Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Politik

Harga sebuah Arogansi

11 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 10 Agustus 2025   20:15 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Animasi Fotor

Setelah tidak naik selama lebih dari sepuluh tahun, pemerintah kabupaten Pati Jawa Tengah menaikkan pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 250%. Sebenarnya nilai kenaikan tersebut masih masuk akal mengingat sudah cukup lama tidak ada kenaikan. Apalagi nilai jual obyek pajak selama sekian puluh tahun pasti naik secara signifikan.

Kalaupun proporsi kenaikan dinilai masyarakat terlalu tinggi seharusnya pemerintah membuka ruang untuk bicara. Di tengah kondisi ekonomi yang kurang baik saat ini, kenaikan PBB, serta berbagai pajak dan retribusi merupakan isu sensitif bagi masyarakat.

Pemerintah seharusnya memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Apalagi ketika sebagian masyarkat sudah jelas-jelas menyatakan keberatannya.

Sayang sekali, bupati sebagai pihak yang berwenang tidak bijaksana dalam merespon keluh-kesah warganya. Sebaliknya, sang bupati justeru merespon dengan memamerkan arogansinya. Bupati justeru secara arogan menantang masyarakat untuk berdemonstrasi, "Jangankan 5 ribu orang, 50 ribu kami tidak gentar", demikian kurang lebih tantangannya.

Rekaman di hadapan media tersebut dengan cepat tersebar di tengah masyarakatnya sendiri. Ketika masyarakat bergerak cepat merespon tantangan tersebut, sang bupati bukan minta maaf, melainkan membuat berbagai framing dukungan, seperti melalui video-video warga dan aparat yang menyatakan mendukung kebijakan bupati.

Penggalangan massa yang awalnya dipandang remeh, rupanya mendapat dukungan masyarakat yang semakin luas dan mulai membuat ciut nyali bupati. Meski demikian ucapan permintaan maafnya masih mengekspresikan keangkuhan seakan masalah selesai dengan permintaan maaf ala kadarnya, yang itupun masih disertai ekspresi arogan dan tidak tampak ada ketulusan.

Hal ini terlihat dari  upaya bupati yang mengancam aparat agar tidak mendukung aksi tersebut. "Orang-orang" bupati juga turun ke lapangan dan secara arogan menghardik para aktivis bahkan menyita hasil donasi.

Setelah gagal melakukan pendekatan represif, bupati baru melunak dengan mencabut keputusan soal kenaikan PBB. Bupati juga melibatkan LSM tertentu untuk turut menyuarakannya agar masyarakat mengentikan aksi massa, tetapi sepertinya terlambat.

Tindakan-tindakan bupati sebelumnya telah membuktikan bahwa dia tidak punya itikad baik memperbaiki hubungan dengan warganya. Bahkan saat bupati mencoba turun ke lapangan, masyarakat menyambutnya dengan tidak respek.

Respon bupati sampai detik-detik terakhir membuat masyarakat semakin yakin bahwa pemimpin daerahnya bukan orang yang baik dan bisa dipercaya. Praktik-praktik balas dendam sangat mungkin terjadi bila orang seperti ini terus diberi kesempatan untuk terus memimpin daerahnya. Hal ini semakin dikuatkan dengan tersebarnya video ancaman sang bupati di awal-awal masa kepemimpinannya.  

Itu sebabnya, tuntutan masyarakat bukan lagi soal kenaikan PBB, tetapi soal ketidakpercayaan pada seseorang untuk menjadi pemimpin. Dapat dipahami bila tuntutan masyarakat kini berkembang menjadi gerakan melengserkan bupati.

Sadar pada arah tujuan demonstrasi membuat sang bupati lagi-lagi merespon dengan sikap yang tidak elegan. Bupati menuduh ada pihak-pihak yang menunggani aksi masyarakatnya, padahal semua bersumber dari perilakunya sendiri.

Tidak mengherankan bila masyarakat sepertinya benar-benar kehilangan respek dan kepercayaan terhadap sang bupati. Mungkin posisi sang bupati masih kuat karena masih satu partai dengan penguasa negara, tetapi dinamika politik tidak pernah dapat diduga. Mungkin presiden dapat melindungi sang kader dari jabatannya, tapi tak ada yang mampu memulihkan kehormatannya dari masyarakatnya sendiri.

Arogansi sering digunakan untuk menakut-nakuti orang lain dengan memamerkan kekuatan dirinya, melalui sikap, ucapan dan tindakan. Bukannya membuat orang lain takut dan menyerah, sikap arogan justeru memancing respon sebaliknya. Orang yang disombongi justeru kehilangan respek, bahkan dengan mudah balik merendahkannya.

Pimpinan publik berbeda dari memimpin lembaga bisnis, yang mana kekuasaan seseorang tidak bergantung pada masyarakat. Memimpin masyarakat membutuhkan sikap "ngemong", rendah hati. Itulah yang disebut sikap bijaksana.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun