Mohon tunggu...
M. Nasir Pariusamahu
M. Nasir Pariusamahu Mohon Tunggu... Penulis - -

Saya Manusia Pembelajar. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekolah Bukan "Bengkel"

30 November 2017   18:56 Diperbarui: 30 November 2017   19:04 1233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
bersama anak-anak di salah satu sekolah di Tual Maluku Tenggara

Judul ini agak anti mainstream. Apa hubungan sekolah dan bengkel? Apakah sekolah harus disamakan dengan bengkel? Mari kita tinggalkan pertanyaan-pertanyaan tersebut dan fokus pada pembahasan selanjutnya agar tidak mengalami kerancuaan dalam berpikir.

Sekolah merupakan tempat kedua anak untuk dididik. Disana anak bersosialisasi dengan para "orang tua kedunya" atau guru dan teman-teman sebayanya. Disana anak menyatu dalam budaya hidup bersosial dalam keluarga kecil. Disana anak dididik, dibina, dan diarahkan sesuai dengan visi sekolah. Sekolah tentu telah mempersiapkan kunci-kunci suksesnya agar "input" yang diproses menghasilkan "produk" atau output yang sesuai dengan apa yang diingin wujud nyatakan.

Lihatlah, banyak sekolah rame-rame diakreditasi, ada delapan standar pendidikan yang dijadikan acuan penilaiannya. Tak cuap-cuap, sekolah senantiasa memperbaiki dirinya lewat hal itu. Sekolah menyadari "produk" yang sedang mereka tangani ini bukan benda mati. Melainkan benda hidup yang senantiasa berubah dalam keadaan tak terduga.

Sisi lain, sekolah punya beban yang sangat kompleks. Menyiapkan sumber daya pengajar, menyusun rencana sekolah dan membangun harmonisasi dengan warga sekolah menjadi tantangan klasik yang kadang tidak bisa diuraikan satu demi satu indikator permasalahannya. Kalaupun bisa, tertangani pun belum maksimal.

Upaya memberikan hal terbaik oleh sekolah, ternyata sekolah punya jatah yang sangat sedikit. Coba dihitung, berapa jamkah waktu anak di sekolah. Masuk pukul tujuh pagi, pulang jam satu siang, atau full day school, masuk jam tujuh pagi, pulang jam empat  sore. Jika dirata-ratakan, sekolah hanya punya waktu sepuluh jam sehari. Jika kita hitung interval waktunya, maka kondisi ini belum cukup sekolah memberikan asupan gizinya.

Hitungan matematika tersebut menjawab persoalan yang ada. Jika ada kasus, anak tidak tau baca, tidak tau berhitung, pintar tapi suka nyontek, cerdas tapi suka berbohong, bodoh tapi suka membantu. Tulalit tapi tak pernah alpa. Itulah warna karakter anak yang dihadapi. Jika demikian yang salah siapa? Sekolah?

Tidak juga. Sekali lagi, sekolah hanyalah lembaga kedua anak yang punya keterbatasan dalam segi internalisasi karakter anak didik. Sungguh, sekolah tidak bisa disalahkan sepenuhnya ketika anak dianggap tidak sesuai dengan perilaku sekolah.

Untuk itu, perlu adanya efektifitas yang terbangun dengan baik antara sekolah dan orang tua. Kiranya selama ini, ada hal yang terputus antara kedua eleman ini. Keluarga sebagai madrasah utama anak harus bisa bersinergi secara maksimal dengan pihak sekolah.

Jangan sampai ada anggapan yang mengatakan "ketidakberhasilan " anak sepenuhnya dilimpahkan ke  sekolah. Atau, sebaliknya. Akhirnya fungsi kedua jalur pendidikan yang hakikatnya sebagai pilar kesuksesan anak hanya sekedar teori belaka.

Upaya pencerdasan anak itu adalah tanggung jawab bersama, dalam hal ini sekolah dan orang tua. Kedunya harus saling terbuka memberikan informasi tentang diri anak. Ketika telah tercipta kondisi saling percaya antara keduanya, maka anak akan merasa diawasi. Dengan fungsi pengawasan ganda demikian, anak akan mawas diri dan melakukan hal yang terbaik.

Sudah jelas apa peran orang tua dan sekolah. Peran orang tua sebagai pendidik memang sangat dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan anak. Orang tua hendaknya mempertahankan prestasi anaknya. Tidak sedikit pula banyak kasus yang muncul bahwa keberhasilan belajar anak juga dipengaruhi oleh bimbingan orang tua. Kan begini, jika anak mendapat prestasi, pasti yang disebut pertama adalah "ini anak siapa ya?" bukan "gurunya siapa ya?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun