Mohon tunggu...
NAVID ZILQISTAS
NAVID ZILQISTAS Mohon Tunggu... mahasiswa uin prodi ilmu komunikasi 2024

24107030142

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Hidup Dalam Bayang-Bayang Ekspetasi: Antara, Harapan, Tekanan, dan Inspirasi

13 Juni 2025   11:35 Diperbarui: 13 Juni 2025   11:35 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena ini bukan hanya terjadi di kota besar, tapi di mana-mana. Bahkan anak muda di desa pun kini harus bergulat dengan tekanan yang sama karena internet membuat standar hidup menjadi global. Semua orang bisa melihat, menilai, dan membandingkan.

Bab 4: Ekspektasi Sosial yang Tak Terucap Tapi Mengikat

Ada ekspektasi-ekspektasi sosial yang tak pernah diucapkan secara langsung, tapi terasa sangat mengikat. Seperti perempuan yang dianggap belum "sempurna" jika belum menikah di usia tertentu. Atau laki-laki yang dianggap "kurang sukses" jika belum bisa membeli rumah sendiri.

Kita dibentuk oleh nilai-nilai tradisional yang bercampur dengan modernitas. Di satu sisi, kita dituntut untuk mandiri dan bebas menentukan pilihan. Tapi di sisi lain, kita tetap dibayang-bayangi oleh norma sosial yang mengikat. Akhirnya, kebebasan yang kita nikmati terasa semu. Kita bebas, tapi tetap takut akan penilaian.

Tidak jarang, keputusan besar dalam hidup---seperti karier, pasangan, bahkan pilihan hidup spiritual---diambil bukan atas dasar keyakinan pribadi, melainkan tekanan kolektif dari masyarakat. Dan ketika keputusan itu tidak membahagiakan, kita bingung harus menyalahkan siapa.

Bab 5: Merdeka Secara Mental dan Emosional

Lalu, apakah kita harus membuang semua ekspektasi dan hidup seenaknya? Tentu tidak. Harapan dan ekspektasi bisa menjadi motivasi. Namun, yang perlu kita lakukan adalah memilah dan memilih: mana ekspektasi yang sejalan dengan nilai pribadi kita, dan mana yang hanya membuat kita menjauh dari diri sendiri.

Kita perlu belajar berdamai dengan harapan orang lain, tanpa harus selalu menuruti semuanya. Kita boleh berkata, "Aku paham keinginanmu, tapi aku punya jalan sendiri." Itu bukan bentuk pemberontakan, tapi tanda bahwa kita mulai mengambil alih kendali hidup.

Kemerdekaan sejati bukan tentang bebas dari aturan, tapi bebas dari rasa bersalah karena menjadi diri sendiri. Ketika kita bisa berkata jujur kepada diri, "Ini pilihanku, dan aku siap bertanggung jawab atasnya," saat itulah kita benar-benar merdeka secara mental dan emosional.

Bab 6: Menulis Ulang Narasi Hidup

Setiap orang punya narasi hidup. Dan kabar baiknya, narasi itu bisa ditulis ulang kapan saja. Tidak ada kata terlambat untuk memilih arah yang berbeda. Kita bukan produk dari masa lalu, tapi proses yang terus berkembang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun