Mohon tunggu...
Nawan Tabah Pangestu
Nawan Tabah Pangestu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa dan kontributor di Wikipedia.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sebagai Mahasiswa, KRL Commuter Line Yogyakarta Menyelamatkan Saya

4 September 2023   00:27 Diperbarui: 4 September 2023   00:31 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KRL Commuter Line Yogyakarta adalah angin segar saat biaya hidup dan indekos di Jogja merangkak naik tiap tahun.

Seperti yang kita tahu, Kota Yogyakarta terkenal dengan julukan sebagai kota pelajar. Gelar itu masih bertahan hingga kini. Yogyakarta masih menjadi pelabuhan utama para mahasiswa baru di seluruh Indonesia.
Namun tak bisa dimungkiri bahwa biaya hidup di Yogyakarta yang naik melampaui upah minimum provinsi yang tak lebih dari Rp 1,3 juta hingga Rp 1,5 juta per bulan membuat Yogyakarta tak lagi nyaman bagi mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah.
Salah seorang narasumber bernama Robi yang diwawancarai Tirto dalam artikel berjudul "Biaya Hidup Naik, Yogya Sudah Tidak Berhati Nyaman" menyebutkan bahwa dalam sebulan ia bisa menghabiskan lebih dari Rp 540 ribu untuk makan tiga kali sehari dengan menu paling dasar berupa nasi telur. Sedangkan untuk keperluan tempat tinggal, Robi harus merogoh kocek sebesar Rp 2,5 juta per tahun untuk kos paling murah di daerah Karangmalang seluas 3x3 meter tanpa fasilitas apa pun. Keuntungannya, ia tak perlu mengeluarkan uang untuk biaya transportasi karena jarak indekos dengan kampus bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Dengan mahalnya biaya hidup dan indekos di Yogyakarta, bagi mahasiswa ada tiga opsi yang bisa diambil. Pertama, memilih indekos di dekat kampus. Kedua, memilih indekos yang agak jauh dari kampus. Opsi terakhir adalah dengan mengelaju dari Solo atau Klaten ke Yogyakarta dan sebaliknya. Sebagai warga Kabupaten Klaten, saya memilih opsi terakhir.

Kenapa saya memilih mengelaju dengan KRL?

Saya tahu bahwa beberapa dari kalian akan menyebut bahwa ngekos memberikan pengalaman baru serta kebebasan bagi mahasiswa sehingga memilih melaju daripada ngekos adalah keputusan yang amat disayangkan. Benar dan saya sama sekali tidak menyangkal hal itu. Tapi  saya harus sadar diri bahwa saya bukanlah mahasiswa dari keluarga menengah ke atas yang mampu membiayai indekos dan biaya hidup di Yogyakarta yang bahkan lebih mahal dari Surakarta.
Namun bukankah mahalnya biaya hidup dan indekos di Yogyakarta seharusnya tidak menghalangi seseorang untuk melanjutkan mimpinya di perguruan tinggi impian? Bukankah kebebasan bergerak atau freedom of movement adalah hak asasi manusia? Bukankah kewajiban negara untuk menyediakan transportasi yang murah, cepat, aman, dan nyaman? Tidak, kita tidak sedang membahas ojek online. Ojek online memang cepat, tetapi ongkos ojek online dari Klaten ke Yogyakarta tentu tidak murah.
Itu kenapa saya merasa sangat beruntung saat KRL Jogja-Solo yang seperti KRL Jabodetabek, sama-sama dikelola oleh KAI Commuter, anak perusahaan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) mulai dioperasikan pada 10 Februari 2021 silam. Dengan biaya yang sama seperti Prameks dulu, KRL Jogja-Solo mengantarkan saya ke Yogyakarta tanpa perlu takut macet, panas, dan hujan. Betul, moda transportasi KRL Jogja-Solo ini akan sangat terasa manfaatnya saat musim penghujan tiba. Menerobos hujan dengan sepeda motor dari Klaten ke Yogyakarta dan sebaliknya adalah pilihan buruk yang akan menjadi opsi terakhir yang saya pilih. Selain risiko mengalami kecelakaan semakin besar saat hujan, ada kemungkinan mengalami masuk angin (baca: sakit) karena terpapar air hujan.

Cara saya agar tetap hemat

"Tapi kalau sampai Stasiun Lempuyangan atau Stasiun Yogyakarta terus naik apa? Kalau pakai ojol lama-lama boncos dong?"
Dulu ketika saya pertama kali pulang pergi Klaten-Yogyakarta, saya memilih untuk naik ojek online untuk menuju ke kampus setibanya di stasiun tujuan. Tapi saya menyadari ongkosnya bisa dibilang mahal, apalagi mengingat perusahaan ojek online seperti Gojek dan Grab tidak lagi "bakar uang" seagresif dulu. 
Saya kemudian mencoba Transjogja. Jadi untuk menuju kampus saya di daerah Karangmalang, saya naik KRL di Stasiun Klaten dengan tarif flat Rp 8000, kemudian turun di Stasiun Lempuyangan. Dari Stasiun Lempuyangan, saya berjalan ke timur kemudian berbelok ke selatan ke Jalan Doktor Sutomo dan menunggu bus Teman Bus koridor 2A di halte Eks Bioskop Mataram di pinggir jalan tersebut.
Jika kondisi jalan tidak macet dan saya sedang beruntung, tidak perlu waktu lama untuk bus tiba. Saat memasuki bus, cukup tap kartu uang elektronik bank ke mesin pembaca kartu atau pindai QRIS untuk membayar dengan tarif hanya Rp 3600. Perlu diingat bahwa Teman Bus belum mendukung pembayaran menggunakan kartu multitrip (KMT) dari KAI Commuter. Ini alasan kenapa kartu multitrip dari KAI Commuter dan kartu uang elektronik BRI (BRIZZI) selalu sedia di dompet saya. Dengan menaiki Teman Bus koridor 3A saya tidak perlu transit, saya biasanya turun di halte Plaza UNY karena lebih dekat dengan fakultas.
Saat pulang, saya kemudian berjalan kaki ke halte Sanata Dharma tepat di depan Plaza UNY untuk menunggu bus Transjogja koridor 2B. Untuk naik Transjogja, bisa membayar menggunakan uang tunai, QRIS, kartu Transjogja, kartu uang elektronik bank, dan kartu multitrip KAI Commuter. Saya biasanya menggunakan kartu multitrip karena kartu uang elektronik bank sedikit lebih ribet untuk proses isi ulang saldo.
Dari bus 2B, saya turun di Halte Stadion Kridosono / SMP 5 untuk transit ke koridor 10 arah Lempuyangan atau 3A arah Malioboro. Biasanya saya menaiki bus yang datang terlebih dahulu, jika bus Transjogja koridor 10 datang lebih dahulu, maka saya akan menaiki itu, jika ternyata 3A lebih cepat, maka saya akan menaiki koridor 3A kemudian turun di Halte Malioboro 1 untuk kemudian berjalan kaki ke Stasiun Yogyakarta.

Sebuah harapan

Saya tahu bahwa menggunakan Transjogja alih-alih ojek online dari stasiun memiliki beberapa kekurangan tetapi saya akan membahas hal itu lebih lanjut di tulisan terpisah. Dalam tulisan ini saya akan lebih berfokus pada KRL Jogja Solo dan layanan KAI Commuter.
Menurut pengalaman saya, KAI Commuter sukses memberikan pengalaman mengelaju yang murah, cepat, aman, dan nyaman. Saya harus menyebutkan bahwa saya pernah beberapa kali menggunakan Prameks sebelum KRL Jogja-Solo dibangun dan saya harus mengakui bahwa itu adalah dua pengalaman yang berbeda. Hal yang paling saya rasakan perbedaannya adalah dari segi kenyamanan berkat AC sentral di armada KRL Jogja-Solo.
Namun saya berharap kedepannya kartu multitrip ini dapat digunakan untuk pembayaran di bus Teman Bus. Sebagai pengelaju yang menggunakan transportasi umum, integrasi pembayaran ini sangatlah penting. KAI Commuter telah bekerjasama dengan Transjogja untuk integrasi pembayaran, kenapa tidak melakukan hal yang sama dengan Teman Bus yang dikelola oleh Kemenhub?
Hal terakhir yang ingin saya soroti tidak berkaitan dengan KAI Commuter langsung tetapi pengguna KRL Jogja-Solo.  Dengan AC sentral yang sangat dingin, berdiri di KRL Jogja-Solo seharusnya bukan masalah besar bagi orang-orang yang sehat.  Walaupun fakta di lapangan yang saya temukan mengatakan sebaliknya, dari yang saya amati selama ini justru banyak yang berebutan kursi KRL di stasiun Yogyakarta. Hal itu membuat saya cukup heran karena bagi saya tidak mendapat tempat duduk lebih baik daripada harus menunggu satu hingga dua jam karena ketinggalan KRL atau lebih buruk, ketinggalan KRL keberangkatan terakhir.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun