Di tengah kondisi global yang semakin tidak menentu, Indonesia kembali menghadapi tantangan besar dalam hubungan perdagangan internasional. Tahun 2025 menjadi salah satu babak krusial dalam sejarah hubungan dagang Indonesia dan Amerika Serikat. Kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump membawa efek domino yang signifikan ke dalam sistem ekonomi nasional. Meski kebijakan itu terjadi di negara lain, dampaknya sangat terasa di sini. Inilah realitas globalisasi: ketika satu negara besar bergerak, banyak negara lain bisa terdampak, terutama negara berkembang seperti Indonesia.
      Amerika Serikat memutuskan untuk menaikkan tarif impor secara besar-besaran. Tarif dasar sebesar 10 persen diberlakukan untuk semua negara, dan tarif tambahan hingga 32 persen dikenakan bagi negara-negara yang dianggap menjalankan praktik perdagangan tidak adil. Sayangnya, Indonesia termasuk dalam daftar negara yang dianggap tidak adil tersebut. Dalam kacamata kebijakan ekonomi Amerika, keputusan ini mungkin terlihat rasional demi melindungi kepentingan nasional mereka. Namun bagi Indonesia, kebijakan tersebut menjadi ancaman nyata terhadap keberlangsungan ekspor dan stabilitas ekonomi domestik.
      Banyak orang menganggap bahwa urusan tarif hanyalah persoalan teknis yang menyangkut neraca dagang. Tapi kenyataannya, ini bukan hanya soal angka dan grafik. Ini adalah soal pekerjaan, soal pendapatan, dan soal keberlangsungan usaha---baik skala besar maupun kecil. Ketika ekspor Indonesia ke Amerika menurun karena harga barang kita menjadi terlalu mahal akibat tarif, maka pelaku usaha harus menyesuaikan. Mereka bisa saja mengurangi produksi, memangkas jumlah pekerja, bahkan menutup usaha mereka jika tak lagi mampu bertahan. Jadi, apa yang tampak sebagai persoalan antarnegara sebenarnya sangat membumi dampaknya.
      Amerika selama ini merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2024 menunjukkan bahwa nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai lebih dari 23 miliar dolar Amerika. Angka ini tentu bukan kecil. Dan ketika pasar sebesar itu tiba-tiba dibatasi, maka Indonesia harus siap menanggung akibatnya. Produk-produk andalan seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan minyak kelapa sawit adalah yang paling terdampak. Banyak pengusaha tekstil di Jawa Barat dan Jawa Tengah mengaku kehilangan pesanan dari pembeli Amerika. Dalam waktu singkat, mereka harus mengambil keputusan sulit---mengurangi karyawan, menutup pabrik sementara, atau bahkan beralih ke produksi domestik yang tidak seberapa untungnya.
      Industri furnitur yang banyak tersebar di Jepara, Solo, dan sekitarnya juga mengalami nasib serupa. Produk furnitur Indonesia yang selama ini dikenal karena kualitas dan keunikannya mulai tergeser oleh produk dari negara lain yang tidak terkena tarif tinggi, seperti Vietnam atau Malaysia. Bahkan, kelapa sawit yang selama ini menjadi penyumbang devisa besar pun ikut terdampak. Amerika mulai mengurangi impor sawit dari Indonesia dan memilih pemasok lain. Harga sawit pun jatuh, dan petani kecil terkena dampaknya secara langsung.
      Tidak hanya sektor ekspor yang terguncang, nilai tukar rupiah juga mengalami tekanan hebat. Ketika pendapatan dari ekspor menurun, pasokan dolar pun berkurang. Akibatnya, permintaan terhadap dolar naik, dan rupiah melemah. Dalam beberapa bulan, nilai tukar rupiah sempat menyentuh angka Rp17.217 per dolar Amerika---angka yang mengingatkan kita pada krisis ekonomi tahun 1998. Melemahnya rupiah berdampak pada banyak hal. Harga barang-barang impor naik, termasuk bahan baku industri dan barang konsumsi seperti elektronik dan kendaraan. Dunia usaha kembali harus menyesuaikan diri dengan kenaikan biaya produksi yang tidak sebanding dengan pemasukan.
      Dalam situasi seperti ini, pertanyaan mendasar yang muncul adalah: mengapa Indonesia bisa sedemikian rapuh hanya karena satu kebijakan dari negara lain? Jawabannya cukup jelas: karena selama ini kita terlalu bergantung pada pasar tertentu, dan belum punya sistem ekonomi yang cukup tangguh untuk menghadapi tekanan dari luar. Ekspor Indonesia selama ini masih sangat terpusat pada beberapa negara besar seperti Amerika, Tiongkok, dan Jepang. Ketika salah satu dari mereka melakukan kebijakan yang merugikan, kita tidak punya banyak pilihan selain menunggu dan berharap situasi membaik.
      Ketergantungan seperti ini sangat berisiko. Dalam dunia ekonomi, diversifikasi adalah kunci stabilitas. Seperti halnya dalam investasi, jika kita menaruh semua modal pada satu instrumen, kita akan kehilangan semuanya ketika instrumen itu jatuh. Demikian pula dalam perdagangan. Kita harus mulai melihat peluang di luar pasar tradisional. Negara-negara di Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah memiliki potensi besar sebagai pasar ekspor yang selama ini kurang tergarap. Namun tentu saja, untuk bisa menembus pasar-pasar ini, kita tidak bisa mengandalkan pendekatan konvensional. Kita perlu strategi yang matang, dukungan diplomasi ekonomi yang kuat, dan kesiapan dari pelaku usaha untuk menyesuaikan produknya dengan selera dan kebutuhan pasar baru.
      Selain memperluas pasar, Indonesia juga harus mulai memperbaiki struktur ekspornya. Selama ini, kita masih terlalu bergantung pada ekspor bahan mentah dan produk setengah jadi. Nilai tambahnya rendah, dan harganya sangat bergantung pada pasar dunia. Hilirisasi atau pengolahan bahan mentah menjadi produk jadi harus menjadi prioritas nasional. Misalnya, daripada mengekspor nikel dalam bentuk mentah, kita bisa membangun industri baterai dan kendaraan listrik yang nilai jualnya jauh lebih tinggi. Pemerintah sudah mulai mendorong langkah ini, tapi butuh konsistensi kebijakan dan dukungan nyata bagi pelaku industri agar tidak berhenti di tengah jalan.
      Selain itu, kita juga perlu membangun ekosistem industri yang berbasis pada riset dan inovasi. Negara-negara pesaing kita seperti Vietnam, Thailand, dan bahkan Filipina sudah mulai masuk ke industri teknologi dengan mengembangkan produk bernilai tinggi. Kita tidak bisa terus berada di sektor yang sama dan berharap bisa bersaing. Perlu ada sinergi antara universitas, lembaga riset, dan pelaku industri untuk menghasilkan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan pasar global.
      Di tengah semua itu, kita juga tidak boleh melupakan potensi besar pasar domestik. Dengan lebih dari 270 juta penduduk, Indonesia adalah pasar yang sangat besar. Tapi masalahnya, daya beli masyarakat masih belum merata. Distribusi barang dan logistik juga belum efisien. Banyak pelaku UMKM kesulitan memasarkan produknya karena keterbatasan akses dan infrastruktur. Pemerintah perlu hadir lebih konkret dalam menyelesaikan persoalan ini. Digitalisasi perdagangan, pembangunan logistik nasional, dan pemberdayaan UMKM harus menjadi program prioritas agar pasar dalam negeri bisa menjadi penyangga saat ekspor terguncang.