Mohon tunggu...
Naufal Pambudi
Naufal Pambudi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mr.

Koordinator Ikatan Masyarakat Muda Madani (IMAM)

Selanjutnya

Tutup

Politik

PKI dan Bau Kentut

12 Desember 2018   19:36 Diperbarui: 12 Desember 2018   19:38 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Tribun Jambi - Tribunnews.com

Salah satu aib dalam pergaulan yaitu kentut di tengah kerumunan. Bayangkan kita dandan keren, rapi, wangi, tetiba gas lambung mendesak keluar di depan orang banyak. Dalam posisi ini, kita sebisa mungkin menahan sambil menghindar atau cari kamar kecil. Kalau gak tahan, sebisa mungkin buang gas tanpa bunyi. Apesnya ketika gak bunyi, tapi baunya ke mana-mana, dan diprotes orang-orang.

Dalam posisi itu, ada tiga cara ngeles untuk menangkis caci-maki. Pertama, kita pura-pura tak mencium bau itu. Cara ini disebut playing innocent. Ketika orang protes, kita berlagak bego seolah tak ada apapun. Kedua, kita justru pertama kali protes sebelum dikomplain orang. Cara ini disebut playing victim, orang yang kentut pura-pura jadi korban kentut. Ketiga, kita langsung nuduh orang lain kentut. Cara ini bisa disebut strategi "nuduh kentut."

Sebelum menuduh orang lain kentut, pelaku perlu memetakan beberapa orang yang tepat dikambinghitamkan. Ketika tuduhan pertama gagal, tuduhan dilempar ke orang kedua, kalau masih gagal dialihkan ke orang ketiga, dan seterusnya. Ujungnya, pelaku justru tak ketahuan karena berhasil mengarahkan perhatian publik pada korban yang dikambinghitamkan.

Cara-cara itu terkesan receh, tapi lazim dipraktikkan politisi. Tulisan ini secara khusus membahas strategi ketiga, terkait maraknya isu mengerikan di tahun politik ini. Hampir semua isu itu dilontarkan kelompok oposisi, yaitu: isu pemerintah anti islam, antek asing dan pro PKI. Sebenarnya, publik yang melek politik paham bahwa tuduhan itu bualan kosong semata.

Tapi kenapa isu itu terus dihembuskan? Jawabnya persis seperti cara ketiga orang ngeles saat buang kentut. Sebelum dituduh kentut, tuduh dulu orang lain kentut. Cara ini ditempuh mengingat ketiga isu di atas justru mencerminkan kelemahan krusial Prabowo. Sebagai figur Capres, Prabowo memiliki kelemahan krusial terkait isu agama dan nasionalisme. Dua isu yang menjadi kerangka besar dari setiap perdebatan politik dalam negeri dapat kita jelaskan dalam tiga kasus.

Pertama, ayah Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo adalah tokoh penting pemberontakan PRRI/ Permesta. Memang peristiwa pemberontakan itu sudah tak diungkit-ungkit lagi, tapi beda cerita ketika peristiwa itu dihubungkan dengan seorang Capres. Ketika silsilah pemberontakan itu diungkit terhadap Prabowo, tentu akan menyulitkan. Maka sebelum diungkit, lempar dulu isu pemberontakan yang lebih dramatis dan memorable, yaitu PKI.

Kedua, setali tiga uang dengan PRRI/ Permesta. Sumitro adalah tokoh yang aktif melobi Amerika guna memasok senjata PRRI/ Permesta. Ketika pemberontakan padam, Sumitro lari ke luar negeri, mengasuh anak-anaknya dengan didikan barat. Ketika Orde Baru berkuasa, Sumitro kembali dan menjabat Menristek. Saat itulah, Sumitro membangun jejaring beasiswa dengan Amerika, membidani Mafia Berkeley, menggelar karpet merah bagi penguasaan aset-aset oleh asing.

Dan terakhir yang tak kalah sensitif, semua orang mulai paham bahwa keislaman Prabowo meragukan. Masa kecil Prabowo banyak bersinggungan agama kristen, menjalani pendidikan di sekolah kristen, dan juga dibesarkan oleh seorang ibu beragama kristen. Satu-satunya cara untuk menutup kelemahan ini, yaitu mengidentikkan lawannya sebagai sosok anti islam. Dengan begitu, publik akan teralihkan dari identitas Prabowo sendiri, yang notabene memiliki berbagai kelemahan sensitif dan krusial.

Tulisan ini sama sekali tak bermaksud mengungkit sentimen SARA dan keislaman. Sebaliknya, ini adalah reaksi atas sentimen SARA yang empat tahun ini santer digembar-gemborkan. Dan sayangnya, sentimen keislaman, anti asing, dan anti PKI yang sering diteriakkan dengan baper itu, tak lebih hanya mainan politik. Semua itu hanya pengalihan atas paranoia politik, demi strategi meraih kekuasaan.

***

Ditulis oleh: Naufal Pambudi
Praktisi Hidup; Penyayang Makhluk Hidup

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun