Mohon tunggu...
Nathania Yunita Dharma
Nathania Yunita Dharma Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Program Studi Kajian Gender, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia

Personal problems are political problems (Hanisch, 1969).

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mediasi Tanpa Konsen: Keberpihakan Semu pada Korban Pelecehan Seksual

25 Mei 2025   15:40 Diperbarui: 25 Mei 2025   15:30 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lady of Justice (Sumber: unsplash.com/Jonathan Cooper)

Berbagai ketakutan yang saya sampaikan pada saat akan dilakukan mediasi rasanya hanya menjadi pelengkap di dalam proses mediasi. Rasa trauma dan ketakutan karena akan diperhadapkan dengan pelaku di satu ruangan yang sama membuat saya mual, bahkan sampai dengan saat ini ketika saya harus mengingat kembali proses mediasi pada hari itu. Semua rasa takut dan khawatir yang saya rasakan tidak benar-benar ditanggapi oleh aparatur RW yang menjadi mediator. Banyak penyesalan yang saya rasakan sampai dengan saat ini akibat "ketidaksiapan" saya dalam proses mediasi tersebut, misalnya soal keadilan yang ternyata tidak bisa saya dapatkan --dan mungkin tidak akan pernah bisa saya dapatkan-- karena reaksi penolakan yang ditunjukkan oleh tubuh dan pikiran saya untuk berada di ruangan tersebut sehingga tidak dapat berpikir secara rasional untuk menuntut berbagai tuntutan yang saya inginkan. Pada akhirnya, kasus tersebut berakhir damai dan pelaku masih bisa menikmati hidup dengan sebebasnya.

Mediasi Penal dalam Kekerasan Seksual: Upaya Perlindungan atau Penghancuran Berulang Korban? 

Penggunaan mediasi sebagai salah satu langkah alternatif dalam penyelesaian kasus, secara kasus dalam tindak pidana kekerasan seksual dengan menekankan keadilan restoratif bagi korbannya perlu dipertanyakan keberadaannya. Istilah keadilan restoratif pada dasarnya mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula melalui proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait (Wahyuni, 2022a). Pertanyaan yang kemudian mendasari argumen di dalam bagian ini adalah apakah pemulihan bagi korban kekerasan seksual melalui mediasi dapat benar-benar terwujud apabila dilihat menggunakan perspektif korban?

Proses mediasi sebagai alternatif penyelesaian kasus pelecehan seksual menuai kritik dari banyak pihak. Pendekatan mediasi sangat rentan dalam meningkatkan trauma korban sebab di dalam proses mediasi pada umumnya korban akan dihadapkan secara langsung pelaku  (Wahyuni, 2022c). Proses mediasi sangat rentan dalam membebankan dampak negatif terhadap psikis korbannya, seperti trauma berkelanjutan, ancaman manipulasi pelaku, perasaan beban tambahan yang dirasakan oleh korban (Wahyuni, 2022c). Dalam hal ini, proses mediasi tidak benar-benar bisa menyelesaikan dan memberikan keadilan bagi korbannya melainkan memberikan tambahan beban psikologis bagi korbannya.

Berefleksi dari pengalaman yang saya rasakan ketika dipaksa untuk melakukan mediasi tanpa konsen, proses dialog serta upaya pencarian alternatif solusi untuk "pemulihan" saya sebagai korban tidak benar-benar bisa saya dapatkan. Pandangan saya terhadap mediasi di dalam penyelesaian tindak pidana pelecehan seksual justru berbanding terbalik dengan apa yang menjadi cita-cita utopis dari proses mediasi penal, yakni mediasi menjadi jalan pintas bagi pelaku agar tidak perlu menjalani proses hukum melalui serangkaian proses pendamaian yang bersifat kekeluargaan. Proses mediasi yang saya lakukan pada saat itu justru lebih banyak menunjukkan keberpihakan kepada pelaku-- yang menurut pembelaan keluarganya merupakan orang dengan gangguan jiwa-- dibandingkan saya sebagai korban. Proses mediasi dilakukan dengan dalih bahwa pelaku tidak dapat dipidana.

Sehingga sampai pada saat tulisan ini selesai dibuat, saya masih mempertanyakan apa keuntungan yang benar-benar bisa dirasakan korban dari proses penyelesaian tindak pidana melalui mediasi. Mediasi yang secara khusus dalam kasus saya dilakukan tanpa adanya konsen malah membuat saya merasa semakin marah dan terbebani secara emosional sebab proses mediasi tersebut seolah-olah menegaskan bahwa kasus pelecehan seksual adalah sebuah jalan buntu yang tidak bisa memberikan akses lain terhadap keadilan yang saya inginkan. Permintaan maaf dari pelaku tidak cukup untuk mengobati rasa trauma dan beban psikis yang saya tanggung pasca kejadian dan berbagai kejadian lain setelahnya.

Rasa Aman dan Ancaman Viktimisasi Berlapis: Harga Mahal yang Harus Dibayar Korban Kekerasan Seksual

Proses mediasi yang berlangsung alot dan bertele-tele pada nyatanya tidak berdampak pada pemulihan saya sebagai korban. Mediasi tersebut justru menghasilkan permasalahan baru: trauma psikis tambahan dan viktimisasi berlapis akibat mediasi yang dilakukan secara terbuka (orang yang tidak berkepentingan bisa berlalu lalang masuk ke dalam ruang mediasi serta tidak adanya perlindungan terhadap identitas korban). Kurangnya pemahaman akan perspektif yang berpihak kepada korban dan menyamaratakan mediasi sebagai salah satu solusi penyelesaian tindak pidana "ringan" berdampak sangat besar bagi korbannya.

Proses mediasi tanpa konsen yang saya lakukan tanpa adanya perlindungan terhadap identitas saya sebagai korban menimbulkan permasalahan baru, yakni stigmatisasi saya sebagai korban pelecehan seksual. Proses mediasi yang dilakukan secara "terbuka" tanpa adanya upaya untuk menjaga kerahasiaan identitas korban serta kronologis kejadian membuat semua orang di lingkungan tersebut mengetahui bahwa saya adalah korban yang dimaksud. Akibat berkepanjangan yang saya

Sebagai tambahan informasi, sampai dengan saat ini saya masih harus melakukan konseling lanjutan bersama dengan psikolog klinis akibat trauma berlapis yang saya rasakan pasca kejadian yang berlangsung secara beruntun dalam waktu yang berdekatan: pelecehan seksual, mediasi, serta stigmatisasi lingkungan sekitar akibat tidak adanya perlindungan identitas korban pada saat mediasi. Seluruh biaya konseling ditanggung sepenuhnya oleh saya sebagai korban sebab mediasi yang dilakukan hanya menghasilkan kesepakatan agar pelaku tidak melakukan pelecehan lagi. Harga mahal yang harus dibayarkan oleh korban kekerasan seksual tidak hanya berupa kerugian secara materiil namun juga kerugian secara psikis yang harus ditanggung oleh korbannya dalam waktu lama, entah sampai kapan.

Berefleksi dari apa yang saya alami, saya merasa bahwa mediasi bukanlah alternatif solusi yang tepat untuk diterapkan pada kasus tindak pidana kekerasan seksual. Mediasi di dalam kasus kekerasan seksual, terutama pada mediasi yang dilakukan tanpa konsen korban hanya akan menambah lapisan trauma bagi korbannya. Penanganan kasus-kasus kekerasan seksual membutuhkan penanganan khusus dengan prosedur yang berpihak kepada korbannya.  Kekerasan seksual adalah tindak pidana yang penyelesaiannya harus dilakukan melalui jalur hukum, bukan melalui mediasi untuk memperoleh mufakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun