Mohon tunggu...
Nauffal Hilal
Nauffal Hilal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

De gustibus non est disputandum. Menyukai hal-hal kreatif, senang berbicara tentang politik, musik, dan Manchester United.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kebebasan Berekspresi dalam Bayang UU ITE

21 April 2021   13:03 Diperbarui: 21 April 2021   13:14 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dewasa ini, penggunaan media sosial memang tidak dapat dipungkiri sudah menjadi suatu kebutuhan bagi manusia. Bagaimana tidak, segala interaksi dan informasi yang kita butuhkan memang sebagian besar berasal dari media sosial. Misalnya saja, untuk mendapatkan informasi ataupun sekadar berinteraksi dengan teman sejawat, kita melakukannya di media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan lain-lain. Karena kebutuhan akan informasi dan interaksi tersebut, seringkali kita tidak menyadari akan kebiasaan kita sehari-hari yang sangat tergantung dengan media sosial. Bangun tidur, buka media sosial. Makan siang, buka media sosial. Bahkan hingga sebelum tidur pun, kita hendak membuka media sosial terlebih dahulu untuk sekadar tau apa yang sedang terjadi di dunia saat ini. Jadi tak heran memang, jika media sosial sudah menjadi salah satu kebutuhan pokok untuk hidup di dunia modern saat ini.

Berbicara mengenai media sosial, salah satu hal yang menarik darinya adalah mengenai kebebasan yang disajikan di dalamnya. Media sosial memberikan kita semacam wadah untuk berekspresi dalam berbagai bentuk. Sebut saja Instagram, kita bisa berekspresi dengan membagikan foto dan video, yang kemudian dapat dilihat oleh pengguna lain. Kemudian di Facebook dan Twitter, kita dapat menuangkan apa yang ada di pikiran kita melalui kata-kata yang berbau opini. Sejatinya, sebagian besar dari kita, memang secara tidak langsung membutuhkan wadah semacam itu untuk dapat mengekspresikan apa yang ada di dalam pikiran kita. Sehingga dengan hadirnya media sosial ini, rasanya seperti angin segar untuk dapat dengan bebas berekspresi tanpa ada batasan yang berarti.

Namun, isu kebebasan berekspresi di media sosial nampaknya telah menjadi isu yang menarik di tengah mesyarakat saat ini. Bagaimana tidak, kebebasan berekspresi yang hadir di tengah masyarakat memiliki arti yang sangat luas. Tak semua memiliki pandangan yang sama mengenai bagaimana kebebasan berekspresi semestinya disampaikan. Dalam hal ini, banyak perdebatan mengenai sampai batas mana, kebebasan berekspresi tersebut masih dalam batas wajar. Karena, jika kita berbicara mengenai media sosial, dimana penggunanya berasal dari berbagai negara, suku, agama, dan budaya yang berbeda, tentu mengartikan bahwa media sosial ini memang sebuah media yang jangkauannya sangat luas dan tanpa batas. Sehingga tak jarang memang, yang kemudian menjadi batasan kita untuk menyampaikan opini ataupun berekspresi adalah pengguna media sosial lainnya.

Dalam konteks kebebasan berekspresi, kita dapat dengan bebas dan leluasa menyampaikan segala opini dan pendapat kita di media sosial. Tak terkecuali, kebebasan berekspresi untuk menyampaikan pendapat politik pribadi kita. Sebagai warga negara yang hidup di negara demokrasi, memang lah sebuah hal yang perlu disyukuri untuk dapat dengan leluasa menyampaikan pendapat dan kritik langsung kepada pemerintah. Terlebih lagi, dalam era modern sekarang ini. Setiap warga negara secara tidak langsung memiliki akses ‘gratis’ untuk menyampaikan aspirasinya. Yakni melalui media sosial.

Akan tetapi, akhir-akhir ini, media sosial dirasa bukan lah tempat yang aman untuk dijadikan sebagai wadah penyampaian aspirasi politik kita. Hal tersebut secara tidak langsung merupakan dampak dari hadirnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang biasa kita kenal UU ITE. Hadirnya UU ITE dianggap bisa menjadi pisau bermata dua dan menjerat siapapun yang terjebak di dalamnya. Batasan yang ada dalam UU ITE tersebut pun masih sangat rancu. Setiap warga negara dapat menggunakan UU tersebut untuk menjerat seseorang hanya karena tidak sepakat ataupun tersinggung dengan pendapat seseorang di sosial media.

Batasan yang masih tidak jelas tersebut yang menjadikan pasal - pasal di dalam UU ITE ini kerap disebut sebagai pasal karet. Dengan hadirnya UU ITE, tak jarang banyak pengguna media sosial yang melaporkan pengguna lainnya jika terjadi kesalahpahaman ataupun suatu perdebatan, khususnya perdebatan mengenai politik.

Perbedaan pendapat ataupun pemahaman politik merupakan buah manis dari sistem demokrasi. Dimana perbedaan tersebut lah yang dapat dijadikan bahan untuk membangun negara ke arah yang lebih baik. Namun, jika perdebatan yang terjadi justru hanya mengundang konflik tak penting, sungguh lah rugi rasanya. Apalagi, dengan hadirnya UU ITE, rasanya pengguna media sosial akhir-akhir ini lebih memilih bungkam dalam menyampaikan kritik langsungnya kepada pemerintah. Hal tersebut disebabkan oleh maraknya tindak pelaporan yang dilakukan oleh pengguna media sosial bila melihat ada pengguna lainnya yang berbeda pendapat dengan dirinya. Khususnya, jika pendapat tersebut dirasa menyindir ataupun menyerang pejabat politik, pengguna yang mengunggah pendapat tersebut dapat dengan mudah dilaporkan dan dijebloskan jeruji besi oleh pengguna lainnya. Hal itu lah yang kerap dinilai merupakan dampak negatif dari hadirnya UU ITE di Indonesia.

Terlebih lagi, maraknya buzzer politik yang sering melakukan ‘penyerangan’ kepada mereka yang bertentangan dengan buzzer tersebut pun. Hal itu membuat setiap orang akan memikir dua kali untuk menyampaikan pendapat politiknya. Maka dari itu, kebebasan berekspresi di media sosial memiliki batasan-batasan yang sebenarnya belum jelas. Hal itu pun dirasa menghambat kebebasan berekspresi yang tentunya, sama saja menghambat asas keadilan atas hak asasi manusia.

TEORI KEADILAN RAWLS

Sebelum membahas lebih jauh mengenai keadilan atas kebebasan berekspresi, kita perlu mengerti terlebih dahulu mengenai konsep keadilan itu sendiri. Khususnya dalam tulisan ini, saya mencoba menggunakan teori keadilan menurut John Rawls. Menurut Rawls, sebagaimana yang saya kutip dalam (Fatah, 2013: 35), terdapat dua prinsip keadilan Rawls yang merupakan solusi bagi problem utama keadilan. Salah satunya adalah prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya. Pinsip ini mencakup: kebebasan berpolitik; kebebasan berbicara; kebebasan berkeyakinan; kebebasan menjadi diri sendiri; dan hak untuk mempertahankan milik pribadi.

Dari prinsip tersebut, sebenarnya cukup menggambarkan apa yang terjadi di media sosial akhir-akhir ini. Dimana setiap orang dapat menggunakan kebebasannya untuk berpolitik, berekspresi dan menyampaikan pendapat di media sosial. Namun, memang, batasan dari kebebasan yang masih belum jelas itu yang kemudian menjadi rancu di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun