuh sang nenek selama dia dan suami bekerja.

Menjalani hidup dengan Thalassaemia Mayor pun penuh tantangan. Tidak jarang dia diolok-olok oleh teman-temannya sebagai sosok vampir karena harus rutin menerima transfusi darah. Bahkan suatu ketika ada seorang atasan yang mengira bahwa dia adalah penderita AIDS karena belum paham tentang apa itu Thalassaemia. Namun, Meila tetap tegar dan berusaha positif dalam menjalani hidup. Yang ada dalam pikirannya adalah dia harus terus bekerja demi kehidupan yang lebih baik untuk putri semata wayangnya.

Meila pun masih memiliki harapan dalam hidupnya untuk bisa membangun suatu usaha yang sesuai dengan minatnya, yaitu fashion dan rias wajah. Meila pun ingin kembali merintis bisnis warung makan serta mengembangkan hobinya dalam bidang melukis dan menjahit.

Tidak hanya sampai di situ, Meila bahkan kini aktif sebagai pengurus di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalassaemia Indonesia). Motivasinya menjadi pengurus POPTI adalah selain mencari kesibukan, dia juga ingin berpartisipasi dalam membantu para penderita Thalassaemia yang lainnya.

[caption caption="Bersama Pengurus POPTI"]

[/caption]

Menurutnya, di luar sana masih banyak anak yang tak tertolong akibat kurangnya pengetahuan orang tua tentang Thalassaemia. Untuk itu, POPTI sebagai suatu organisasi orang tua penderita Thalassaemia mengadakan kegiatan per 3 bulan. Baik berupa kegiatan donor darah, layanan screening darah maupun sosialisasi kepada masyarakat luas tentang Thalassaemia ini.

Melihat semangat dari sosok Meila dalam menjalani hidup, sedikit banyak telah menginspirasi saya. Agar dalam hidup ini kita bisa tegar dalam menjalani apapun kondisinya, melewati segala rintangan secara positif dan selalu berusaha memberdayakan diri. Untuk menjadi lebih baik serta lebih bermanfaat baik bagi diri sendiri, keluarga bahkan masyarakat luas.

Semoga kisah ini bisa turut menginspirasi banyak perempuan lainnya untuk lebih memahami apa itu Citra Cantik yang sesungguhnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun