Di tengah maraknya gelombang PHK pada tahun 2025, banyak orang beralih profesi ke dunia digital, salah satunya menjadi kreator live di platform seperti TikTok. Dalam fenomena ini, muncul istilah "penyawir digital," yakni mereka yang memberikan saweran berupa koin kepada para penyiar digital. Namun, di balik euforia ini, tersembunyi kisah-kisah tragis tentang mereka yang terlilit utang hingga berujung pada tindakan bunuh diri.
Penyawir Digital: Hiburan atau Pelarian?
Menurut pengamat sosial Mintarsih Abdul Latief, fenomena penyawir sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya, konsep sawer sudah ada dalam dunia hiburan tradisional seperti radio atau panggung musik. "Kita lihat penyawir, baik di radio, mil, atau digital, itu sifat perasaannya sama---kesenangan dan emosi yang muncul," ujarnya.
Namun, perbedaannya terletak pada aksesibilitas dan intensitas. "Kalau orangnya cukup dewasa, dia bisa mengendalikan diri. Tapi kalau sudah terlalu stres, maka ia mencari jalan keluar, dan bagi sebagian orang, menyawer menjadi pelariannya," tambahnya.
Ketergantungan yang Tidak Terkendali
Banyak penyawir yang rela menghabiskan uang dalam jumlah besar demi mendapatkan perhatian dari kreator favoritnya. Beberapa bahkan sampai meminjam uang ke pinjaman online (pinjol) demi bisa terus menyawer. "Kalau jiwa seseorang tidak stabil, ia tidak bisa berpikir rasional. Akhirnya, uang yang seharusnya untuk kebutuhan utama malah dihabiskan demi kesenangan sesaat," jelas Mintarsih.
Ketika kondisi finansial semakin terpuruk, mereka yang tidak bisa keluar dari jeratan ini cenderung mengalami stres berat. "Jika seseorang sudah kehilangan harapan untuk mengatasi keuangannya, salah satu pilihannya bisa saja bunuh diri," tambahnya.
Antara Popularitas dan Kesenangan Sementara
Banyak penyawir menganggap aktivitas ini sebagai bentuk hiburan. "Yang dia inginkan adalah kesenangan. Popularitas juga menjadi faktor, terutama ketika namanya disebut-sebut oleh si penyiar live. Itu memberikan kepuasan emosional tersendiri," terang Mintarsih.
Namun, kesenangan ini sering kali menjadi candu. "Pada awalnya hanya hiburan, tapi jika tidak terkendali, ini bisa menjadi kebiasaan yang merusak," katanya.
Dampak Sosial dan Cara Mengatasinya