Pada 18 Juli 1905, puluhan kapal perang berkulit baja milik kerajaan Belanda bersandar 5 kilometer dari pesisir Bajoe. Tampangnya yang dilatar belakangi matahari senja memunculkan bayangan-bayangan mencekam yang menjari ke arah tanah Bone. Dari semua kapal yang mengancam kedaultan Bone, ada satu yang menonjol sendiri. Kapal ini memiliki deretan layar putih yang mencakar langit dan deretan meriam hitan yang siap menembak. Lambungnya masih terbuat dari kayu dan ukirannya menjadi simbol ancaman tersendiri.
      Keesokan harinya, 5 wakil dari konvoi itu datang ke hadapan La Pawawoi Karaeng Segeri, raja Bone ke-31, dengan sejumlah tuntutan. Sambil duduk di hadapan raja, mereka menyatakan bahwa jika tugas kepolisian pelabuhan Bajoe dan Pallima diberikan kepada pihak Belanda, raja Bone akan diberi kompensasi yang sesuai. Saat mendengar tawaran ini, sang raja Bone langsung menolaknya dan memaksa kelima wakil itu untuk kembali ke kapalnya. Tetapi kemudian salah satu dari lima wakil ini berdiri dan berkata, "komandan kami sedang menahan anakmu, Baso Abdul Hamid, sebagai tawanan. Dia aman di dalam terungku kapal kami, tetapi suatu solusi harus tercapai hari ini."
      Kenyataan yang berada di bawah dek kebanggaan kapal perang Belanda berbeda. Baso Abdul Hamid yang dipenjara dalam terungku kapal mampu melumpuhi dua penjaga dan membuka gerbang sel. Demi masa depan kerajaannya, sang pangeran segera membakar semua amunisi yang berada di kapal. Tak lama setelah itu, ledakan dahsyat menggentarkan seluruh rakyat Bone. Kapal tersebut sudah tidak ada lagi, dan komandan Belanda yang bertugas menguasai Bone telah mati. Baso Abdul Hamid dikenal sebagai pangeran pemberani yang menyelamatkan rakyatnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI