Ada ungkapan bernada ironis setiap terjadi perubahan kurikulum, yakni sebuah pertanyaan retoris, "Binatang apalagi ini?" Kemudian akan dilanjutnya dengan perkataan penuh pesimis, "Kurikulum yang lama saja belum kami laksanakan dengan sempurna, sudah muncul kurikulum baru."Â
Sudah bisa dipastikan, ucapan tersebut akan diiringi dengan sikap negatif, yakni tidak bersemangat mempelajari kurikulum yang baru." Ujung-ujungnya, seperti syair lagu Dian Piesesha, yang berjudul Tak Ingin Sendiri, ada bagian syair yang menyatakan, "aku masih seperti yang dulu." Artinya, meskipun kurikulum bagaikan pergantian musim, dia tetap dalam mindset dan perilaku yang sama.
Sebenarnya kelahiran kurikulum baru tidaklah ujug-ujug, kemarin terlintas dipikiran Pak Mentri dan para staf ahlinya, besok kurikulum diganti.Â
Kelahiran kurikulum baru diawali dengan kajian yang  cukup mendalam, dengan berbagai pertimbangan, karena mereka sadar betul bahwa perubahan kurikulum akan membutuhkan dana yang besar untuk penyusunan dan sosialisasinya, belum lagi menghadapi berbagai kritikan, yang bisa jadi mementahkan kembali kurikulum baru yang sudah dilaunching dalam piloting project.
Sebelum diterbitkannya kebijakan lahirnya Kurikulum 2013, Pemerintah, dalam hal ini Kemdikbud telah melakukan serangkaian kegiatan yang cukup panjang, saat menyadari, ketertinggalan pendidikan kita dibandingkan dengan negara-negara maju.Â
Setidaknya, dari Survai Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada Tahun 2003 menempatkan Indonesia pada peringkat 34 dari 45 Negara. Walaupun rerata skor naik menjadi 411 dibandingkan 403 pada Tahun 1999, kenaikan tersebut secara statistik tidak signifikan, dan skor itu masih di bawah ratarata untuk wilayah ASEAN.Â
Prestasi SISWA bahkan relatif lebih buruk berdasarkan hasil Program for International Student Assessment (PISA), yang mengukur kemampuan anak usia 15 tahun dalam membaca, matematika, dan literasi ilmu pengetahuan. Program yang diukur setiap tiga tahun, pada Tahun 2003 menempatkan Indonesia pada peringkat 2 terendah dari 40 negara sampel, yaitu hanya satu peringkat lebih tinggi dari Tunisia.
Pada awal masa kepemimpinannya, Tahun 2004, Presiden Susilo Bambang Yudoyono, menekankan pentingnya profesionalisme guru bagi kemajuan bangsa. Untuk meningkatkan profesionalisme guru, Pemerintah melakukan perbaikan manajemen guru.Â
Sementara itu, desakan agar Pemerintah menyediakan anggaran pendidikan melalui APBN sebesar 20% semakin menguat, dan Pemerintah bersama DPR pun dengan legowo menyetujui usulan tersebut. Semua menyadari, bahwa pendidikan sangat penting dan tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam proses perjalanan menuju negara yang maju dan mandiri.
Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 14 tentang Guru dan Dosen menjadi titik awal landas picu digulirkannya program-program perbaikan mutu pendidikan.Â
Lahirnya UU tersebut telah disambut baik oleh seluruh kalangan di Indonesia. Berbagai diskusi dan tanggapan mengalir deras. Masing-masing pihak menyodorkan beragam ide-ide dan gagasan yang menarik tentang guru di era baru alias Guru Zaman Now, khususnya dalam era globalisasi ini.Â
Kolom-kolom media masa penuh dengan opini, ide dan gagasan dari para pakar pendidikan baik dalam maupun luar negeri. Salah satu yang didiskusikan adalah tentang pelaksanaan sertifikasi guru dan dosen yang merupakan amanat UU guru dan dosen No.14 tahun 2005 demi mencapai profesionalisme guru dan dosen.
Dalam upaya memperbaiki pendidikan di Indonesia, Kemdikbud kemudian meluncurkan Program BERMUTU (Better Education Through Reformed Management Universal Teacher Upgrading).Â
Program BERMUTU ini dilaksanakan sejak tahun 2005 sampai dengan 2013, dilanjutkan Program Repdis Tahun 2014. Ada lima hal yang dibenahi oleh Program ini, yakni: (1) Penyebaran guru yang tidak merata; (2) Rasio guru dan murid yang relatif rendah dibandingkan dengan negara lain, sementara rasio guru secara nasional rendah namun bervariasi dari satu tempat ke tempat lain; (3)  Kualifikasi  pendidikan  guru  pendidikan  dasar yang masih relatif rendah terutama pada Sekolah Dasar; (4) Kualitas profesional para pendidik yang rendah cenderung berdampak pada rendahnya prestasi belajar siswa;  dan (5) Rendahnya jam mengajar guru dibandingkan dengan kriteria jam mengajar minimum.
Sehubungan dengan hal tersebut Indonesia sudah selayaknya mengupayakan berbagai alternatif dan inovasi dalam rangka percepatan belajar siswa; di mana salah satu unsur kunci adalah mutu guru, sebagaimana ditekankan dalam berbagai literatur dan hasil penelitian.Â
Berbagai penelitian tentang guru dan hasil belajar siswa memberikan sejumlah implikasi pentingnya berbagai strategi peningkatan mutu guru dalam rangka memperbaiki proses pembelajaran.Â
Beberapa temuan penting dari berbagai riset yang dilakukan Kemdiknas bersama Bank Dunia menjelang dilaksanakannya Program BERMUTU adalah:Â
(1) Keterampilan dan pengetahuan guru cenderung berpengaruh besar terhadap prestasi siswa dibanding variabel lain seperti pengalaman guru, ukuran kelas, dan rasio gurusiswa;Â
(2) Para siswa dapat mencapai prestasi yang lebih tinggi dalam matematika dan IPA jika diajar oleh guru yang telah bersertifikat standar;Â
(3) Persiapan dan sertifikasi guru memiliki korelasi yang paling kuat dengan prestasi siswa dalam membaca dan matematika;Â
(4) Peningkatan gaji guru cenderung berdampak secara langsung terhadap prestasi siswa,Â
(5) kecenderungan adanya kesamaan persepsi bahwa tingkat gaji guru akan berpengaruh terhadap minat memasuki profesi guru; danÂ
(6) Lama pengalaman mengajar berdampak pada prestasi siswa.
Seiring dengan upaya pemerintah meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu guru, maka dalam upaya mengembangkan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman, setidaknya, setelah diterbitkannya Undang-Undang No, 14 Tahun 2004, tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah terjadi beberapa perubahan kurikulum, yakni Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), tahun 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Tahun 2006, yang kemudian disempurnakan menjadi Kurikulum 2013 (Kurtilas).Â
Dengan kata lain, bagi guru yang mengikuti dan melaksanakan kurikulum sebelumnya secara seksama, tidak akan terkejut, dan mengatakan "wow, binatang apa lagi ini?", melainkan akan berpikir khusnudzan, optimis dan sami'na waahot'na alias melaksanakan pembelajaran sesuai kurikulum baru dengan penuh tanggung jawab, karena memahami latar belakang perubahan kurikulum, dan lahirnya kurikulum 2013.(BMTI)