Mohon tunggu...
Natasa Desta
Natasa Desta Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi Sosiologi UIN Sunan Kalijaga

Belajar sosiologi sambil minum kopi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Konsep Moralitas Emile Durkheim dan Pendidikan Moral Indonesia, Pentingkah?

8 November 2020   16:04 Diperbarui: 8 November 2020   18:48 1189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://aotcpress.com/wp-content/uploads/Emile-Durkheim.jpg

Beberapa waktu lalu, penulis telah meninjau teori evolusi hukum tiga tahap dari Auguste Comte yang ternyata cukup relevan dengan realitas masyarakat Indonesia. Kini, penulis kembali mengajak pembaca sekalian untuk meninjau tokoh lain beserta teorinya yang tak kalah menarik. Ialah David Emile Durkheim atau yang lebih akrab dengan sebutan Emile Durkheim, dengan teorinya terkait moralitas. Bagaimana penjelasannya? 

Sebelum membahas lebih lanjut, ada baiknya kita cermati biografi dari tokoh ini lebih dulu. Ditinjau dari ebook berjudul Classical Sociological Theory Edisi ke-tujuh karya George Ritzer dan Jefrrey Stepnisky,  Durkheim lahir pada 15 April 1858 di Epinal, Prancis. Dari sumber yang sama, disebutkan bahwa Durkheim berasal dari keturunan Rabi--semacam pemuka agama-- namun ia lebih memilih untuk menjadi seorang humanis yang rasional. 

Bisa dikatakan bahwa ketertarikannya terhadap agama memiliki tendensi pada ranah akademis ketimbang teologis. Selain itu, dari sumber tersebut dapat dilihat titik tolak pemikiran Durkheim didasarkan pada ketidakpuasan terhadap pendidikan religiusnya. Ia bahkan tidak puas pada pendidikan kala itu yang  secara umum menitikberatkan pada sastra dan estetika. 

Durkheim justru lebih mendambakan prinsip-prinsip moral dan pelatihan ilmiah yang diperlukan untuk berkontribusi pada bimbingan moral masyarakat. Tokoh-tokoh yang memengaruhi studi keilmuan Durkheim diantaranya filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles, serta tokoh negarawan Perancis seperti Montesqiue dan Condoret. 

Setelah meninjau biografi Emile Durkheim, kita beranjak menuju salah satu teori yang diusungnya, yakni moralitas. Dalam buku berjudul "Sosiologi Pendidikan Emile Durkheim" yang ditulis oleh Rakhmat Hidayat dan diterbitkan oleh RajaGrafindo Persada, menurut Durkheim, moralitas dalam pendidikan dapat didefinisikan sebagai suatu set tugas dan kewajiban yang memengaruhi perilaku individu yang dikonstruksikan melalui disiplin di sekolah. Dalam pendidikan moral terdapat hukum moralitas yang merupakan sebagian kecil dari dimensi fenomena moral. Fenomena moral inilah yang menggambarkan kondisi moralitas yang terjadi di masyarakat.

Selain itu, berdasarkan ebook berjudul Sociological Theory - An Introduction to the Classical Tradition yang ditulis oleh Richard W. Hadden dan diterbitkan oleh Broadview Press, dijelaskan dalam bukunya yang berjudul "Moral Education", Durkheim mengembangkan dan menyampaikan  projek-nya untuk memperkenalkan kepada masyarakat mengenai landasan moralitas yang substansial, rasional, dan nyata. 

Menurutnya, lembaga-lembaga pendidikan mampu mengomunikasikan dasar moralitas yang benar-benar rasional setelah merosotnya agama. Dengan kata lain, pengetahuan anggota tentang landasan moralitas yang sesungguhnya akan memungkinkan mereka untuk terlibat di dalamnya dengan sukarela. 

Kekuatan moral yang dahulu hanya dinyatakan dalam istilah agama mestinya dijelaskan dan dijadikan sebagai dasar atas persetujuan dan kepatuhan rasional. Tulisan ini juga memperkuat tiga elemen moralitas yang disampaikan oleh Durkheim, yaitu: kedisiplinan, ikatan pada kelompok sosial, dan otonomi pada individu. 

Menurut pemahaman penulis, moralitas adalah suatu hal yang fundamental di tengah-tengah masyarakat. Keberadaannya merupakan gejala dari adanya masyarakat itu sendiri. Artinya, tanpa adanya masyarakat maka moralitas tidak akan terbentuk. Moralitas disini tidak hanya mencakup nilai-nilai normatif tentang baik dan buruknya perilaku seseorang dalam masyarakat, melainkan juga fakta sosial tentang konstruksi aturan di luar diri individu. 

Aturan yang terbentuk memaksa tiap individu secara sadar untuk bertindak sesuai cara-cara yang telah ditentukan, hal inilah yang disebut kedisiplinan. Itulah mengapa pendidikan moral yang diterapkan di sekolah-sekolah pada umumnya berangkat dari penanaman nilai-nilai kedisiplinan. Disiplin moral bukan perkara instan, hal ini terbentuk melalui tahapan yang nantinya membangun watak serta karakter seseorang dalam suatu kelompok. 

Perlu diketahui bersama, individu tidak akan mampu menerapkan disiplin moral tanpa ada dorongan dari orang lain di sekitarnya. Itulah mengapa Durkheim menegaskan bahwa ikatan pada kelompok sosial merupakan salah satu elemen penting dalam moralitas. Selain itu, adanya kecenderungan atas kesadaran moral seseorang akan menghubungkan moralitas dengan otonomi pelakunya sebagai suatu fakta atau kenyataan. Hal ini berarati bahwa apa yang disebut sebagai tiga elemen moralitas ini terbukti relevan di masyarakat bahkan hingga saat ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun