Mohon tunggu...
nauval afnan
nauval afnan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Netijen Julid

Bujangan alay bergelar Sarjana Sastra

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Mengintip Nuansa Momen Lebaran di Era Pemerintahan Hindia Belanda

24 Mei 2020   18:43 Diperbarui: 24 Mei 2020   19:45 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Haji Muchtar Lutfi membuka upacara takbir besar-besaran di alun-alun Makasar. Foto: Wikipedia/Tropenmuseum

Hari ini 24 Mei 2020, untuk pertama kali saya merayakan lebaran dengan keluarga yang tidak lengkap. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, kali Ini kedua kakakku tidak dapat mudik ke rumah ayah dan ibu di Banyuwangi. 

Hal ini terjadi karena masih dalam pandemi Covid19 dan pemerintah telah berusaha menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan masyarakat sudah sepatutnya berperan aktif untuk memutus rantai virus dengan cara cuci tangan pakai sabun, jaga jarak, dan tidak mudik ke kampung halaman.

Walaupun Hari Raya Idul Fitri tahun ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, namun saya pribadi dapat menerima dan berempati di momen seperti ini. Hari ini untuk pertama kali saya melakukan salat ied di rumah sendiri. Aneh memang, namun bagaimana lagi karena tempat tinggal saya dipenuhi pemudik dari Bali yang lolos dan berlebaran di kampung halaman. Jadi saya ragu untuk ikut salat ied di masjid.

Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya rumah ibu saya juga sangat sepi dari kunjungan tamu. Hanya ada 2 keluarga dari tetangga kanan dan kiri yang datang bersilaturahmi tadi pagi. Lebaran Idul Fitri tahun ini yang menurut saya kurang berkesan membuat saya berpikir dan berandai-andai seperti apa jika saya berada di momen lebaran di masa pemerintahan Hindia Belanda?

Menurut referensi yang saya baca terdapat 3 hal unik momen lebaran era penjajahan Belanda yaitu, tradisi mudik, kue lebaran dan situasi lebarannya.

Menurut dosen Sejarah IAIN Surakarta Martina Safitry, walaupun Belanda memiliki kontrol terhadap sistem pemerintah Indonesia, namun umat muslim di Indonesia masih diberi keleluasaan untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya.

Sama seperti beberapa tahun lalu di zaman modern ini, perdebatan mengenai penentuan awal Ramadahan juga terjadi di masa penjajahan. Pada era pemerintahan Belanda Perhimpunan Penghoelo dan Pegawainya (PPDP) atau lebih dikenal Hoofdbestuur merupankan badan pemerintah Hindia Belanda yang menentukan awal Ramadhan secara resmi.

Meski demikian dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) juga memiliki Hoofdbestuur-nya sendiri. Lambaga itu juga memiliki peran besar terhadap penentuan awal Ramadhan.

"Kedua belah pihak menentukan perhitungan dengan cara masing-masing," ujar Martina (11/5/2019).

Tak hanya itu saja, Ramadhan pada zaman kolonial juga terdapat tradisi membunyikan bunyi-bunyian yang sangat keras seperti di Jawa dan Sumatra sebagai penanda awal Ramadhan.

"Jadi dengan meriam, petasan, mercon dan anak-anak bikin menggunakan pelepah pisang. Pokoknya bunyian yang keras-keras untuk menandakan awal Ramadhan," ucap Martina.

Kabar ini dipertegas dalam berita yang terekam dalam koran Berita Nahdlatul Ulama (BNO) edisi 1 November 1937 yang memuat maklumat Awal Ramadhan 1356 Hijriah.

Lebaran pada zaman pemerintaham Hindia Belanda kue lebaran juga mengalami akulturasi. Menurut Sejarawan Kuliner, Fadly Rahman, tradisi menyajikan kue kering baru muncul saat masa kolonial Belanda.

Pada zaman dahulu masyarakat menengah ke bawah cenderung menghidangkan kue lebaran yang bertekstur lengket dan basah. Sedangkan masyarakat menengah ke atas beralih menghidangkan kue kering yang lebih tahan lama seperti nastar dan kastengel.

"Dulu masyarakat Indonesia menyajikan kudapan-kudapan daerah seperti yang kita kenal sekarang saat Lebaran. Seperti opak, seperti apem, rengginang yang sekarang itu sebetulnya masih ada. Namun mereka berada di belakang bayang-bayang kue-kue Eropa ya seperti kastengel nastar yang sering kita jumpai sekarang yang dianggap lebih modern, lebih trendy," ujar Fadly

Selain itu tradisi mudik zaman dahulu juga dilakukan secara natural untuk berkunjung ke sanak keluarga dan berziarah ke makam leluhur. Selanjutnya baca artikel saya yang berjudul Tradisi Mudik dalam Sejarah Perkembangan dan Kearifan Budaya Lokal Indonesia.

Keunikan kultur Hari Raya Idul Fitri dan Ramadhan dari tahun ke tahun terus berkembang. Semoga Hari Raya Idul Fitri tahun ini menjadikan pengalaman kita yang akan dikenang dan menjadi catatan sejarah oleh generasi pada masa yang akan datang.

Sumber :

Kompas

National Geographic

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun