Di era serba digital ini, komunikasi tidak pernah semudah sekarang. Sekali klik, kita bisa menghubungi siapa saja di belahan dunia manapun. Ironisnya, meski dikelilingi jutaan pesan, notifikasi, emoji, dan unggahan status, semakin banyak orang merasa kesepian, terasing, dan tidak dimengerti.
Kita hidup dalam dunia yang ramai, tapi sepi.
Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa di tengah ledakan komunikasi, justru rasa empati makin menipis? Mengapa komentar di media sosial lebih sering menyakitkan daripada menenangkan?
Artikel ini akan menggali lebih dalam tentang krisis empati di era digital, dampaknya terhadap kehidupan sosial kita, dan bagaimana cara mengembalikan kemanusiaan yang perlahan hilang di balik layar gadget.
Bab 1: Ketika Dunia Berpindah ke Layar
Perubahan besar dalam cara manusia berinteraksi dimulai sejak munculnya internet, lalu disusul oleh media sosial. Jika dulu orang berkumpul di warung kopi atau ruang tamu, kini pertemuan terjadi di grup WhatsApp, komentar Instagram, atau thread Twitter (X).
Awalnya, semua ini terasa menyenangkan. Kita bisa menemukan kembali teman lama, berbagi kabar bahagia, atau bahkan jatuh cinta lewat DM. Namun perlahan, sesuatu berubah.
Kita mulai lebih nyaman mengetik daripada berbicara langsung. Lebih senang memberi reaksi cepat ketimbang mendengarkan cerita panjang. Lebih tertarik pada jumlah like dan share daripada memahami isi pesan.
Teknologi memudahkan komunikasi, tapi juga memendekkannya. Kita mulai kehilangan kemampuan untuk hadir sepenuhnya dalam percakapan.
Bab 2: Empati yang Hilang dalam Banjir Informasi
Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Tapi di era digital, kemampuan ini semakin langka. Mengapa?