Mohon tunggu...
Nasrullah Mappatang
Nasrullah Mappatang Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Alumni Fakultas Sastra UNHAS dan Pascasarjana UGM - Pegiat Sekolah Sastra (SKOLASTRA) - Mahasiswa Doktoral/ PhD di University of Malaya, Malaysia.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Lumbung sebagai budaya

6 Mei 2023   16:26 Diperbarui: 6 Mei 2023   19:31 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Instagram @ifi_indonesia

Pukul enam petang (6pm) waktu Paris bersamaan dengan pukul satu dini hari (1am) waktu Makassar pada 16 Maret 2023, konferensi yang dihelat mirip diskusi sharing berlangsung di Prancis, tepatnya di kota Saint-Etienne. Kota ini terletak di sebelah Timur bahagian tengah Prancis. Diskusi ini membahas isu seputar Documenta 15, Ruangrupa, dan Riwanua.

Documenta 15 adalah pameran seni rupa terbesar dan salah satu yang tertua di Eropa. Pameran yang dipusatkan di kota Kassel, Jerman ini dikenal dengan tema "lumbung"-nya beberapa waktu lalu. Di dalamnya, besar keterlibatan Ruangrupa, salah satu kolektif seni yang bertempat di Jakarta, Indonesia. Selain itu, acara ini juga memperkenalkan Riwanua, salah satu kolektif seni yang sedang berkembang di Makassar, Indonesia.

Pembicara utama dari diskusi ini adalah Mirwan Andan, salah seorang bagian dari kolektif Ruangrupa di art director Documenta 15 kemarin. Di samping itu, perwakilan dari Ruangrupa dan juga dari Riwanua. Pembicara utama menjelaskan apa dan bagaimana Documenta 15 dihelat hingga mengapa "Lumbung". Selanjutnya, apa hingga bagaimana konsep dan praktik lumbung itu sendiri di kebudayaan masyarakat Indonesia.

Sementara itu, perwakilan Ruangrupa dan Riwanua memperkenalkan aktivitas seni masing - masing di kolektif atau komunitas tempatnya berkesenian. Kolektivitas menjadi kata kunci dalam penjelasan kedua pembicara mewakili dua kolektif seni asal Makassar dan Jakarta, Indonesia ini.

Budaya Lumbung 

Lumbung sebagai budaya (lumbung as culture) adalah pendapat saya sebagai penulis yang sempat mengikuti kegiatan ini secara daring. Tepatnya sebenarnya adalah lumbung sebagai konsep dan praktik budaya. Konsep kolektif dan praktik berbagi secara riang gembira, egaliter, dan sekaligus visioner dalam hal regenerasi, adalah penanda lumbung sebagai budaya.


Pembicara menjelaskan beberapa karakteristik lumbung. Pertama, hadirnya prinsip-prinsip demokrasi pertemuan (assembly). Selanjutnya, praktik mufakat yang selalu menyertainya (agreement). Setelah itu, penanda berupa pelaksanaan kegiatan yang dilakukan secara gotong royong (commons). Kemudian, adanya hak mengadakan protes bersama (right to stage collective protest), dan juga, hak menyingkirkan diri dari kekuasaan absolut (right to abolish absolute power) (https://ruangrupa.id/documenta-15/). Kelima karakteristik lumbung yang penulis tangkap ini menjadi pelajaran berharga yang dibagikan oleh pemibicara dari Ruang Rupa dan Riwanua, Indonesia ini. Terutama Mirwan andan selaku pembicara utama.

Sementara itu, adapun prinsip - prinsip dan nilai dasar lumbung terdiri dari delapan nilai turut disinggung. Diantara nilai - nilai dan prinsip dasar tersebut adalah : Humor (Humour), kemurahan hati (generosity), keingintahuan (curiosity), kecukupan (sufficiency), kemandirian (independence), jangkar/penahan lokal (local anchoring), transparansi (transparency), dan regenerasi (regeneration)
(https://documenta-fifteen.de/). Prinsip - prinsip inilah yang diperkenalkan dan dipraktikkan sekaligus menjadi jiwa dari pelaksanaan documenta 15 tahun ini. Kesemuanya seperti sumbangsih Indonesia untuk dunia dewasa ini melalui kegiatan akbar documenta 15 kemarin.

Dari karakteristik dan nilai - nilai dasar di atas, lumbung sebagai budaya merupakan hal yang selain bersifat khas secara lokal di Indonesia, sebenarnya juga menyimpan potensi untuk diadopsi secara global. Dunia boleh belajar dari kebiasaan masyarakat Indonesia ini. Mengapa tidak. Lumbung pangan dunia misalnya oleh FAO dapat menjadikan ini sebagai dasarnya bekerja dalam menangani persoalan pangan dunia. Atau, menelurkan konsep "mangkuk makanan global" contohnya, untuk mengatasi krisis makanan dan ketimpangan "akses" pangan di dunia.

Apalagi, akibat perang dan "kompetisi" negara - negara yang merasa besar dan adikuasa, kelaparan dan penderitaan terjadi dimana - mana.

"Konsep lumbung dapat "mengikis ego" kompetitif mereka. Ketimbang saling menerkam, mengapa tidak saling berbagi, bukan? Bukankah perang hanya melahirkan penderitaan demi penderitaan?"

Begitu paparan penting yang penulis tangkap dari penjelasan para pembicara dari Indonesia ini. Eropa, dunia, seperti diajak belajar kepada budaya Indonesia perihal konsep dan praktik hidup satu ini: lumbung.

Lumbung dan aktivitas seni kolektif

Seorang peserta bertanya, apa pendapat / imajinasi pembicara mengenai "perang" yang sedang melanda Timur Eropa?

Jawabannya menarik.

"Selain perang itu mengerikan, dan pengalaman keluarga dan orang tua saya menjadi contoh untuk menjawabnya. Indonesia adalah cermin besar yang dijadikan gambaran tentang bagaimana perang itu membawa duka dan trauma", terangnya.

Konsep dan praktik lumbung, lagi dan lagi, dapat dibuat pembicara untuk menjawab perihal perang ini. Lumbung yang bekerja secara kolektif, dan menganut sistem redistribusi sumber daya, tak mengenal kompetisi. Dengan demikian, perang dapat dihindarkan dengan mengikis keserakahan berupa hasrat mengalahkan yang lain, sejak awal.

"Apatah lagi, perang untuk men-take over, atau merebut dan menguasai sumber daya, kekayaan suatu wilayah. Tak akan ada perang jika sistem kapitalisme neoliberal dapat diatasi dengan kolektivitas dan keinginan untuk berbagi secara sukarela dan riang gembira. Ini tawaran konsep dan praktik dari lumbung" tegasnya.

Dari relevansi itu, mengapa Ruangrupa dan Riwanua, lanjut para pembicara, menerapkan "kultur" atau kebiasaan riang gembira dan sebisa mungkin menyenangkan bagi seniman, peneliti, dan siapa saja yang beraktivitas di dalamnya. Sumberdaya berupa materi, pengetahuan, dan apapun itu dibagikan secara sukarela tanpa paksaan. Itulah praktik "lumbung" dalam kegiatan berkesenian. Aktivitas seni yang dikerjakan secara kolektif. 

Lumbung, mengajarkan dunia kehidupan sehari - hari dan dunia berkesenian akan arti sebuah kebersamaan. Tidak hanya dalam hal bekerja secara bersama, melainkan juga dalam hal menikmati hasil kerja dan juga membagikan hasil pekerjaan itu sendiri.

Dalam proses berjalannya kegiatan documenta 15, para seniman, akademisi, jurnalis dan beragam profesi lainnya bersama - sama menulis di majalah Lumbung. Ada dua edisi yang penulis berhasil dapatkan. Keduanya adalah edisi "panen" dan edisi "bagi". Kedua edisi menunjukkan bagaimana aktivitas panen dan berbagi masyarakat Indonesia dari berbagai wilayah geografis dan perbedaan latar identitas etnik dipraktikkan. Baik yang ada pada zaman dulu, maupun yang masih dipraktikkan hari ini. Sebuah aktivitas dokumentasi budaya secara kolektif yang sangat kaya.

Belajara dari Documenta 15, Riwanua, dan Ruangrupa

Dari kegiatan diskusi berbagi (sharing discussion) pengetahuan dan pengalaman ini, kita, terutama saya sebagai penulis dapat belajar tentang dunia yang mungkin diciptakan dengan suatu praktik hidup kolektif. Praktik ini dapat pula dilakukan dengan riang gembira tanpa sebuah paksaan sebagaimana konsep negara yang dibilang "komunal" tapi penuh kediktatoran dan pemaksaan.

Konsep dan praktik kolektif lumbung ternyata berbeda dengan itu. Dan tak kalah pentingnya, hal itu "mungkin" dan "bisa" diwujudkan. Documenta 15 bersama Ruang Rupa telah membuktikannya.

Riwanua dan Ruang Rupa sebagai kolektif seni juga telah melakukannya. Dengan prinsip dasar sukarela dan riang gembira serta tanpa paksaan struktural dan administratif, kegiatan berkesenian secara kolektif dapat dilakukan.
Bahkan, ruang rupa dapat menjadi art director kolektif pertama dalam helatan documenta di sepanjang sejarahnya. Dimana, diketahui documenta merupakan salah satu kegiatan pameran seni rupa terbesar di Eropa, bahkan barangkali dunia. Capaian ruang rupa ini tentu terbilang monumental, untuk tidak mengatakan sangat prestisius untuk ukuran kolektif seni sepertinya.

Dari peristiwa konferensi/seminar tentang documenta 15, Riwanua dan Ruang Rupa malam itu, kita semua dapat belajar bahwa hidup secara bersama, kolektif, dan berkolaborasi secara sukarela dan riang gembira itu mungkin dan dapat dilakukan. Ruang rupa dan riwanua sudah membuktikannya.

Itu juga bisa dan dapat terus dilakukan di hidup kita sehari - hari. 

Mari.

Nasrullah Mappatang
Belajar Sosial Budaya di University of Malaya, Malaysia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun