Mohon tunggu...
Inovasi

Bahan Tambang Mineral sebagai Bahan Baku Barang Konsumtif yang Terlupakan

30 Oktober 2016   07:02 Diperbarui: 4 April 2017   17:03 2716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Ketika kita dimudahkan dengan ketersediaan barang-barang konsumsi rumah tangga yang ada disekitar kita, barang-barang tersebut utamanya berupa produk porselin/keramik (pecah belah, bahan bangunan) dan logam antara lain seperti piring, gelas, peralatan dapur, tegel lantai/dinding, perabotan rumah tangga, perlengkapan kamar mandi dan lain sebagainya, cobalah kita sedikit memperhatikan seberapa jauh barang tersebut tersedia untuk kemudahan dan peningkatan kualitas hidup kita. Kepedulian kita akan adanya barang-barang konsumsi tersebut, akan mendorong kita lebih jauh terpikirkan untuk bertanya,  darimanakah produk itu berasal (produk luar negeri atau dalam negeri)?, bahan baku apakah produk tersebut dibuat?, seberapa besar bahan baku tersedia (didalam negeri utamanya)? Bagaimana kondisi rangkaian industrialisasi produk tersebut dari bahan baku sampai dengan bahan konsumtif sehingga kita dapat menikmati kegunaannya?

Tulisan ini merupakan hasil pengolahan beberapa referensi terkait dan juga secara terbatas mengadaptasi  dari makalah Mike O'Driscoll. Penulis ini merupakan EditorIndustrial Minerals Magazine (UK)Industri Mineral Magazine (UK) pada Anniversary Konferensi Parlemen Eropa, Brussel, 13 Mei 2004. Dia menggambarkan bahwa potensi industrialisasi mineral di Eropa Barat ternyata belum secara optimal diusahakan dan malah cenderung diabaikan. Kondisi ini menurut saya mungkin relatif sama dengan kondisi yang terjadi di Indonesia, ternyata secara khusus diperlukan kebijakan untuk menyingkapi kesinambungan industrialisasi mineral (logam/non logam sampai kepada produk konsumtif.

Seiring dengan pertumbuhan permintaan barang konsumtif industri (terutama berupa produk dari logam maupun non logam) di dalam negeri, kita memerlukan pertumbuhan industri bahan baku dari industri mineral yang cukup besar pula. Disamping itu juga berdasarkan UU no. 4 tentang Minerba tahun 2009 dan PP no. 23 (maupun amandemen PP tersebut) tentang Usaha Pertambangan Minerba juga telah mengamanatkan secara jelas, bahwa lima tahun sejak peraturan tersebut ditetapkan, diharuskan perusahaan KK ataupun IUP Mineral diwajibkan telah memproduksi bahan baku mineral industri yang siap dibutuhkan oleh sebagai bahan baku untuk industri manu-facturing/konsumsi di Indonesia ataupun sebagai produk ekspor. Artinya perusahaan pertambangan tersebut tidak boleh lagi diperkenankan menjual produk mentah/raw material sebagai produk ekspor tetapi harus sudah diolah menjadi produk industrialisasi mineral berupa produk intermediet/antara sebagai bahan baku industri hilir.

Tulisan ini juga akan menggambarkan pentingnya peningkatan nilai tambah ekonomi industrialisasi mineral dan bagaimana hal ini relevan terhadap perekonomian Indonesia. Relevansi akan dibuat melalui rangkaian produk tambang untuk pasokan rantai pasar, dan pada berbagai pasar pengguna akhir /konsumen serta nilai relatifnya terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini akan ditekankan bahwa tanpa keberhasilan pembangunan industrialisasi mineral, pasar-pasar ini tidak akan mendapatkan nilai yang lebih ekonomis dan kompetitif. Trend terakhir dan perkembangan perdagangan dunia industri mineral Indonesia akan lebih dikupas. 

Beberapa literatur mendifinisikan pengertian nilai tambah mineral logam sebagai usaha untuk meningkatkan nilai ke-ekonomian suatu hasil tambang melalui pemprosesan dan pemurnian, sehingga menghasilkan dampak pada kemanfaatan lebih tinggi pada produk yang dihasilkan dan memberikan multiplier-effect pada pengembangan industri hilir yang terkait (The Govt. of Canada : The Minerals and Metals Added-Value Policy, 1998). Sedangkan secara lebih khusus lagi, peningkatan nilai tambah mineral logam yang ber-dasarkan pada parameter ekonomi, yaitu perbedaan antara nilai output dan nilai input atau peningkatan harga material yang dihasilkan dari proses pengolahan mineral dan logam persatuan berat logam/mineral. 

Pengertian yang diharapkan dari PNT Mineral Logam yaitu pengertian yang lebih luas lagi berdasarkan pada kemanfaatan lebih tinggi pada produk yang dihasilkan dan memberikan multiplier-effect pada pengembangan industri hilir yang terkait dan pengembangan masyarakat serta pertumbuhan ekonomi lokal. Pada pembahasan pengembangan peningkatan nilai tambah mineral logam akan lebih dijelas-kan pada bab kondisi yang diinginkan termasuk sasaran pencapaiannya.


Sumberdaya mineral logam maupun non logam yang dimiliki Indonesia belum optimal pengolahan/pemurnian maupun pemanfaatannya, oleh karena karenanya diperlukan usaha yang optimal juga demi mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Amanat yang tertuang dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan PP No. 10 Tentang Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara telah jelas mewajibkan maka para pelaku usaha pertambangan untuk melakukan pengolahan bahan galiannya di dalam negeri. Potensi mineral logam Indonesia yang terbatas dan tersebar di berbagai daerah perlu diusahakan dan dioptimalkan pemanfaatannya dengan memegang izin Kontrak Karya (KK)  serta Izin Usaha Pertambangan (IUP)  Mineral Logam, IUP Mineral Non Logam ataupun IUP Batuan. Dari kegiatan operasional  produksi, baru menghasilkan umumnya sebagian besar masih berupa mineral logam berupa bahan mentah (bijih atau-pun konsentrat).

Dewasa ini, pertumbuhan industri hilir penghasil barang konsumsi logam di dalam negeri semakin meningkat sehingga kebutuhan akan bahan baku lanjutan mineral logam cukup tinggi. Contoh yang paling nyata adalah kebutuhan akan bahan baku baja justru masih mengimpor bahan baku besi olahan (pig iron dan sponge iron), kemudian industri konsumsi alumunium masih banyak mengimpor alumina dari luar negeri dan ini umum terjadi pada industri logam lainnya. 

Peningkatan nilai tambah mineral logam merupakan suatu upaya optimalisasi pemanfaatan bahan galian mineral logam secara bijaksana yang sesuai dengan kaidah konservasi bahan galian. Selain itu peningkatan nilai tambah mineral juga merupakan usaha untuk mengembangkan teknologi pengolahan mineral logam di Indonesia sehingga diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara serta terjadinya alih teknologi. Walaupun telah ada industri pengolahan lanjutan mineral logam (utamanya emas-perak), tetapi kapasitas yang ada belum mencukupi menampung produk olahan dari produsen konsentrat mineral yang ada (baik KK maupun IUP Mineral).

Berbeda dengan mineral non logam (mineral industri) yang industri lanjutanya sudah cukup berkembang, saat ini dalam hal perkembangan industri lanjutan logam Indonesia umumnya tidak didesain untuk menerima spesifikasi bahan baku sesuai potensi yang ada tetapi dari import. Kemudian juga masih kurangnya industri lanjutan untuk pengolahan/pemurnian mineral logam, walaupun ada tetapi kapasitasnya terbatas.

 Hal tersebut tentunya akan berakibat pada larinya produk raw materal/bahan mentah/bijih logam lebih sering diekspor ke luar negeri. Akibat lanjutannya adalah pemenuhan kebutuhan produk setengah jadi untuk industri komsumsi (hilir) lebih mengandalkan impor produk olahan mineral logam tersebut dari luar negeri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun