Mohon tunggu...
Awliya
Awliya Mohon Tunggu... Freelancer - mahasiswa

entitas fana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seternak Tabu

31 Agustus 2019   02:10 Diperbarui: 12 September 2019   07:32 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Chapter pertama 'Dua Teman Pemikir

 Sebuah kisah awal perkuliahan di kampus kecil bersebalah danau di pusat kota tangerang raya. Kami yang saat itu bertemu tak sengaja karena mata kuliah yang membebankan mahasiswanya akan tugas yang tidak kami pahami secara strukturalnya, bukan karena sang dosen yang tidak memberi penjelasan atau kami yang terlewat bodohnya, hanya saja saat itu terjadi cultural shock imbas dari latar belakang kami yang hanya seorang pelajar awam dari sekolah negeri konvensional tanpa ada pendalaman lebih mengenai komputer didalamnya.

Ya komputer , mata kuliah Pengantar Teknologi Informasi yang merepotkan itu justru mengantarkan kami terhadap pertemuan yang disuguhkan alam dalam pengenalan awal persahabatan. Dalam pertemuanya semua berjalan seperti pertemanan pada umumnya, nongkrong, rokok, kopi, game, atau sekedar canda gurau selalu menjadi bumbu setiap saat perkumpulan dipertemukan dan disuguhkan dalam hidangan pertemanan . Teman dalam giat tongkrong pun silih berganti namun kami berdua yang selalu konsis dalam giat yang monoton tersebut.

Mengapa demikian? Bukan kami yang tidak mau bergaul atau mencari gaul baru hanya saja kami yang selalu membawa topik tertentu dalam giat tongkrong merasa tidak ngeklop dalam kumpul kawan tongkrongan lainya. Topik ?? ya dalam awal perkuliahan ada masanya kami puber dalam hal intelektual. Ditambah moderenisasi yang membuat laju informasi sungguh cepat terjadi , maka dari itu kami suka mendiskusikan hal yang sedang terjadi dalam negri maupun luar baik politik, perkembangan digital, ekonomi, sosial warga, bahkan hal remeh seperti selebritas tanah air.

Karenanya kami dalam praktiknya sebelum pulang selesai matakuliah, kami bersinggah kedalam dimensi ruang yang kami sebut kantin bawah guna memanjakan nalar  setelah dijejali ilmu yang yang terpaksa di anut tuntutan kurikulum sks penunjang untuk dapat terluluskan. Namun setelah lalang melintang dalam gubahan topik pendiskusian kami merasa apa yang kami lakukan hanya akan stagnan pada momentum yang tak ditentukan karena rata-rata dalam setiap diskusinya kami hanya mempraktikannya dua arah dua orang dan jarang ada lebihnya.

Bukan tidak mau atau tidak tahan , memang sedikit membosankan. Namun yang kami lebih titik beratkan saat itu arah pemikiran atau pola dalam pikir yang bersemayam dalam benak tak akan ada ubahnya bila hanya kami berdua yang bertukar dan saling berdifrensial akan suatu topik bahasan. Tak ada sanggahan poin c atau alternatif lainya dalam subjek selama objek yang terjalin hanya a dan b. Maka dengan sengaja kami berpikir bagaimana bisa keluar dari jerat stagnan momentum saat itu. Hanya saja saat itu kami masih terlalu dini untuk berfikir konsekuensi serta andil pilihan kami.

Pada saat yang bersamaan organisasi mahasiswa dalam kampus sedang giat-giatnya mencari kader mereka dalam melanjutkan laju roda kepemerintahannya. Kami yang masih bulat tak runcing bahkan abstrak dalam berpikir kemudian mengambil oportunitas tersebut. Walau kami sempat bimbang dan maju tak kian dalam mengambil keputusan, akhirnya pada masa penutupan gelombang pendaftaran kami memberanikan diri masuk dalam roda atau bahkan yang mereka sebut sebagai rumah.

Tentunya melalui tes dalam hal ini mereka sebut pengkaderan yang pada dasarnya instrumen tersebut tak lain hanya sebuah jermbatan untuk mereka dalam menyatukan frame ideologi atau pemahaman yang mereka anut dan emban dalam geraknya roda perjalanan serta praktiknya peng-organisasian.  Setelah diaminkan kami pun terpahat dan tergurah. Yang pada awalnya kami hanya mencari humaniora baru dalam melanjutkan praktik kebiasaan yang mana kami berdua  rajut sedari awal perkuliahan berjalan.

Amin mereka pun sepakat dengan amin yang kami aminkan. Yang dari kebiasaan awal kami pulang di waktu paruh malam, kini kami berlarut lalui malam dan penghujung pagi berkumandang dalam membawa topik gubahan yang cukup berbobot tiap sautnya dan kian abstrak dalam lampauan waktu yang kian berlalu. Itu membuat kami makin terhanyut dalam meledaknya pubertas keintelektualan yang membuat otak kami seakan bermekaran dan tak tertahankan. Segala nya kami babat kami hajar kami sikat seakan hewan buas yang amat tamak.

Tak seindah dalam gubahan, problematika satu persatu mulai berdatangan dimulai dari bias yang dilakukan entah disengajanya atau tidak tapi itu cukup membekas dan kami menjadi tumbal yang tak beralas , korban yang dibutakan, serta anak yang di bingungkan. Namun kami hanya sebatas berbalas dari setiap pendiskusian yang kami bahas . tanpa ada giat praktis yang jelas dari problematika , kami hanya menganggapnya ringan dan tak terlalu berkutat terhadapnya. Seperti yang saya bahas sebelumnya kami dibutakan intelektual yang sedang hingar-bingarnya.

Chapter kedua 'Tendensi Rakyat

Seperti biasa selain pendiskusian semata organisasi diisi dengan acara giat baik dalam bidang sosial, pendidikan, atau bahkan hedonisme sebagai hiburan. Dalam praktinya tentu SDM dibutuhkan guna masuk dalam batang tubuh untuk berdirinya kokoh sebuah acara dapat ditindak. Kami pun bertukar posisi dan kadang hanya menetap pada ruang batang tertentu di batang kepanitiaan yang disediakan. Baik profit dan nonprofit keduanya sama-sama melelahkan namun cukup memuaskan dalam menambah waawasan serta pengalaman setiap hal yang telah dicanangkan.

Dan kini segalanya dimulai. Setelah acara silih berganti peremajaan anggota pun dibutuhkan guna segarnya organ. Mereka memulai dengan gerakan indah saya dan kawan pemikir saya pun sampai tak habis pikir apa yang terjadi gerangan. Dan kami hanya termangguk bagai kambing yang di giring oleh pengembala suci. Kami memang baru mengalami apa itu yang disebut sebuah organisasi. Instrumen itu terasa sangat asing bagi kami yang belum pernah menganutnya selama jenjang pendidikan yang telah kami ampuh sedari dini.

Peremajaan pun berhasil berlalu. Dan kami dengan jabatan baru terpisah namun satu roda kepemerintahan yang telah terbentuk dari politik yang kami masih buta saat itu. Yang menjadi anekdot ialah teman sepemikir saya tiada halnya menjadi seorang wakil ketua tanpa pikir panjang dan tanpa sepengetahuan organ sebelumnya, dia berada pada selongsong peluru cadangan puncak kepemerintahan yang berjalan. Sungguh dunia berjalan dengan berjuta kejutan dengan sedikit sentuhan alam yang terus berkelanjutan.

Awalan, kami entah mengapa bergairah. Seperti halnya anak kecil yang diberi mainan baru, mereka akan selalu bersemangat memainkan bendanya tersebut. Kurang lebihnya seperti itu yang kami rasakan. Kami memasuki dunia baru segala sesuatunya terasa tak nyata namun kami menikmatinya. Walau sesungguhnya kami taada komitmen kuat untuk masuk dalam bagian inti kepemerintahan yang ada dan yang giat berlangsung. Namun taada salahnya pula kami terllibat dari bagian keberadaan tersebut.

 Itu pun dengan sebuah konsekuensi , diawal kami memasuki sudah tercium bau perpecahan yang mulai terjadi. Dari sexism dan genderismenya kami membuat keputusan tergesa karena kami pikir itu akan membuat perpecahan menjadi nyata. Namun bagai bumerang handal , hal tersebutlah yang berbalik arah menerjang keras kami menjadi konflik keributan awal. Kebiasaan kami dalam pendiskusian tetap berlanjut namun kali ini selalu dengan substansi yang sama yaitu apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi  tidak lain dan tidak bukan sudah pasti didalam kepemerintahan.

Hal itu yang selalu kami lakukan dalam menjalankan roda kepemerintahan, memang itu yang dilakukan namun tak jarang pula follow up dan apa pula realisasinya. Hal yang seharusnya tersaji saat menyantap hidangan pendiskusian yaitu mengekskresikan aksi nyata tanpa hanya sekedar bualan. Namun nyatanya entah mengapa itu jarang kami lakukan. Kami hanya menyukai gubahannya tanpa memikirkan esensinya. Itu saja kami sudah memeras apa yang ada dalam benak hingga kadang terasa kering nalar kami dibuatnya dan sesak nafas kami tersenggah.

Kedua, bukan tak mungkin ini diperburuk dengan bias konflik yang ada apabila kalian pembaca pun lupa cukup kembali pada paragraf yang kini saya pun lupa,tidak saya ingat paragraf tersebut berada terakhir sebelum chapter kedua saya mulai. Bias yang kami hiraukan kala itu, berimbas kuatnya saat ini. Kami dilepas liarkan kami terombang ambing entah kemana nahkoda kami harus berlayar melintasi lautan yang luas disemenanjung cakrawala terlintas. Cukup membuat kami bertambah risau namun terlepas dari hal tersebut masalah menjadi teman kami saat ini, ia tiada halnya silih berganti.-

 Bertamu di rumah kami seakan indahnya rumah kami dimata mereka. Padahal pada saat dimasa, rumah kami tiada indahnya. Pondasinya yang kian goyah, tanahnya yang terus gemetar, atapnya pun suka ada dan tiada. Walau perwujudannya jelas namun apa yang meyakinkan itu disebut rumah pun tidak meyakinkan banyak orang ketika melihatnya. Memang terlihat miris namun oleh sebabnya masalah mudah datang, ternyata bukan karena indahnya rumah kami dipandang, namun karena betapa ringkihnya tempat perlindungan kami bersemayam.

Kami tak berpikir panjang untuk masalah itu melainkan dikemudian. Karena kami masih disibukan dengan apa dan apa yang akan digiatkan. Proker kami menumpuk dan menjulang, ia bersempit dan beriringan saut menyautnya memanggil kami dari kejauhan. Padahal rasa-rasanya kami baru saja menginjak rumah atau roda atau kapal dan banyak perumpamaanya ini. Hal itu yang membuat kami rehat sejenak. Ya rehat dari kehidupan kami dan kebiasaan kami dalam kampus. Kami terus dihantamkan Tendensi rakyat yang diampuhkan tersebut.

Banyak hal yang terjadi saat dimasa. Mulai dari kegiatan kami yang sekedar uforia, berbagi ilmu dengan kalangan anak, dan masa dimana kami menjadi bagian penyelenggara acara sakral mereka yaitu pengkaderan. Dan kali ini alam kembali membuat kejutannya. Teman sepemikir saya menjadi tombak dalam peluruhan ideologi yang ada. Tiada halnya ia sorang veteran pun tidak dalam pengkaderan namun sudah menjajal tembakan demi tembakan yang iakukan. Meleset tak berlalu ia lakukan satu persatu dan itu menjadi awal dari titik jenuh ditemu.

Tak berbeda dengan halnya ia, saya menjadi bagian tombak penanggung jawab segala lini batang tubuh acara. Menjadi akar sekaligus batang tubuh beserta pucuknya memang cukup berat apabila taada kerja sama yang giat dalam pelaksanaan dan praktiknya. Hal itu yang saya kurang menahu mengenai bagaimana dan apa yang  semestinya saya harus kerjakan dan implementasikan. Saya masih bulat runcing pun belum apalagi abstrak, hal seremeh tugas dasar pun saya masih suka keliru dalam meng-interpretasikannya.

Namun hal itulah yang mulai meruncingkan nalar kami, kami terpahat dengan batu dari kejadian alam sekitar. Kami yang tadinya bulat mulai terpipih walau sedikit bopel sana sini karena tubrukan batu alam tadi. Kami kian memahami dari berbagai sisi dan mulai berani dalam keputusan dan andil yang kami putuskan dari berbagai pendiskusian yang perlahan mulai kembali. Dan ternyata runcing saja tidak cukup dalam menghadapi realitas ini.

Chapter ketiga 'Empat Teman Pemikir

Dari berbagai realitas dan problematik yang terbentuk, tentu menyisakan sebuah tanya bagaimana menghadapi serta solusi guna menyikapi. Dan hal itu membuat kami kian giat bercenkrama dengan kopi. Sebuah cairan yang tinggi cafein guna impulsifkan energi untuk pengganti karena derasnya nalar kami terkuras serta dinginnya malam menghempas. Ya pergubahan kami dalam mengoprek problematika selalu terjadi di paruh malam hingga larut paginya. karena entah mengapa nalar kami hanya tersentak pada malam dan tidak ada aksinya di siang terang.

Oleh karenanya pergubahan demi pergubahan silih berganti kami yang disenjatai dua orang tanpa disengaja bertambah personil menjadi empat. Itu pun dengan proses walau terbentuk dengan sendirinya dan tanpa adanya kesengajaan. Dengan berbagai latar belakang dan jabatan kami saling mengisi, bertukar, dan menyilang antar nalar kami untuk mendapatkan konklusi baru dari setiap problematik yang disugguh. Lagi dan lagi terkadang hanya sampainya nalar terhadap lisan namun tak kunjung perbuatan membuat kami kadang kelimpungan.

Proses yang disebut sebelum ialah dari berbagai kawan dan kalangan dalam serumpun rumah yang kami ajak bersilang dalam gubahan. Tak sedikit dari kalangan yang sesampainya nalar mereka bercengkarama dengan nalar kami, mereka termanggug dan sulit diajak berkompromi. Ada sebagian yang paham dan mengerti namun sulit dalam lintas waktu yang menjadi batas kami. Ada yang mengerti namun tersentak dalam momen tertentu seperti gerak mesin pacu kendaraan terhadap mekanisme turbo ia kosong di sentakan awal namun tersentak di tengah membuat pengemudi dibuat kagetnya dengan dorongan.

Maka dari situ lah kami bertemu diantara batas batas waktu dan keserasian cara berfikir yang sebetulnya semu. Kami memang sering pula berdifrensial dalam sanggahan namun semua itu dapat diselaraskan dalam gubahan dan kopi suguhan sebagai teman dalam pendiskusian. Topik silih berganti kami bak pabrik pengagas narasi yang sengaja dibuat guna menyiasati dari apa langkah yang kelak didatangi. Kemudain kami pun silih berganti bertukar posisi dalam narasi-narasi yang digagas dalam tajuk pendiskusian yang sebelumnya terjadi .

Berjalannya kami dalam gubahan tak selamanya sesuai ekpetasi realita lapangan. Dari narasi-narasi yang ada bahkan hanya segelintirnya yang matang. Kami pun bahkan terkena narasi didalam narasi tersebut, indahnya alam dalam kejadiannya membuat probabilitas kejadian sungguh acak dan kian tak tertebak dalam praktik dan gerak. Kita sebagai insan hanya dapat menerka dan bersiasat akan apa yang kelak dibuat dan digiat. Tanpa mengurangi nikmat Tuhan semesta alam dan tanpa menghardik jalannya yang sudah ditentukan.

Kami yang awalnya empat kian tiga atau dua maupun satu. Semua tak tentu dan tak menjadi jelas dari batas waktu yang telah awal di aminkan namun tak berkumandang itu. Kami memiliki banyak gagasan banyak gubahan banyak guratan dari ilmu yang ingin kami terapkan. Tapi apa daya realitasnya dan berbeda pula narasinya. Kami mulai dicengkram dengan apa yang disebut nikmat dunia dari belahan yang berbeda. Beda pula concernnya beda pula prioritas yang dibangun dalam benak masing masingnya.

Itu semua ternyata fana dan lain dan tak bukan ternyata kami pun terkena imbas dari berbagai konflik alam sekitar yang terjalin bersamanya. satu diantara dua mulai berkecimpung melebarkan relasinya dalam-dalam guna kepentingannya yang tak tahu pula saya arahnya dan tujuan karena sebagian hanya ia yang mengerti mengenai apa yang akan dilakukan. Dua diantara satu dan tiga mulai merambak dunia wirausaha yang ia jalin bersama koleganya dalam naungan partai yang tidak saya tau asal muasalnya.

Tiga diantara dua dan empat terkena imbas konflik yang cukup nyata antara entitas dirinya terhadap alam sekitarnya ia mencari kebenaran akan mengapa dirinya dan apa sebenarnya yang ada didalam dan mengapa ia pun bisa terlibat didalam. Empat diantara empat terlibat pula dalam konflik yang dianggap bualan namun realitasnya tertajam keras dari apa yang ia pikirkan. Bahkan diantara konflik nan konflik pun taada imbas nya apabila perkotakan dan pembentukan politik elit tak mengakar dan membudaya dalam lingkup pergaulan yang membuat rasa terasa gerah didalamnya.

Chapter tiga satu/dua  'Pengembala Suci

Entitas nyata berada diantara kami, mereka perkumpulan yang melalangbuana dalam organisasi yang bermacam wujudnya. Mereka datang dari berbagai latar belakangnya serta berbagai pula kontribusinya dalam terbentuknya rumah yang saya singgahi bersama. Mereka ini empunya mereka yang banyak pula terlibat pada kejadian sebelumnya. Mereka diantaranya dalam diantara , membuat sebuah rumpun yang mengakar dan tiada tara bagi banyak cerita yang tersuara. Saya dan teman sempat bercengkrama dan bersahaja sangat terhadap mereka-mereka.

Mengapa dalam chapter dikatakan satu perdua?. Ini tiada bukan pelengkap dalam narasi yang telah saya lalui bersama teman dan apa yang berimbas  terhadap saya dan teman. Tak positive atau pun negative karena itu hanya prespektif. Namun yang pasti mereka ini lah yang membuat kami semakin pipih dalam berpola terhadap pikir yang terjadi dalam benak. Serta tersajinya buah prespektif baru dalam setiap kejadian yang mereka turut terlibat. Mereka tiada bukan membuat kami berfikir dan terfikir selalu dibuatnya, entah.

Bagai koloni kami selalu didampingi kemana dan apa yang kami giatkan terjadi. Mereka selalu memiliki gagasan yang kadang kami tiada pikirnya bagaimana dan mengapa mereka dapat terlintas buah nalar sedemikian. Merekalah awal dari amin kami yang diaminkan, mereka sejahwat kami dalam melanjutkan kebiasaan, serta menggiatkan kebiasaan kami dalam pendiskusian. Itu lah yang membuat kami buta diawal, entah bagaimana. Bukan berfikir yang tiada bukan namun banyak hal yang kemudian tersadarkan.

Imbas dan andilnya cukup membuat kami merasa kian tak bebas dalam bergerak. Terbayang kian menggelap dan terjerat membuat nafas kian tersendat dan tak ada habisnya pula mereka turut terlibat dari apa yang dibuat. Mereka mengimbuhinya sebagai pola dan kami pun mengaminkan segala nestapa. Giat mereka dalam berpola pun kian tiada habisnya bagai bank dalam berpola , mereka selalu merubah cara dalam melakukan wujud eksistensinya, dan kami kembali pula dengan sengaja mengaminkannya.

Bukan tiada hal kami mengaminkan segala pola. karena kami memang mengimani apa yang disebut intelektual serta berbau logika dialetika. Tiada bukan mereka sangat mengimajinerkan nalar kami dari wujud pola yang mereka siratkan. Seperti pada chapter sebelumnya yang saya sebutkan, kami menjadi buta karena saking terledaknya kepala dan nalar dibuat mereka. Itu tiada halnya yang membuat kami menjadi berbalik arah kini, karena kian kami berpikir dan meresaapi, kian pula kami menanggapinya skeptikal dan kian tak masuk diakal namun terjadi.

Itulah mereka sang pengembala suci. Mereka berbuat atas dasar menggerakan apa yang seharusnya memang. Bukan kami menjilat apa yang kami imankan. Namun rasa-rasanya kami dibuat tak mudah dengan segala macam dan tingkah. Dan sejujurnya memang itu yang dibutuhkan dalam menjaga eksitensinya sebuah pergerakan. Ada roda ada pula gear nya namun dalam reaksinya pasti pula menimbulkan traksi , gesekan, serta fraksinya. Kami berada pada ekskresi fraksi yang terjadi mau tidak mau suka tidak suka itulah kami.

Chapter empat konklusi kolusi dan neopolitikan

Setelah apa yang terjadi kami kembali jadi dua dari empat yang tiada tara. Namun teman pemikir saya hampir menjadi gila atau bisa dibilang memang dia sudah gandrung gila. Dia dihempas konflik saking kuatnya terpental mengasingkan diri bak manusia goa. Ia tiada bukannya sampai tak mau menghadiri perkuliahan dan membiarkannya hina dalam kekosongan dan nestapa. Sks nya satu ampuh dalam semester berantakan bagaikan kapal karam , ia menghadapinya santai namun terus dipikirkan. Bagai mahluk yang hidup sekarat mati pun sungkan.

Kami mulai menjalani kehidupan normal kami, segalanya kini dibuang tendensi. Apalah itu problematik kami tak risau lagi. Karena kami sedikit sudah punya regenerasi yang kami limpahkan saja pada mereka dan tak peduli. Justru terbelak mata kami karena problematik yang kami miliki dalam diri malah tak terurusnya sebab problematik yang dahulu kami gandrung gubahi. Ini tiada bukan dari kaburnya pandangan kami yang terdahulu sempat kami imani. Namun kini kami menjadi apa yang mereka kebanyakan sebut sebagai pragmatis.

Sudah tiada lagi tendensi apa pula diskusi kami menjalani apa yang kami pikir pekat substansinya dan penting perannya dalam melanjutkan kehidupan kami yang akan kami jalani kedepan. Kami masih tersirat kata ingin namun sungkan pula menjalani maka kini apa yang terjadi sudah saja jalani dan takpeduli. Apatis tentu namun bagaimana ini yang berkelit terjadi, mereka membuat apa yang kami kini dan sulit rasanya kembali ditambah dengan segala perubahan terhadap realitas asli yang selalu radikal terjadi.

Kami dalam masanya berkabung merenung dan banyak melamun. Mencari apa yang sebenarnya terjadi dengan berbagai cara tersendiri dari kami. Teman saya lebih banyak melamunnya ia dirumah berfikir bahwa ia terlibat dari apa yang disebut quarter life crisis imbuhnya. Memang terdengar naif dan tidak gagah dibuatnya. Namun dengan segala pola yang terbentuk kami menjadi terlalu observan terhadap apa yang terjadi dan tak semena-mena dalam melihat sebuah tragedi yang dinarasikan dalam realitasnya terhadap gambaran lini alam dimensi.

Saya sendiri banyak berpindah dari kawanan ke kawanan. Kawan saya dalam berpindah ialah kawan lampau saya dalam menginjak bangku pendidikan menengah baik pertama maupun atas. Saya mencurahkan apa dan bagaimana, mereka pun sebagian hanya meng iya dan ada pula beberapa memiliki narasi yang sama karena berada pada latarbelakang perguruan dan organ pula. Dari berbagai cerita dalam bangku dan meja dari kafe maupun kaki lima banyak prespektif baru yang terbentuk dan banyak pola yang saya aminkan, begitu pula teman saya ia pun mulai mengaktifkan diri dan berpindah bersama kawan lampaunya mensajikan cerita.

Setelah banyak cerita yang diceritakan, malam yang dilewatkan, serta pertemuan yang ditangguhkan. Kami bertemu berbagi  kongklusi dari apa yang terjadi dan mengapa bisa terjadi. Kami yang dulu lancip mulai sedikit berabstaksi dalam melihat kejadian-kejadian suguhan alam dan tragedi. Menemukan prespektif baru dari setiap cacahan empiris dan fraksinya dalam setiap pendiskusian terjadi, sebab pula singgahan yang telah kami lakukan dalam penemuan dan kebosanan. Kami menemukan dan dipertemukan.

Teman saya beranggapan bahwa apa yang terjadi ya sudah terjadi , persetan dengan keadaan dan tanggung jawab. ia memilih benahi diri dari apa yang ia gagal dalam emban dan konsekuensi. Kini ia lebih bulat walau pikirannya mulai abstrak. Sedangkan saya memilih berdwi jati memiliki dua entitas dan tidak mendeskriminan diantara keduanya. Saya tetap bersinggah karena empati dan etiket namun juga dilain sisi, saya menjauhkan dari apa yang dulu saya selami. Saya tidak terlalu melebihi dari awal yang saya imani.

Memang kami berdua setuju bahwa segala sesuatu yang berlebihan sejatinya ia sungguh tiada baiknya dijalankan. Namun justru kami dibuat masuk dari redaksi yang dulu sering kami gubahkan. Kami berlebibihan berat sebelah dan terpaksa keadaan. Dan karena sebab akibat, kami yang dahulu belum pernah sekali memasuki instrumen organisasi membuat rasa-rasanya seperti efek tumpahan gelas yang diairkan dimana kami tertuang dengan segala paham namun justru berceceran. Entah salah pola atau kami yang memang tak cocok dalam ritme yang diguna.

Kami pun kini menyadari dari politilk-politik yang dulu tersajikan. Dan kami menyadari bahwa kami bagian dari tumbal sistim yang kami sebut sebagai Dosa Satu Jabatan. Karena demikian kami dibentuk dari  demokrasi para oligarki kami dipahat dari mereka para pengembala suci dan mereka pula yang menjebatani dosa yang suci ini. Dimana peremajaan berlangsung sangat indah kala itu dan kami hanya mengamini. Kami terlalu cepat dalam paraktik dan terlalu cepat pula untuk sempat memahami.

Itulah konsekuensi dari setiap tragedi pasti terjadi ekskresi. Kami kini menjadi apa yang kami dahulu imani. Terbuta karena logika dan percabangannya serta menjadi apatis gila terhadap pola apa pula stigma dan skeptikal didalamnya. Kami menjadi suka tidak suka, menjauh dari dekat, pergi dari datang, serta berpulang dari kepulangan. Kami menjadi awam dari ekslusifitas keintelektualan yang disajikan. Kami memilih damai dari runyamnya keindahan dalam pandang mereka. Kami menjadi kami dari berbagai kami yang kami ceritakan.

Walau konsekuensi stagnan kami dapatkan, namun dalam bercabangnya nalar yang sebelumnya diindahkan, kini semua diam. Mereka diam entah karena disibukan dengan dunia realitas mereka atau mereka memilih untuk sekedar menghancurkan daripada mempertahankan kestagnanan alam yang dibuat. Mereka menunggu untuk menerkam, melihat dari jauh untuk kembali mengembala ternaknya kelak. Walau ia pengembala ia pula pemangsa dari apa yang ia kembala. Dari awalan kedua namun tiada akhirnya karena fase ini masih kami jalankan, menunggu pola apa yang kelak mereka indahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun