Mohon tunggu...
Aziz Naufal Hadi
Aziz Naufal Hadi Mohon Tunggu... Penulis - Untuk artikel yang saya tulis di sini, semuanya dapat diakses dalam blog saya sendiri yaitu naufalhd.blogspot.com.

Alumnus Kimia Universitas Indonesia | Alumnus SMA PU Al Bayan | Blog: naufalhd.blogspot.com | Do what you can do, before you can't do anything | aziznaufalhadi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar dari Sistem Pendidikan Negara Lain

6 Juli 2020   15:34 Diperbarui: 6 Juli 2020   15:50 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peringkat PISA 2018 (sumber: zenius.net)

Indonesia menduduki peringkat 72 dari 77 negara dalam sekmen pendidikan berdasarkan hasil penelitian terakhir tahun 2018 tentang Programme for International Student Assessment (PISA) oleh Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD). Dalam hasil publikasi yang dapat diakses pada situsnya, pelajar Indonesia memiliki literasi, matematika, dan sains berada di bawah rata-rata nilai yang distandarkan oleh OECD. Bongkar pasang kurikulum kerap kali dilakukan guna menaikkan tingkat pendidikannya. Namun, berhasilkah? 

Salah satu syarat sebuah negara memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dapat dimulai dari nilai literasinya. Peringkat literasi Indonesia yang diumumkan oleh Central Connecticut State University (CCSU) dalam World's Most Literate Nations pada tahun 2016, peringkat literasinya berada pada nomor 60 dari 61 negara. Survei ini didasarkan pada nilai pendidikan, ukuran perpustakaan, dan kemudahan dalam mengaksesnya. 

Lalu bagaimanakah cara untuk meninggalkan keterpurukan ini? Seperti yang kita ketahui bahwa anggaran pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia sudah naik dari 375,4 triliun pada tahun 2014 menjadi 505,8 triliun pada tahun 2020 ini. Peningkatan yang sangat jauh dari anggaran dana yang diberikan sebelumnya. 

Permasalahannya adalah, meningkatnya anggaran dana, tidak linier dengan kenaikan tingkat pendidikan. Tantangan Indonesia pun semakin berat dengan adanya pandemi Covid-19. 

Mari berkaca ke negara yang sempat menjadi juara bertahan dalam peringkat PISA, Finlandia. Finlandia menerapkan sistem evaluasi pembelajaran yang tidak wajib dilakukan oleh pelajar. Hanya terdapat 1 ujian yaitu Ujian Matrikulasi Nasional (UMN) yang diselenggarakan di tahun ke-12 sekolah. Alasan tidak adanya ujian di negara ini karena pendidik di sana beranggapan bahwa siswa hanya belajar dan berusaha untuk mendapatkan nilai terbaik saat ujian. 

Sehingga yang didapat hanya lolos dan tidak perlu terbebani dengan ujian. Selain itu guru-guru yang mengajar memiliki kualifikasi tinggi. Bayangkan saja seorang guru minimal harus memiliki gelar S-2 untuk mengajar. Selain itu lingkungan belajar yang ditawarkan bersifat kooperatif artinya siswa harus saling membantu bukan saling bersaing untuk menjatuhkan atau menyusul yang lainnya. 

PR dan tugas tidak dijadikan sebagai beban bagi para siswa karena sangat jarang diberikan. Terakhir budaya membaca sudah dilatih sejak pendidikan dasar agar mencintai kegiatan membaca. Tujuannya agar lebih mudah untuk para siswa menyerap ilmu dan informasi di sekolah atau di rumah. 

Sistem pendidikan yang ada di Finlandia sangat bertolak belakang dengan sistem pendidikan yang diterapkan di kawasan Asia. Seperti contohnya di wilayah Singapura, Korea Selatan, China, dan Jepang mereka menerapkan jam belajar yang lebih panjang. Dimulai dari waktu sekolahnya, tambahan PR dan tugas, lalu jam belajar tambahan kursus yang diikuti selepas pulang sekolah. Nyatanya sistem ini telah berhasil bertahan dan menyusul Finlandia yang selama ini bertahan di 3 besar sejak penelitian PISA tahun 2000 diumumkan. Lantas bagaimana sistem pendidikan yang ada di kawasan asia? 

Jika melirik ke daerah Jepang yang kita tahu memiliki sumber daya manusia (SDM) yang sangat baik dan berdisiplin tinggi, ternyata mereka memilki rahasia pendidikan moral pada anak usia dini. Sebuah artikel yang berjudul Kurikulum dan Kompetensi Guru di Jepang oleh Ahmad Sentosa, dijelaskan bahwa saat masih di bangku taman kanak-kanak (TK), siswa dikembangkan dan dilatih kebiasaan sehari-harinya. Fokus utama berada pada pendidikan bukan pengajaran. Saat masuk sekolah dasar (SD), terdapat mata pelajaran kebiasaan hidup di kelas 1 dan 2 untuk membiasakan pola hidup mandiri. Di sana pendidikan moral yang sudah mencakup pendidikan agama tidak diberikan dalam 1 kelas khusus, tetapi diajarkan oleh wali kelasnya masing-masing yang bersinggungan dengan pelajaran lainnya. 

Di tingkat SMP pendidikan bahasa Jepang, bahasa Inggris, matematika, IPA, dan IPS menjadi fokus utama. Seperti halnya di Indonesia juga menerapkan ekstrakurikuler di tingkat ini. Untuk tingkat SMA paling sering mengalami perombakan kurikulum, uniknya di tingkat ini penjurusan sudah dibagi menjadi lebih spesifik. Kalau dibandingkan dengan Indonesia yang baru saat masuk perguruan tinggi, tentunya pembagian ini lebih cepat daripada yang diterapkan di Indonesia. 

Kalau dilihat kembali, sebenarnya keduanya memiliki kemiripan yang sama yaitu kompetensi dari guru dan siswanya. Keduanya sama-sama memiliki kompetensi guru yang sangat baik. Sejauh ini yang saya ketahui di Jepang tidak ada kualifikasi khusus seperti di Finlandia yang menharuskan guru berpendidikan S-2. Tetapi perlu diingat cetakan hasil pendidikan di Jepang biasanya memiliki SDM yang berkualitas, mereka memiliki loyalitas sebagai pengajar yang tinggi. Selain itu pelajarnya juga dibiasakan untuk memiliki tabiat baik sejak dini. Gemar membaca seperti yang dilakukan oleh negara Finlandia dan Jepang menjadi tolok ukur bagaimana menerapkan sistem pendidikan yang baik untuk Indonesia ke depannya. Mungkin kalau melihat pendidikan di Indonesia yang pendidikan moral dan agama hanya "diuji" melalui tes, tentunya menerapkan sistem pendidikan di Jepang untuk anak usia dini lebih tepat. Karena nyatanya sampai sekarang masyarakat Indonesia kebanyakan memiliki kekurangan moral dalam bidang kehidupan sehari-hari. Contoh kecilnya adalah cara membuang sampah. Karena kita tidak bisa menilai kearifan seseorang melalui nilai yang terukur, tetapi dari bagaimana cara ia menjalani kehidupan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun